Bab 7

Suara bising kendaraan bermotor yang berlalu-lalang di jalanan tidak membuat hati seorang wanita muda yang berseragam biru itu merasa terganggu. Rasa sakit hati atas perlakuan ibu mertua serta suaminya pagi ini membuat Nadira tak kuasa lagi membendung air matanya. Bukan tidak malu Nadira menangis di pinggir jalan sambil terus melangkah, tetapi dia memiliki tugas lain yang harus dilakukannya demi mengubah nasibnya suatu hari nanti. Nadira harus bisa bekerja lebih keras supaya dia tidak lagi diremehkan oleh keluarga suaminya. Tekad itulah yang membuat wanita muda itu menahan rasa sakit di hatinya atas perlakuan ibu mertua serta sang suami.

Waktu terus berjalan, jalanan yang macet dan banyaknya karyawan pabrik membuat semua mobil angkot yang Nadira lihat selalu penuh hingga tidak menyisakan tempat untuknya. Nadira terus melangkah hingga tak terasa dia sudah berjalan cukup jauh. Namun, tentu saja hal itu tidak membuat jarak yang ditempuh semakin dekat karena nyatanya dia masih harus berjalan sekitar satu kilometer lagi untuk segera sampai di tempat tujuannya.

"Ya Tuhan ... mana masih jauh untuk sampai di pabrik," gumam wanita itu. Rasa pegal pada kaki dan dahi yang sudah dibanjiri oleh keringat sama sekali tidak dirasakan Nadira. Pikirannya hanya tertuju pada satu kata 'Jangan sampai terlambat' karena jika sampai hal itu terjadi, tidak menutup kemungkinan dia akan gagal mendapatkan pekerjaan itu. Nadira masih karyawan training selama tiga bulan. Setelah tiga bulan itu berlalu, barulah perusahaan akan menetapkannya sebagai karyawan tetap.

Langkah kaki wanita itu semakin lama, semakin melambat, tenaganya sudah habis terkuras. Kakinya pun sudah dipenuhi lecet akibat gesekan sepatu yang ia kenakan. Akh, bahkan sepatu itupun bukan milik Nadira, melainkan milik kakak iparnya yang ia pinjam sampai hari gajian. Danu benar-benar tidak mau mengusahakan apapun untuknya. Sampai-sampai Nadira harus rela menahan sakit dan perih itu karena sepatu yang dikenakannya berukuran satu nomor lebih kecil dari nomor yang biasa ia pakai.

Sabar Nadira ... jangan menyerah di sini. Masih ada waktu lima belas menit lagi sebelum jam kerja dimulai, bisik hati Nadira.

Saat mengingat apa yang Nadira terima dari perlakuan keluarga mertua serta suaminya, semangat wanita itu seakan bertambah. Ya, dia tidak ingin ibu mertuanya memperlakukan dia dan putrinya dengan semena-mena. Meskipun kini Nadira tak lagi dekat dengan keluarganya sendiri, tapi dia juga tidak mau sampai dibenci oleh keluarga Danu. Itu hanya akan menambah daftar sakit hati yang ia rasakan.

Saat Nadira masih sedang berjalan, tiba-tiba dari arah belakang terdengar sebuah suara klakson motor. Nadira yang saat itu ketakutan karena mengira itu motor orang yang jahat, langsung mempercepat langkahnya. Dia enggan untuk menoleh dan firasatnya pun menyuruhnya agar terus berjalan.

"Nad, tunggu!"

Sebuah suara yang amat dikenali oleh Nadira langsung membuat langkah wanita muda itu terhenti. Dia menoleh dan melihat orang yang tadi sempat membunyikan klakson untuknya.

"Pak Raka?" Nadira cukup terkejut karena melihat pria itu masih berada di sana. Biasanya pria itu selalu ia lihat datang lebih awal darinya karena harus menyiapkan beberapa pekerjaan untuk karyawan yang lainnya.

"Kenapa kamu jalan kaki?" tanya Raka tanpa menghiraukan ekspresi Nadira yang terkejut karena sapaannya. Raka baru saja menyadari kalau di sekitar Nadira tidak ada suaminya.

"Mana suamimu?"

Nadira tampak bingung. Bola matanya melirik ke sana kemari serta jemari tangannya yang saling bertautan membuat Raka akhirnya mengalihkan pertanyaan.

