Langit segera menjadi senja, sebentar lagi malam tiba, tiupan angin malam berkesiur dari arah barat mengabarkan remang yang akan segera tiba.
Menjelang malam, Zhao Juren seperti kesetanan memacu kudanya. Dia terengah-engah menghentikan kudanya tepat di depan Gerbang utara Doting, langit semakin kelam, kabut tebal memenuhi udara, suara dentang gong dari kejauhan di tabuh dan sangkakala perang memecah udara yang tiba-tiba terdengar membuat setiap orang yang mungkin mendengarnya bergidik. Suara bagai halilintar yang merobek angkasa itu menandakan bahwa perang untuk hari ini telah berakhir. Setiap orang yang selamat dari bilah pedang dan mata panah hari ini, di beri kesempatan untuk menyeka darah dari senjatanya, beristirahat satu malam dalam tidur yang tak lelap untuk besok kembali turun ke medan perang untuk menyabung sisa nyawa.
“Berhentilah di sana!”
Suara itu terdengar berat dari atas Gerbang Utara. Seseorang dalam jubah hijau berdiri di sana bersama dengan orang lain dalam baju Jirah yang menyolok. Berdiri tanpa membuka ketopong besinya. Itu adalah orang yang sama yang di bidik oleh Zhao Juren dengan panahnya beberapa saat yang lalu.
“Kami telah menguasai gerbang ini, Malam telah menyelamatkan nyawamu, jadi kembalilah.” Laki-laki dalam jubah hijau itu berkatadengan suara yang membahana.
Zhao Juren menatap sekelilingnya, beberapa mayat prajuritnya dan prajurit Niang bergelimpangan di sekitar depan Gerbang. Zhao Juren hanya menghela nafas perlahan. Dia tahu, para prajuritnya telah bertarung dengan gagah berani mempertahankan gerbang utara kota tua ini.
“Turunlah dan bertarunglah denganku sebelum bulan menjadi bulat di atas kepala.” Kata Zhao Juren dingin.
“Waktu perang telah usai, tuan. Pertarungan untuk hari ini telah berakhir. Besok pagi kamu boleh mengantar nyawamu kemari,”Sahut si jubah hijau dalam nada mengejek.
“Waktu untuk para prajurit mungkin sudah habis, tapi tidak untuk dua panglimanya. Kita tak mengenal malam untuk
menegakkan harga diri kita. Aku percaya, tuan yang bersembunyi dalam baju jirah itu adalah Jenderal Qui yang terkenal itu.” Zhao Juren mendonggak, mengangkat jarinya dan menunjuk orang yang berdiri tak bergeming dalam jubah hijau di sampingnya.
“Aku, Jenderal Zhao Juren, panglima perang Yanzhi menantangmu dengan hormat untuk bertukar pedang, demi menghormati mayat-mayat prajurit kita yang mati untuk gerbang ini!” Sesaat Zhao Juren mengitari pandangan ke sekelilingnya. Dadanya menjadi sedikit sesak dalam pemandangan yang terlihat sedikit mengerikan. Udara meniupkan bau amis yang khas dari darah yang mongering.
Di dalam hawa yang tiba-tiba terasa mencekam suara itu terdengar tenang dan dingin, perlahan-lahan keluar dari mulut Zhao Juren, suara itu tak terlalu keras, namun dengan jelas masuk ke telinga setiap orang yang sedang berdiri di atas gerbang itu.
Sesaat suasana menjadi hening, bahkan beberapa prajurit yang terdekat diengan Zhao Juren menahan nafas, begitupun orang-orang yang berdiri di atas gerbang, mereka terlihat menatap Zhao Juren terpaku.
Zhao Juren yang tampan berbalut kesedihan mendalam melompat dari kudanya dengan gerakan halus menjejak tanah, wajahnya muram bagai air keruh di musim kering, memandang dengan tatapan congkak yang di buat-buat kepada sosok-sosok yang berdiri memandangnya bahkan tak bergeming mengawasi dirinya dri atas gerbang. Tubuh mereka seperti siluet dan samar.
“Tak bisa dipercaya, seorang Jenderal besar Yanzhi yang terkenal itu datang sendiri dengan cara seperti ini. Entah ini suatu kehormatan ataukah sebuah penghinaan.” Jubah hijau yang tampan itu menyeringai lebar di dalam cahaya samar dari obor-obor yang di hidupkan pada setiap sisi tembok.
