"Al. Udah Yuuks. Udah malem nih!"
"Haris kemana? Jadinya gimana masalah kalian?"
"Dahlah. Ceritanya nanti aja, ga mood gue."
Di sepanjang jalan. Alea terdiam menatap jendela mobil. Hal banyak yang ia pikirkan. Ingin sekali ia bertahan, meski berulang kali Mas Haris menyakiti dengan batin dan perkataannya. Tapi ia terlanjur sayang, ia telah berjanji akan bertahan.
"Mas. Apa tidak ada secuil pun perasaan untuk aku. Kenapa kamu memilih Irene, apa karena dia terkenal. Jika aku bertahan, apa kamu menyetujuinya. Setidaknya Mama akan baik - baik saja ketika kita bersama. Bersama saat di rumah sakit ketika mama sembuh."
"Lo pasti lagi mikirin Haris ya?" Sinta menyetir dan memegang bahu Alea.
"Heuuumph. Tadi aku lihat Irene di ruangan bersama pria lain. Aku mau kasih tau Mas Haris, semoga dengan itu .. "
"Semoga apa. Semoga Haris bisa cinta sama lo Al. Lo pikir si Haris bakal percaya gitu aja, ada bukti gak?"
Alea terdiam. Ia hanya memerhatikan tanpa menoleh dan melihat pria tadi. Jelas salah ia tak merekamnya. Hingga ia menggeleng kepala dan menunduk.
"Please Al. Masih banyak kebahagian lain, Haris bukan pria tepat yang harus lo pertahanin!"
"Ya Sin. Tapi .. "
"Oke. Gue berharap mata hati lo kebuka, sulit menyingkirkan perasaan itu dengan cepat. Gue pernah ada di sisi itu. Tapi semua pasti akan berlalu Al. Semangat ya, gue yakin lo pasti bakal bahagia!"
"Thanks ya Sin."
Tak lama Alea menerima pesan dari Haris. Ia meminta dirinya besok untuk menemuinya di cafe bulan jam lima sore. Hal itu membuat Alea terbang dan sedikit mengirim emoji senyum.
Sinta hanya berusaha melirik, tapi ia begitu terkejut pasrah saat Alea membalas pesan dari suami yang jahat menurutnya.
"Hadeuuuh. Susah klo ngomong sama orang kasmaran." celetug Sinta.
"Gak gitu Sin. Aku cuma mau ketemu aja kok." bela Alea.
"Yo wis. Terus tadi kamu mau cerita apa, kenapa tadi pas aku telepon. Pintu ketutup lama, kamu kemana sampe - sampe kamu keluar wajah sama jalan kamu aneh kaya zombie?"
Alea terdiam, menatap kaca spion dan melirik ke arah Sinta. Ia bingung untuk mengatakan kejujuran saat tadi dengan pria tanpa wajah yang jelas. Hanya hitam ruangan tapi ia jelas melihat jas dengan meraba saja, ia sudah tak asing dengan model dan kain branded apa yang di kenakan pria tadi.
"Aduh. Sin .. gelang gue gak ada." teriaknya.
Hingga Sinta terhenti dan mencoba mencari satu benda yang hilang. Yang mungkin saja masih di sekitaran mobilnya terjatuh.
KEESOKAN HARINYA.
Alea telah sampai di cafe bulan. Nomor dua puluh tujuh adalah nomor favorite Haris. Entah dari mana ia tau, tapi ia hanya sering mengamati pria yang ia cintai itu, dari semenjak ia bertemu.
Setiap berhenti di sebuah cafe, dengan ruangan kedap dan tertutup. Ia memasang sambungan wifi yang di sambungkan ke laptopnya. Setelah memesan dari kasir. Hal yang tak pernah Alea ingat adalah kata manis.
"Duduklah. Aku tidak suka melihat wanita menunggu di depan pintu!"
"Tapi, bagaimana jika aku ..?"
"Diamlah. Dengan begitu kamu tidak akan mengganggu konsentrasiku!"
Alea mendapat perintah dari Haris. Ia senyum penuh dan menutup wajahnya karena malu. Hingga ia menemani dan membaca sebuah buku tanpa suara.
Meski hal kecil yang Alea ingat, meski Haris tak pernah banyak bicara. Itu adalah ciri kharismatiknya, membuat rasa suka menjadi cinta semakin dalam. Jadi jika Haris memintanya berpisah, ia tak rela dan ingin sekali berada di sampingnya selalu.
Tak lama, Haris pun datang dan kembali menatap peluh tatapan Alea yang tersenyum. Tapi tidak dengan haris, ia menggulung baju kemeja di lengannya yang sedikit kucel.
"Biar aku bantu Mas!" pinta Alea.
