"Al. Udah siap?" tanya Sinta.
"Tapi .. kalau mereka ga ada bukti rekaman itu gimana. Seperti yang kamu bilang Irene itu?"
"Udah. Gue ada kenalan sama pemilik fashion ini. Kebetulan gue pernah berjasa buat dia, masa ia ga mau nolongin sih!"
Sinta membuat Alea tenang. Sepagi ini, sebelum toko bukan. Di masa hari libur, ia menyempatkan ke mall untuk mencari tau yang sebenarnya terjadi. Hingga dimana, Alea meminta Sinta untuk kembali pulang.
"Sin. Udah aakh .. lihat mereka natap gue terus!"
"Mereka itu kan pekerja Al. Sama kaya kita, klo enggak cari kebenaranya. Lo mau karier nasib lo ancur. Terus pak Venzo dan pak Chiyo gimana. Lo sanggup bilang ke mereka tanpa bukti rekaman itu?"
Alea mengangguk. Ia lalu melangkah dengan berat hingga sampai di ruangan security. Sinta berbicara banyak Hal. Meminta rekaman asli di masukan kedalam flashdisck. Sinta berniat membayar berapa pun bukti asli rekaman yang di buat oleh Irene. Sinta yakin, Irene sengaja melakukan karna tak ingin Alea terus mempertahankan pernikahan. Meski sebuah status atau formalitas saja.
"Gue bingung, sebenarnya lo ke sini mau apa sih Al?"
Alea terdiam menatap Sinta. Ia gugup untuk menjelaskan dan hanya senyum saja ia membalas.
Mohon maaf. Bu, semua data tanggal kemarin sedang dalam perbaikan. Sistem kami tak bisa mengecek jam dan waktu kejadian kemarin. Maaf !!
"Apaaah.. " teriak Alea dan Sinta bersamaan.
"Ya. Saya sudah mengecek ketiga kalinya. Tetap tidak ada. Kebetulan, kemarin saya libur tidak berjaga. Silahkan tinggalkan nomor ponsel. Jika saya menemukan, atau setelah perbaikan ini selesai. Saya akan bicara pada petugas kemarin!"
Sinta dan Alea menarik nafas. Ia keluar dari ruangan cctv dengan tangan kosong. Sinta meminta Alea untuk bersabar, hal yang tak mungkin Alea harapkan adalah kebenaran.
Mas Haris yang ia cintai, yang ia percayai saja saat itu menampar dirinya. Bisa saja, Sinta akan murka jika mengatahui sikap Haris yang mempermalukan nya di depan umum.
"Aku tidak tau. Apa ini kebetulan atau .. ?" lirih Alea.
"Kita masih harus ke fashion butik kemarin. Al, jangan nyerah ya!"
Alea mengangguk. Hingga beberapa menit, mereka menaiki lift dan sampai di depan butik. Hanya saja pelayan kemarin Alea tak melihatnya.
Saat Alea bicara menatap seseorang. Sinta menambah dan menjelaskan secara detail. Lalu bertemu kawan seperjuangan. Hingga di mana Sinta meminta dirinya membantu untuk rekaman cctv yang terpantau jam kejadian kemarin.
"Tunggu sebentar ya. Ayok masuk keruangan private kami!"
Sinta berterimakasih pada pengelola butik itu. Yang bernama Amora. Hingga di mana Alea ikut mengekor dan mencari pelayan kemarin yang saat itu ada menjadi saksi.
Dua puluh menit berlalu. Alea dan Sinta masih menunggu. Tapi rekaman itu tak ada, hingga di mana Alea lesu dan lemas. Sudah pasti ia akan mendapat masalah esok di kantor.
"Maaf Sinta. Saya udah cari, tapi ga ada rekamannya. Kemarin memang jam seperti itu, lampu koslet. Jadi udah pasti ga kesimpan." jelasnya.
Sinta merasa tak masuk di akal. Seolah semua ini sudah di rencanakan matang - matang. Ia menatap Alea yang terlihat mencari seseorang.
"Thanks Ya. Amora gue pamit deh!"
"Ya. Sama sama Sinta."
Sinta mengejar Alea. Ia menepuk bahu Alea hingga di mana, ia menatap terkejut akan sikap Alea yang bersedih.
Ga usah sedih ya. Ayo kita cabut!"