“Jangan mengajarkan aku tentang peraturan, karena kalian sendiri telah melanggarnya hari ini dengan merebut Doting dengan cara diam-diam dan tak terhormat.” Zhao Juren melemparkan kalimat itu dengan nada geram.
“Tuan Zhao…dalam perang, kadang-kadang kita harus selangkah lebih licik, dengan begitu kita tak akan bisa mudah di kalahkan.” Si Jubah hijau tertawa terbahak-bahak, meski nadanya sumbang karena suaranya yang sedikit gemetar. Sementara, orang dalam baju jirah di sampingnya itu berdiri sperti patung. Dia tak bersuara, ekspresinya pun tersembunyi di balik ketopong besinya yang keperakan terkena cahaya obor.
Sosok dalam baju jirah gelap itu berbisik pada si jubah hijau, entah apa yang dikatakannya tetapi si jubah hijau itu segera menganggukkan kepalanya setelah sedikit membungkuk mendengarkan, si jubah hijau memang bertubuh lebih tinggi ataukah mungkin si baju jirah yang terlalu pendek, Zhao Juren merasa ragu pada pandangannya. Jenderal Qui yang sangat di takuti itu ternyata tak segagah yang selama ini ada di fikiran Zhao Juren.
“Tuanku berkata, lihatlah hari mulai gelap seperti ini, sebaiknya mari kita tunda sampai esok pagi pertarungan ini karena hari akan segera malam.” Jubah merah berucap, suaranya terdengar sedikit bergetar.
“Pengecut.” Raut Zhao Juren mengeras, di telinganya bergemerisik ingatan pada seorang prajurit Niang yang menggigit leher prajuritnya tepat di depan mata kepalanya sendiri. Hawa dingin segera merasuk sampai tengkuknya.Pandangannya di penuhi bumi dan langit yang gersang dan suram, angin musim gugur menyapu padang rumput yang merah karena darah, semuanya bagai tak nyata tetapi jelas terjadi di medan pembantaian hari ini.
SRING!
Zhao Juren menarik pedangnya, dengan tubuh yang tegak bagai kayu persik, ia dengan perlahan maju ke depan, langkah kakinya terlihat berat, wajahnya dingin mendadak pucat pasi bagai salju, darah pada pedangnya mengering, entah darah siapakah di sana, dia tak tahu. Berapa banyak nyawa telah di telannya, Zhao Juren sungguh telah lupa.
Para prajurit dari atas tembok yang tertutup itu mengangkat busur panahnya dengan waspada, mata mereka tak lepas dari sosok yang berjalan menuju pintu tembok itu sementara telinga mereka menunggu komandan mereka memberi isnstruksi, kapan anak panah di tangan mereka harus di lepaskan.
“Turunlah! Entah kamu, atau kalian berdua…bahkan kalian semua pun taka da yang membuatku surut dan gentar. Kita bertarung sebagai pria terhormat.” Zhao Juren berucap, suaranya tenang tanpa emosi membiarkan setiap ekor mata tertuju padanya seperti kucing yang waspada.
Sampai di depan pintu kayu besar itu, ia berdiri di sana, angin malam meniup rambut nya yang di kuncir tinggi di atas kepala dan sisanya terbawa angin musim gugur membuatnya berkibar-kibar.
“Tuanku mengatakan Jangan memaksa, kami masih memberi kesempatan untukmu kembali.”
Zhao Juren tertawa keras hingga tubuhya bergoncang, tawa yang aneh antara tergelak tetapi berbalut kesedihan,
“Jangan menghinaku lagi. Katakan pada tuanmu yang bisu itu, tak perlu berbisik di depanku seperti perempuan yang sedang bergunjing, sesama lelaki bersikaplah lebih ksatria. Dari tadi aku tak sedikitpun mendengar suara tuanmu itu. Ataukah tuanmu itu benar-benar bisu? Ayolah, turunlah, tak perlu sungkan, aku sangat menunggu pertemuan ini. Jika pun aku mati di tangannya, aku tak menyesal.”
Terimakasih telah membaca novel CINTA TERAKHIR ZHAO JUREN ini💜 Yuk berikan VOTE, LIKE dan KOMEN biar Author tambah rajin
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 126 Episodes
Comments
cha
bisu cenah😆😆😆🤪
2023-08-29
0
mama yuhu
prajurit niang sebagian zombie?
2023-04-07
1
💕💕syety mousya Arofah 💕💕
lhawong jedrale takut bersuara karna emang beda gender,,,,
2023-02-22
0