Dengan diam, Haris duduk dan menatap Alea dengan penuh banyak pertanyaan. Hal itu di sadari oleh Alea dengan tatapan Mas Haris yang menaikan alis dengan sorot seperti biasa.
"Aku hanya ingin menjadi terbaik. Saat kamu meninggalkan aku Mas. Setidaknya beri aku sebuah tanda, jika aku pernah di pedulikan!"
"Apaaa .. peduli. Al, apa kamu sadar dengan perkataanmu?" tanya Haris.
"Aku sadar. Dengan bersikap seperti ini. Aku senang Mas Haris banyak bicara, banyak bertanya padaku. Apa aku kosong, dan tak ada sedikit pun di hati Mas?" tatap Alea.
Haris terdiam, ia bingung untuk menjawab. Jika boleh di katakan, Haris senang jika Alea ada menemaninya dengan santun selayaknya ia di hargai. Berbeda dengan Irene yang tak pernah hormat dan mencium tangan, sekedar menggulung baju lengan kemeja saja tidak, hal kecil yang di lakukan seorang istri.
Sudahlah Alea. Aku tidak punya banyak waktu, cepat apa yang kamu ingin sampaikan. Hingga aku harus meluangkan waktu, kamu tau ini adalah hal terbodoh saya bertemu dan membagi waktu dengan hal sepele.
"Awas saja, jika yang kamu sampaikan saat ini. Tidak penting!" ancam Haris.
"Mas. Aku tidak tau harus mulai di mana, tapi aku tidak tau apa kamu akan percaya padaku. Yang jelas aku mengatakan dengan jujur Mas. Karna aku tidak mungkin berbohong."
"Al. Sudahlah, apa yang kamu mau bilang. Katakan dengan jelas dan intinya saja. Saya malas mendengar penjelasan!"
"Mas. Semalam ...aku." terdiam.
"It's oke. Ceritalah!" Haris meminta Alea masuk dan berbicara dengan serius di dalam mobil.
Aku pernah dengar. Jika pertemuan kita adalah takdir. Pertemanan kita yang singkat pun takdir. Dan hidup bersama pun adalah takdir, tapi bisakan kamu memilih salah satunya.
"Jadi apa aku sanggup berlapang hati. Mas aku punya kamu, gimana kalau aku buat permintaan?"
"Permintaan. Kamu seperti wanita picik Alea, kamu terlalu rakus!"
"Mas. Apapun perkataanmu. Biar aku saja yang mencintaimu dengan dalam. Tapi ijinkan aku tetap dekat padamu. Meski berteman, aku akan siap untuk ada saat kamu sepi."
"Meski harus sembunyi?" tanya Haris dengan tertawa hal bodoh.
"Aku memang bodoh. Tapi aku yang membuat hatiku terlalu dalam mencintaimu. Ijinkan aku dekat dan melupakan kisah kita perlahan Mas!"
Haris yang tertawa kembali surut. Ia seolah tak suka jika Alea bicara ingin melupakannya, dengan tetap dekat bersama dan bertemu.
"Apa yang ada dalam pikiranmu Alea?" tanya Haris.
Wajahnya sedikit dekat, hanya dalam itungan centi. Alea menelan saliva dan kembali bergetar menatap ranum Haris dan bicara.
"Aku ingin kita bersama. Sampai mama sembuh dan pulih. Aku telah mendapat kabar, mama akan sembuh dan banyak perubahan!"
Mendengar kata Mama. Haris merasa bersalah, harusnya ia tak mengabaikan ibu kandungnya. Demi Irene, ia harus membuang seorang ibu yang melahirkannya.
Hanya karena tak menyetujui hubungannya dari dulu dengan Irene.
"Baiklah. Aku antar kamu pulang!"
"Tidak usah Mas. Aku sudah pesan taxsi, terimakasih atas waktu mu saat ini!"
Senyum Alea. Ada hal sesak yang bergetar, Haris menatap Alea yang membuka pintu mobil dan keluar dengan pamit begitu saja. Keputusan hakim mereka belum sah bercerai, tapi Alea tetap menyentuh tangannya dan pamit dengan senyuman.
"Maaf Alea. Jika kamu bersikeras ingin tetap di sampingku. Maka kamu harus siap sakit Alea." lirih Haris. Ia memutar mobil dan melaju setelah menatap Alea yang masuk kedalam taxsi lebih dulu.
Tbc.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 96 Episodes
Comments
asih Asih
Sdh talak tiga secara agama sdh cerai wanita kok bodoh katanya pegawai bank punya jabatan tp o"on
2022-11-08
5
sitha arya
terlalu sayang ama laki gak gitu dong
2022-08-23
1
Wani Ikhwani
itu bukan cinta Alea tapi idiot, walaupun belum ada keputusan hakim yg namanya talak 3 ngak bisa rujuk lagi kecuali kamu nikah dulu sama laki2 lain
2022-08-22
1