"Tunggu. Di mana karyawan perempuan yang ada tanda lahir di bawah bibir. Dia selalu menyepol dengan poni sedikit. Terlihat berbeda dari yang lain?" tanya Alea.
"Lo tau dia Al?"
"Bukan begitu Sin. Kemarin, dia yang bantu gue dan berhadapan sama Irene." jelas Alea.
Amora pun mengingat seluruh yang bekerja. Hingga dia kembali berkata.
"Owh. Dia itu Beurli, dia hanya magang. Tapi kemarin itu hari terakhirnya." jelas Amora.
"Apa bisa minta data alamatnya?" tanya Alea.
"Itu bukan wewenang kami. Sinta, sorry tapi saya ga bisa bantu banyak. Bukan wewenang saya masuk untuk memberi informasi. Tapi dia sampai di sini karna agent."
"Outsorching gitu Mor?" tanya Sinta.
"Oke. Makasih ya." ucap Sinta pada Amora.
Lalu meminta Alea sabar. Ia pasti akan mencari jalan lain, sehingga ia akan bisa melewati masalahnya kali ini. Alea pun mengangguk hingga di mana ia memutuskan pulang, namun mampir ke sebuah cafe.
BEBERAPA JAM KEMUDIAN.
Alea dan Sinta tiba di cafe star. Lalu seperti biasa ia memesan hal untuk sarapan dan bertukar memecahkan masalahnya.
"Al. Gue ke toilet sebentar ya!"
"Oke. Gak apa - apa kok. Masih sepi juga nih cafe!"
Tak lama, sebuah mobil mewah datang. Tamu tak lain, ada Irene yang akan wawancara. Di mana Haris mendampinginya.
Alea sangat begitu sakit melihatnya, meski ia ingin pergi. Irene sudah melihatnya dan duduk dengan santai. Tanpa diketahui, seseorang di atas lantai sedang meeting secara tertutup. Sehingga bising dari arah lantai lain tidak akan terdengar.
Tak lama monitor Televisi menyala. Hingga sebuah berita live di siarkan. Ya itu adalah saluran wawancara irene yang di dampingi Haris.
Di sudut pojok Alea bergetar gugup. Tak lama Sinta datang dan menatap wajah Alea yang mencurigakan.
"Lo. Liat apa sih?" tanya Sinta.
Sinta terdiam, menegok arah kerumunan. Menghampiri dan menatap layar live televisi.
"Al. Tenang dulu ya, kita di sini aja. Begitu mereka pergi. Kita keluar, atau mau kita pindah tempat?"
"Ga usah Sin. Di sini aja!" pinta Alea. Meski Sinta khawatir akan masalah lagi.
Sinta menatap beberapa menit Irene yang sedang di wawancarai. Begitu sakit, Sinta mendengar pernyataan tak mungkin Alea lakukan.
Ia yang tak ada di tempat kejadian, merasa ikut terbakar dan sesak jika melihat wawancara itu. Hingga di mana Irene mengatakan jika kejadian kemarin, karena Alea tak rela Haris berpaling pada Istrinya.
"Ciiieh. Irene kamu benar - benar licik. Kamu yang istri siri, kenapa sok membuat alibi. Alea tidak mungkin bertahan karena menjadi duri hubungan kalian. Itu ga benar kan Al ..?"
Tatap Sinta menoleh ke arah Alea. Alea kini telah berubah merah, wajahnya penuh dengan air mata. Hingga Alea yang ingin berdiri menjatuhkan sesuatu.
Praaang!
PRAAAANG .... !!
Semua mata terlihat, menoleh ke arah Alea. Sinta ingin sekali menghalangi. Tapi wawancara berhenti ketika Irene mengatakan sesuatu.
"Lihatlah. Penguntit itu di sana bukan?" teriak Irene.
Wartawan berpindah ke meja Alea. Sinta menopang untuk menutupi Alea. Tapi karena banyaknya wartawan. Mereka menghindar dengan sulit.
"Bukan aku yang salah, Irene kamu licik sekali." lirihnya, seolah wanita itu puas karena Alea tersudutkan.
Tbc.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 96 Episodes
Comments
Nuraini Hasanah
alea bodoh plus ceroboh
2022-09-03
0
Lusi
mengeselin ni mah
2022-08-23
0