Bab 11

"Oh, jadi seperti ini perlakuan kalian terhadap putriku selama aku tidak ada?" tanya Nadira sambil meraih Tiara dan mendekapnya. Hatinya teramat sakit saat mengetahui jika mertua dan kakak iparnya dengan sengaja memperlakukan Tiara dengan seenak hati mereka.

"Nadira ...," gumam keduanya seraya berdiri posisi duduk mereka. Tidak lupa Nia juga langsung merangkul Vino yang tadi sedang duduk di sampingnya.

Ibu Susan dan Nia sangat terkejut dengan kedatangan Nadira yang tiba-tiba, tadi mereka terlalu fokus memperhatikan Vino yang sedang menjahili bayi itu.

"Apa maksud Ibu dan Kak Nia membiarkan Vino mencubiti Tiara?" tanya Nadira dengan nafas yang naik turun saking emosinya dia terhadap ibu mertua serta kakak iparnya. Ditambah lagi wanita itu juga sangat lelah karena baru saja pulang kerja, tapi dia harus disuguhi keadaan yang membuat emosinya semakin meledak-ledak.

Ibu Susan dan Nia saling senggol. "Kenapa kamu biarkan Vino mencubit Tiara, sih, Ni? Jadi repot seperti ini 'kan urusannya?" bisik wanita paruh baya itu pada putrinya.

"Kenapa Ibu malah menyalahkanku dan Vino? Ibu juga bersalah karena sudah membiarkan Tiara menangis," jawab Nia yang enggan disalahkan oleh ibunya.

"Ya ... Ibu juga kesal dari tadi dia nangis terus. Jadi ... sekalian saja Ibu biarkan Vino mencubiti Tiara." Ibu Susan bergumam sambil membuang pandangannya ke arah lain. Dia sama sekali tidak mempedulikan ekspresi yang ditunjukkan oleh Nadira. Padahal, wanita yang menjadi menantunya itu saat ini sedang memelototinya.

"Kalian benar-benar tega." Nadira berbicara dengan nada keras, dia sudah tidak bisa lagi membendung amarahnya. "Tiara juga cucu Ibu. Kalau memang Ibu kesal padaku, Ibu juga benci aku, tolong jangan bawa-bawa Tiara. Dia hanya bayi kecil yang tidak tahu apa-apa," sambungnya lagi dengan berapi-api.

Ibu Susan tampak terkejut saat mendengar nada bicara Nadira yang tinggi. Dia terkejut karena tidak menyangka kalau menantunya bisa mengeluarkan emosi yang seperti itu di hadapannya. Padahal, selama ini Nadira selalu menundukkan kepala saat berhadapan dengan dirinya, tetapi kali ini berbeda. Nadira tidak segan-segan menetapnya dengan tajam.

Tunggu, kenapa hari ini aura Nadira terasa berbeda? Tidak seperti biasanya, batin Nia yang terkesima saat melihat emosi yang dikeluarkan oleh adik iparnya.

"Nadira, turunkan pandanganmu. Jangan menatap Ibu seperti itu!" seru Nia saat melihat adik iparnya sedang menatap tajam sang ibu. "Tidak seharusnya kamu bersikap seperti ini pada Ibuku! Di mana rasa terima kasih kamu?" tanyanya lagi.

"Terima kasih? Dibagian mana aku harus berterima kasih pada Ibu, Mbak? Dibagian mana aku harus berterima kasih pada kalian?" tanya Nadira tanpa menurunkan pandangannya.

Nia mengepalkan tangannya dengan erat ketika mendengar pertanyaan-pertanyaan dari Nadira. Dia benar-benar kesal terhadap adik iparnya itu yang menurutnya sudah melupakan semua kebaikan yang pernah dia lakukan pada Tiara.

"Cukup, Nadira!" teriak Nia dengan suara yang sangat keras sehingga memancing para tetangga berdatangan menghampiri kontrakan Nadira.

