Bab 3

Setelah kepergian Ibu Susan, Nadira masuk ke dalam rumahnya sambil membawa Tiara yang ia gendong. Rasa lelah serta sakit hati yang baru saja ia terima dari ibu mertuanya itu cukup terobati saat melihat raut wajah Tiara yang tampak menggemaskan.

"Terima kasih, sayang. Kamu menjadi pengobat untuk sakit hati Mama. Maaf karena Mama udah buat Tiara nunggu lama," ucap Nadira sambil mencium dan memeluk putri kecilnya itu.

Nadira menyadari jika Tiara tidak diurus dengan baik oleh mertuanya, hal itu terlihat dari wajah bayi yang tampak kucel. Belum lagi baju yang dikenakannya itu bekas kemarin sore. Tadi pagi Nadira tidak sempat mengganti pakaian Tiara karena terlambat bangun. Jadi, dia berpikir jika ibu mertuanya yang akan memandikan sang anak, tapi ternyata hal itu tidak dilakukan Bu Susan. Meskipun tubuhnya terasa lelah, Nadira segera memasak air hangat untuk mengelap tubuh Tiara. Dia tidak ingin bayi kecilnya itu merasa tidak nyaman saat tidur malam nanti.

Sambil menunggu air mendidih, Nadira bermaksud untuk memasak nasi, perutnya sudah sangat keroncongan karena ia hanya makan siang saat di kantin pabrik tadi siang. Nadira beruntung, Tiara merupakan bayi yang pintar karena tidak harus terus menggendongnya.

"Sayang, tunggu di sini, ya! Mama mau masak nasi dulu," ujar Nadira sebelum ia meninggal Tiara yang sedang bermain dengan dua kakinya yang diangkat-angkat.

Gerakan tangan Nadira terhenti saat ia membuka ember tempat biasa penyimpanan beras. Mata wanita muda itu meredup seketika dengan sesak di dadanya.

"Kenapa kosong begini? Kemarin masih ada berasnya setengah ember lagi," tanya Nadira pelan. Terkejut? Tentu saja. Dia tidak tahu siapa yang sudah tega mengambil beras di rumahnya tanpa ijin darinya.

"Apa Ibu yang udah ngambil beras di sini? Kenapa Ibu tidak mengatakan apapun padaku?"

Tak ada yang bisa Nadira masak untuk malam ini. Uang yang ada di genggamannya tinggal sisa depan ribu lagi. Sementara Danu masih belum bisa ia hubungi. Wanita muda itupun hanya bisa mengganjal perutnya dengan menggunakan air hangat yang ia teguk banyak-banyak. Nadira segera mengelap Tiara dengan air hangat. Lagi-lagi gerakan tangan ibu muda itu terhenti saat melihat memar di punggung dan paha putri kecilnya.

"Ya Tuhan, Sayang ... siapa yang sudah membuat tubuhmu memar-memar seperti ini?" gumam Nadira sambil mengusap permukaan kulit Tiara yang berwarna biru kehijau-hijauan. Hati wanita itu teriris nyeri, dia tidak terima putrinya diperlukan kasar oleh keluarga suaminya. Namun, saat ini untuk marah pun ia tak berani karena Danu malah akan balik memarahinya.

"Kamu yang sabar, ya, sayang. Mama tidak akan tinggal diam kalau kamu terus diperlakukan kasar seperti ini oleh mereka," ujar Nadira sambil mengepalkan tangannya. Dia mencoba untuk menahan sakit, marah, serta kecewa di hatinya.

Setelah selesai memakaikan baju lengkap pada Tiara, ia berniat untuk menemui ibu mertuanya yang tinggal di seberang kontrakannya. Tentu saja untuk menanyakan apa yang sudah mereka lakukan pada putrinya serta menanyakan makanan yang mereka ambil. Hatinya mendadak tidak rela jika mereka masih berani mengambil makanannya setelah melakukan kekerasan pada Tiara.

"Ya Tuhan ... kenapa nasibku seperti ini?" Nadira bergumam lirih sambil memberikan ASI untuk Tiara. Dia hanya berharap bayinya itu tidak kenapa-kenapa karena ASI–nya pasti hambar, dia tidak makan sesuatu sejak pulang kerja tadi.

Setelah memastikan Tiara kenyang mengkonsumsi ASI–nya, Nadira pun segera kembali menggendong bayi itu. Dia tidak punya pilihan lain selain membawa Tiara bersamanya ke rumah Ibu Susan saat malam hari seperti ini.

