Zhao Juren berbalik lagi mengarahkan pandangannya ke bawah bukit, suara nafasnya terdengar berat memecah malam.
“Aku sangat ingin mengakhirinya…” Ucap Zhao Juren serupa keluh.
“Takdir hidup seseorang dan peperangan seperti pedang bermata dua, serupa dengan sebuah permainan bidak catur, tak ada yang benar-benar bisa ditebak. Saat kamu melangkah, kamu berada di antara hidup dan mati, entah membunuh atau di bunuh, melukai atau di lukai. Perjalanan di depan begitu buram.” Zhao Juren meletakkan kedua tangannya di belakang punggungnya, saling meremas tanpa di sadarinya.
Li Jin tak bersuara hanya suara nafasnya berhempas dengan udara.
“Li Jin, di semua penjuru sepertinya tak ada jalan keluar, terasa terjebak, aku tak tahu kapan berhenti karena harus melangkah lagi, kau tak tahu bagaimana harus tinggal dan mengambil nafas, karena saat sudah masuk kedalam permainan, aku hanya tahu untuk melangkah maju dan terus maju sampai aku tak tahu apakah aku telah berbuat salah atau benar. Dan semakin banyak aku maju semakin banyak pula aku kehilangan bahkan lebih banyak dari apa yang kudapatkan. Bagaimana bisa aku terus hidup begini, Li Jin? Aku tak tahu jalan apa yang ku harus ku lalui di depan, aku kehilangan arah….” Mata Zhao Juren mengerjap, semua hal yang di alaminya di belakang seperti berlomba maju di dalam benaknya.
Melintas wajah keras ibunya yang menjadi begitu menyedihkan setelah dia hampir kehilangan nyawa di ujung belati orang yang melahirkannya itu, wajah tulus Yan Yue yang tak pernah berubah dari masa kanak-kanak mereka meskipun dia pernah berada di posisi yang jauh lebih rendah dari saudaranya itu, raut kesakitan di permukaan wajah Jiu Fei saat meregang nyawa dalam pelukannya, meneteskan air mata untuk cintanya yang tak pernah bisa bersatu dengannya dan tentu saja senyum polos milik Xiao Yi di depan kedai teh saat pertama dia berjumpa dengan perempuan itu. Begitu tenang dan berani dalam waktu bersamaan.
Ingatan-ingatan itu berlompatan, di antara puluhan medan perang yang telah di jalaninya. Hidupnya tetap tak pernah berubah meskipun dia melewati lautan kesakitan, dia tetap berkubang dalam sepi dan tidur menjumpai mimpinya yang lebih indah dari hidupnya sendiri.
“Tuan, segala kesedihan akan segera berlalu, semuanya akan terlewati. Kita hanya harus melewatinya saja.” Li Jin berucap serak, dia merasakan setiap kesakitan tuannya itu tetapi setidaknya dia berharap kalimat itu bisa menghiburnya.
“Bagaimana jika kesedihan ini tak mau pergi?” Tanya Zhao Juren sambil meringis, pertanyaan itu seolah di tujukannya untuk dirinya sendiri. Zhao Juren hanya bersikap terbuka mengenai perasaannya hanya kepada Li Jin saja, satu-satunya pengawal kepercayaannya.
"Kamu tahu Li Jin, kadang-kadang aku malah berfikir bahwa kamulah orang satu-satunya yang tak pernah pergi dari sampingku. Apakah Dewa sedang bercanda padaku, jika ternyata kamulah orang yang merupakan tadirku" Zhao Juren tertwa serak, sampai terbatuk-batuk.
"Astaga tuan, bagaimana bisa anda berfikir seperti itu. Aku adalah bawahanmu, aku tentu saja tak akan pernah pergi dari sampingmu." Wajah Li Jin serasa terbakar, begitu tak enak dengan kalimat sedih yang di ucapkan Zhao Juren.
"Dan andai suatu saat kamu juga pergi, maka aku mungkin akan tak punya siapa-siapa lagi." Lanjut Zhao Juren, kemudian sambil mengusap matanya yang berair karena tertawa sendiri, lelucon itu terasa garing.
"Tuan aku adalah hambamu..."
"Tidak Li Jin, kamu tidak hanya sekedar bawahanku, kamu adalah satu-satunya temanku." Zhao Juren mendekat dan menepuk bahu Li Jin dengan keras.