"Aduh ... aduh. Ada apa ini? Kenapa Mbak Nia sampai teriak-teriak?" tanya Bu Salamah yang baru saja datang bersama tiga ibu-ibu lainnya.

"Itu, Bu. Nadira marah-marah pada Ibuku. Dia tidak terima karena Tiara yang sedang nangis. Padahal Bu Salamah sendiri tahu kalau dari tadi pagi Tiara terus-terusan menangis," jawab Nia sambil memeluk Ibu Susan. "Bu, jangan emosi dulu. Kita harus tunjukin kalau di sini Nadira yang salah," bisiknya.

Ibu Susan langsung mengerti apa yang dimaksud oleh sang anak. Dia segera merubah ekspresi wajahnya yang tadi terlihat kesal hingga sekarang menampakkan wajah sedihnya. Tidak lupa, Ibu Susan juga sampai mengeluarkan air matanya agar orang-orang mempercayai ucapan putrinya.

"Iya, Bu Salamah. Tadi Nadira pulang kerja langsung marah-marah. Dia juga membentak saya dan berkata kalau saya tidak bisa ngurus putrinya dengan benar. Padahal, selama dia kerja, saya mati-matian jagain Tiara," ucap Ibu Susan disertai isak tangis.

Nadira membelalakkan matanya ketika mendengar ucapan sang ibu mertua. Dia tadi memang marah-marah karena melihat putrinya dijahili oleh Vino, tetapi dia tidak merasa kalau dirinya sudah mengatai Ibu Susan.

"Bu?"

"Ya Tuhan, Nad .... Kenapa kamu menjadi menantu yang tidak tahu diri? sudah bagus punya mertua mau membantumu untuk menjaga anak selagi kamu bekerja. Kenapa kamu malah menzalimi dia?" tanya Bu Salamah sambil bertolak pinggang dan menunjuk-nunjuk wajah Nadira.

"Lho, aku kan seperti itu ceritanya, Bu. Aku sama sekali tidak berkata kasar pada ibu mertuaku. Aku memang sedang marah padanya, tapi apakah yang tahu apa yang menjadi penyebabku marah?" tanya Nadira.

"Apapun alasannya, kamu tidak berhak untuk marah-marah seperti itu, Nadira. Ibu Susan itu ibu mertua kamu, seharusnya kamu anggap dia seperti orang tuamu sendiri! Bersikaplah yang sopan padanya," nasihat Ibu Kokom yang turut berbicara.

"Aku tahu. Tapi alasan aku marah karena mereka membiarkan Vino mencubiti Tiara, Bu. Aku juga tidak akan marah kalau mereka tidak membiarkan Vino melakukan hal itu pada anakku," jawab Nadira. Dia mencoba menjelaskan keadaannya saat itu pada ibu-ibu yang baru saja datang.

"Alah ... alasan kamu saja itu, Nad. Kamu pasti kesal 'kan melihat suami kamu pulang larut malam terus? Maka dari itu kamu melampiaskan kekesalanmu pada Ibu Susan!" tuduh Bu Kokom lagi.

Nadira menggelengkan kepalanya. Dia menampik tuduhan tetangga ibu mertuanya itu karena semua yang dikatakan oleh Bu Kokom tidak ada benarnya.

"Tidak, Bu. Ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan Mas Danu. Dan ... dari mana Ibu Kokom tahu kalau Mas Danu selalu pulang tengah malam?" tanya Nadira yang merasa heran karena Bu Kokom bisa mengetahui kapan Danu biasa pulang ke rumah.

"Kamu tidak perlu tahu aku dapat info itu dari mana. Sekarang, kamu cepat minta maaf pada Ibu mertua kamu sebelum dia benar-benar marah padamu dan tidak mau menjaga anakmu lagi!" perintahnya tanpa menghiraukan pertanyaan Nadira.

Nadira mengepalkan tangannya, lagi-lagi dia harus menahan kekesalannya terhadap salah satu tetangga yang tiba-tiba datang dan ikut campur pada urusan keluarganya.