"Assalamua'laikum!" sapa Nadira saat ia sudah berdiri di depan pintu rumah Ibu Susan.

"Bu ...," panggil Nadira lagi saat Ibu Susan tak kunjung membukakan pintu rumah untuknya.

Nadira mencoba untuk memutar kenop pintu itu, tapi ternyata dikunci dari dalam.

"Lho, Ibu ke mana, ya? Apa dia tidak ada di rumah?" gumam Nadira sambil mencoba mengintip dari balik jendela luar. Ruangan tamu rumah ibu mertuanya tampak sepi meskipun lampu di dalamnya menyala.

Sudah 10 menit sejak Nadira berdiri di teras rumah Ibu Susan, tapi mertuanya itu masih belum juga membukakan pintu. Sementara di luar air langit mulai turun ke bumi dan menghembuskan angin dingin yang cukup kencang untuk bayinya.

"Ya Tuhan ... sebenarnya Ibu ke mana? Biasanya juga dia tidak pernah keluar malam," gumam Nadira seraya membenarkan selimut untuk menutupi tubuh Tiara agar bayinya itu tidak kedinginan.

Setelah hampir 15 menit lamanya Nadira berdiri, akhirnya ia pun memilih pulang ke rumah dengan hati yang hampa. Dia merasa sedikit kecewa dengan ibu mertuanya itu karena sama sekali tidak membukakan pintu untuknya dan lebih memilih berpura-pura tidak mendengar ketukan pintu.

Nadira pulang dengan langkah yang cepat, dia tidak ingin membuat Tiara kehujanan di jalan. Tidak lupa, Nadira juga membelanjakan sisa uang yang dipegangnya untuk membeli setengah liter beras, tidak mungkin jika dia harus menahan perutnya yang kosong lebih lama karena dia sedang menyusui, kasihan Tiara jika rasa ASI–nya hambar.

***

Di sisi lain, Ibu Susan saat ini sedang bersama putri dan menantunya di ruang televisi. Tadi dia memang mendengar suara panggilan dan ketukan pintu yang dilakukan oleh Nadira, tapi dia memilih mengabaikannya.

"Bu, apa Si Beban itu sudah pergi?" tanya Nia, dia adalah kakak ipar Nadira, alias kakaknya Danu.

"Sepertinya sudah, Ni. Tidak mungkin juga dia mau berlama-lama berdiri di luar. Apalagi sekarang sudah turun hujan," jawab Ibu Susan seraya mengintip keluar rumah lewat jendela samping.

"Oh, ya sudahlah ... untuk apa juga kita memikirkan 'Beban' seperti dia, tidak ada gunanya juga."

"Hush, jangan seperti gitu, Ni. Nadira itu adik ipar kamu. Jangan terlalu nyakitin dia. Nanti akan susah kalau kita ada perlu!" ujar Erhan, suami Nia.

"Kenapa kamu malah membela dia, Mas?" Nia tidak terima saat Erhan membela Nadira.

Erhan menggelengkan kepalanya. "Bukan membela dia, sayang. Tapi ... kalau omongan kamu sampai ke telinganya, nanti kita tidak akan bisa bebas ngambil barang-barang milik dia. Kamu mau kalau kita kesusahan karena tidak bisa memanfaatkan dia lagi?"

Pertanyaan Erhan sontak saja membuat sepasang ibu dan anak itu menggeleng langsung.

"Tentu saja tidak, Mas. Mana mau kami harus susah-susah lagi. Untuk mengurus anaknya saja aku sudah membuatku kesal," sahut Nia dengan cepat.

"Ya sudahlah. Yang penting sekarang kita tidak terlalu kesusahan seperti kemarin-kemarin lagi. Toh Si Tiara juga masih kecil. Dia tidak akan mungkin bisa mengadu apa-apa pada ibunya." Ibu Susan ikut menimpali perkataan dari putrinya.

Terpopuler

Comments

@ £I£I$ Mυɳҽҽყ☪️

@ £I£I$ Mυɳҽҽყ☪️

Oalah.... malah Nadia di jadikan tulung punggung keluarga mertua

kenapa ngga pulang saja ke rumah orang tua mu nad...

2023-02-09

0

Vivi Bidadari

Vivi Bidadari

Ya ampun ternyata tak hanya jahat tapi juga pencuri keluarga toxid..

2023-02-04

0

bunda s'as

bunda s'as

dasar keluarga luknut

2022-10-05

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!