“Semua pasti akan berakhir tuan, tak ada di dunia ini yang tak berujung.” Desis Li Jin kemudian, entah mengapa dia begitu prihatin dengan keadaan dan suasana hati tuannya itu.
“Ya, ujung yang paling nyata adalah kematian. Aku sedikit berharap, bertemu ujungnya itu dan bertanya pada takdir, apa dendamnya padaku.” Zhao Juren terkekeh, seakan itu adalah lelucon baginya. Tetapi Li Jin terkesiap menatap mata Zhao Juren yang berkilat, dia merasa seakan begitu berat pundaknya, dia begitu ingin memeluk tuannya itu seakan-akan ini adalah malam terakhirnya berbicara dengan sang tuan.
"Dan mungkin, kamupun tak perlu lagi mencemaskan aku seperti ini lagi." Ucap Zhao Juren lirih.
Li Jin tak lagi menyahut, dia tak mau lagi mendebat tuannya itu. Kepalanya tertunduk, dadanya menghangat meski udara yang pengap berubah menjadi begitu dingin semakin larut. Zhao Juren terdengar menghela nafas panjang.
“Aku berharap ini adalah malam terakhirku berada di medan perang.” Zhao Juren menengadah memandang langit yang gelap, samar-samar serupa bayangan dia seakan melihat sepasang mata kejora yang berbinar lembut menatapnya, dengan tenang dan tanpa beban, tulus dan tanpa muslihat tersembunyi memandang dirinya. Orang yang memandangnya sebagai manusia dengan benar tanpa niat untuk menipunya.
"Ya, tuan, ini akan menjadi malam terakhir kita di pegunungan Yanshan karena besok kita akan memukul mundur semua pasukan Niang itu dari tanah tua." Sahut Li Jin dengan percaya diri. Zhao Juren menganggukkan kepalanya sambil sekali lagi menepuk bahu Li Jin.
"Semoga saja begitu, Jin. Tetapi..." Zhao Juren menatap ke arah kemah musuh yang jauh di depan matanya itu, asap api unggun dari perkemahan mereka menipis, cahaya dari sana berangsur hanya titik-titik dari beberapa obor saja.
"Tetapi jika setelah besok aku tak pernah kembali lagi, ku harap kamu bisa menjaga istana Lantian dengan baik."
Li Jin tergugu, matanya mengerjap menatap tuannya itu.
"Tuan akan pergi kemana sebenarnya?" Li Jin menelan ludahnya, dia tak bisa memungkiri menjadi khawatir pada sang tuan. Istana Lantian atau istana langit biru itu adalah kediaman Zhao Juren yang terletak di luar istana kota raja Weiyan, berada di sebuah dataran dekat dengan sungai Sheng. Istana itu adalah tempat yang sangat di sukai oleh Zhao Juren saat dia pulang dari medan perang.
“Bagaimana aku bisa hidup di tanah ini, jika dia tetap membayangiku seperti hantu, aku tak ingin suatu saat menjadi penjahat karena tak bisa mengendalikan perasaanku sendiri. Pergi adalah salah satunya jalan keluar dari lingkaran ini.” Zhao juren berbalik menatap Li Jin yang tak bergeming di tempatnya, menikmati setiap ocehannya yang tak jelas. Dia hanya cukup tahu dan tak pernah ingin mencampuri perasaan sang tuan.
“Aku akan memimpin perang ini, dan mengakhiri semua pertikaian yang telah mengorbankan banyak nyawa ini, dimana berbantal darah dari Jiu Fei yang terpasung penyesalan seumur hidupnya. Besok, hidup atau mati, aku hanya ingin melihat matahari terbenam terakhir kali dengan pedang yang terhunus di tangan.”
Zhao Juren mengangkat sudut-sudut bibirnya, tersenyum aneh pada Li Jin yang termangu sendiri, berusaha mencerna perkataan Zhao Juren yang semakin aneh saja.
ZHAO JUREN
Terimakasih telah membaca novel ini💜 Yuk berikan VOTE, LIKE dan KOMEN biar Author tambah rajin menulis💜💜💜
...I LOVE YOU ALL...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 126 Episodes
Comments
kiri_kanan
zhao yg galau aq yg menangis😭😭
2023-07-08
0
🎼shanly_keys
waduh rencana apa yg dibuat bsk?... knp kata2nya begitu kacau
2023-06-30
1
mama yuhu
masih tentang masalalu
next
2023-04-07
0