"Bu Kokom, bukan saya tidak mau meminta maaf pada Ibu. Tapi, sebelum aku melakukan hal itu, bisakah Ibu meminta maaf pada anakku? Karena di sini Tiara lah yang sudah menderita, membiarkan cucu yang lain menyakitinya. Aku sebagai ibunya tidak rela anakku disakiti oleh orang lain," jawab Nadira dengan tegas.

Ibu Susan tampak terkejut dengan permintaan Nadira. Tentu saja dia tidak ingin melakukan hal itu karena menurutnya apa yang dilakukannya itu tidak salah. Lagi pula yang menyakiti Tiara itu bukan dirinya, tetapi Vino putra dari Nia.

"Tidak. Ibu tidak mau melakukan hal itu karena Ibu merasa tidak bersalah. Lagi pula yang menyakiti Tiara itu bukan Ibu, tapi Vino. Jadi, ibunyalah yang seharusnya meminta maaf, bukan aku!" tolak wanita paruh baya itu sambil mendorong bahu Nia supaya berhadapan langsung dengan Nadira dan Tiara.

"Aduh, kenapa Ibu mendorongku? Aku juga tidak mau minta maaf karena aku tidak bersalah!" tolak Nia yang kembali mundur pada posisinya.

Lagi-lagi Nadira tersenyum kecut melihat tingkah ibu mertua serta kakak iparnya yang menolak untuk meminta maaf pada putrinya. Padahal, tadi dia berbicara seperti itu bukan untuk benar-benar supaya mereka meminta maaf pada Tiara, dia hanya mengujinya saja. Namun, kenyataannya cukup membuatnya terkejut karena keduanya justru enggan untuk meminta maaf pada putrinya setelah apa yang mereka lakukan.

"Sudahlah, Nadira. Hal kecil seperti ini tidak perlu dibesar-besarkan. Kamu juga harusnya tahu diri, jangan seenaknya seperti ini pada mertuamu!" Ibu Kokom kembali angkat berbicara saat melihat Nadira yang menatap Ibu Susan dan Nia dengan sinis.

"Bu, Bu Kokom jangan terus-menerus mancing emosi saya. Ibu di sini tidak tahu titik permasalahannya. Ibu jangan menghakimi saya seperti ini!" kata Nadira yang sudah sangat kesal pada Bu Kokom.

"Eh, Nad .... Biarpun saya tidak tahu titik permasalahan kalian, tapi saya bisa tahu kalau Ibu Susan tidak salah apa-apa dalam hal ini. Justru kamu yang tidak punya sopan santun karena sudah bicara dengan nada tinggi sama ibu mertua kamu sendiri. Kamu benar-benar menantu yang tak tau diuntung, sangat tidak tahu diri sekali."

Nia dan Ibu Susan tersenyum sinis saat mendengar ucapan dari Bu Kokom yang sengaja menjelek-jelekkan Nadira. Keduanya sangat puas ketika melihat wajah Nadira yang sudah mulai berkaca-kaca.

"Tadi aku tidak bermaksud untuk marah-marah, Bu–"

Belum sempat Nadira menyelesaikan perkataannya, tiba-tiba seseorang datang dan menghampirinya serta langsung memberikan tamparan keras di pipi Nadira hingga membuat wanita itu terhuyung ke belakang.

"Mas Danu?"

Terpopuler

Comments

elvie

elvie

Bagus tambah lagi orang yang Kepo dan sok ikut campur urusan orang.
Wahhh....wahh....Danu hebat y, ga bis kasih apa2 ja kelakuannya dh kaya 🤬🤬🤬🤬🤬🤬 apalagi klo dh sukses. Tapi orang model gini mah moal bisa sukses, yang ada sengsara.


Tinggalin ja Nadira, buka laki itu klo dh berani main tangan. Apalagi blm tau soal awal duduk masalahnya lngsung main tampar.

2022-10-02

0

manda_

manda_

lanjut

2022-09-12

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!