"Mau berangkat bersamaku?" tanyanya saat Nadira tak kunjung menjawab pertanyaannya. "Kamu tidak akan sampai tepat waktu kalau terus berjalan kaki."

"Eh. Itu tidak perlu, Pak. Saya bisa jalan sendiri. Lagi pula ini sudah hampir sampai," tolak Nadira sambil mengibaskan tangannya di depan dada. Dia melakukan hal itu karena merasa sungkan. Andai saja yang menawari tumpangan itu bukan Raka, sudah pasti dirinya akan senang hati menerima. Namun, jika itu Raka, Nadira harus berpikir secara matang, jangan sampai nanti ada omongan aneh dari orang-orang yang melihat kebersamaan mereka berdua.

"Jangan sungkan, Nad. Aku hanya ingin membantumu saja. Dari tadi aku lihat kamu jalan kaki sendirian. Maka dari itu, aku pikir kamu akan butuh tumpangan," ucap Raka lagi. Sebenarnya, tadi Raka tidak sengaja melihat kejadian saat Nadira dibentak dan dipaksa turun dari motor oleh suaminya. Namun, Raka tidak segera menghampiri karena dia pikir suami dari salah satu karyawannya itu tidak akan benar-benar meninggalkan Nadira di pinggir jalan. Akan tetapi, ternyata dugaannya salah. Setelah menunggu beberapa menit, suami Nadira itu tidak muncul juga.

"Saya ... saya sungguh tidak apa-apa, Pak. Bapak duluan saja." Lagi-lagi Nadira berusaha untuk menolak maksud baik Raka.

"Kalau kamu tidak berangkat sekarang, kamu yang akan telat, Nad. Lagi pula ... bukankah kamu masih masa training? Jangan sampai kamu tidak diterima kerja hanya gara-gara datang terlambat, lho!"

Nadira terdiam sesaat. Apa yang dikatakan oleh Raka padanya itu benar. Bisa saja dia gagal diterima kerja hanya karena gara-gara datang terlambat. Kalau sampai hal itu terjadi, maka bukan hanya suaminya saja yang marah, bahkan mungkin ibu mertua serta kakak iparnya pun akan turut serta membencinya.

"Kamu tidak perlu mengkhawatirkan ucapan orang-orang yang belum tentu, Nad. Lagipula kita juga tidak sengaja bertemu dan aku hanya ingin membantu kamu saja," kata Raka sambil meyakinkan Nadira untuk tidak mencemaskan hal yang belum tentu terjadi.

Di lingkungan pabrik, hal kecil apapun bisa menjadi sangat sensitif. Jangankan untuk berbuat sesuatu yang buruk, kita baru berniat dalam hati saja, bisa-bisa orang lain mengetahuinya dan menyebarluaskannya. Hal itulah yang ditakuti oleh Nadira. Dia tidak mau sampai nama baiknya tercoreng begitu saja hanya karena sebuah ketidaksengajaan.

"Nad, kita sudah hampir terlambat. Waktunya tinggal sepuluh menit lagi. Apa kamu akan tetap berjalan kaki?" tanya Raka untuk kesekian kalinya.

Setelah menimang-nimang baik buruknya, akhirnya Nadira pun menerima pertolongan dari Raka. Tidak mungkin jika dia harus melepaskan kesempatannya untuk bisa hidup mandiri hanya karena omongan orang lain.

Bismillah ... semoga saja tidak ada omongan buruk dari orang-orang karena aku menerima tawaran berangkat bersama dari Pak Raka, batin Nadira. Akhirnya ia pun menerima tawaran dari atasannya itu untuk berangkat bersama.

"Sebelumnya saya minta maaf karena sudah menyusahkan Bapak. Dan ... terima kasih atas bantuannya," ucap Nadira.

"Tidak apa-apa. Lagi pula ini tidak selalu terjadi setiap hari." Raka memberikan helm cadangan yang selalu ia bawa sebelum akhirnya dia memacu laju kendaraannya dengan tinggi karena harus mengejar waktu yang tinggal sedikit lagi.

Terpopuler

Comments

elvie

elvie

semoga Raka jodohnya Nadira....

2022-10-02

0

manda_

manda_

lanjut thor semangat buat up lagi ya ditunggu raka org baik

2022-09-12

1

Latyvolia

Latyvolia

Good job Raka 👍, gitu baru namanya lakik

2022-09-01

105

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!