Kedua pasukan itu pun saling berhadapan dan menyerang, denting senjata beradu dengan ringkikan kuda, golok dan pedang setaiap kali bertemu dengan daging, membuat jalan darah yang tak putus.
Gelombang serangan silih berganti menerjang di antara pedang berkilauan lasana perak, tak terperikan darah menggenang, setiap sayatan dan potongan tubuh adalah hal yang lumrah, seperti bagian dari cinderamata pertarungan itu. Perang, sungguh adalah arena kematian.
Bau amis darah menguar, mayat-mayat yang telah di tinggalkan oleh nyawa bergelimpangan hampir tak ada harganya. memenuhi mata para prajurit, lapis demi lapis mayat menumpuk di tanah, telinga berdesing, suara serangan berubah menjadi simfoni di telinga. Suara-suara teriakan amarah dan kesakitan seolah harmonisasi di arena peperangan.
Para prajurit yang terluka, dengan sebagian tubuh yang terkoyak itu, mereka seolah sudah mati rasa. Nyaris tak ada suara kesakitan lagi, keringat yang mengucur membaur dengan darah tak menyisakan rasa sakit sama sekali. Syaraf kesakitan mereka telah lumpuh. Mereka hanya menyerang dengan membabi buta, tanpa berhenti untuk mengayunkan tangan seolah tak lagi perduli jika pedang yang ada di tangan meraka patah.
“Bunuh! Bunuh! Mati! Mati! Bunuh!”
Kata-kata itulah yang memenuhi benak setiap orang, tak ada yang terlintas di kepala mereka, bahkan kematian tak lagi membuat mereka ketakutan.
"Membunuh atau di bunuh!" itulah yang ada di fikiran mereka.
Zhao Juren menghentikan ayunan pedangnya, terpana pada seorang prajurit musuh yang menerjang tanpa senjata di depannya, dia menangkap leher seorang prajurit Zhao, dan dengan mata merah dan tangan yang bertelanjang mulutnya menganga lebar, menggigit leher musuhnya seperti serigala yang kelaparan. Jeritan prajuritnya itu memekak telinga seiring darah yang muncrat seperti air mancur dari lehernya, sungguh membuat Zhao Juren bergidik.
Sepanjang peperangan yang di pimpinnya belasan tahun terakhir, dia tak pernah melihat kengerian yang di lihatnya hari ini. Perang bahkan mengubah seseorang lupa pada dirinya sebagai manusia, kekejaman perang sungguh membuat siapapun merinding.
“Sreeeeet…! Crasshh!”
Tanpa ragu, dengan sekali tebas pedang zhao Juren membuat prajurit musuh yang laksana kerasukan itu tumbang dengan robekan besar di dadanya, luka itu pula yang seketika merenggut nyawanya keluar dari raga.
Mata Zhao Juren nanar menatap ke depan, pada prajurit yang bertarung di depan matanya, meski lengannya hampir putus, pahanya pincang karena panah menembusnya, mereka tetap maju dan menyerang dalam sisa tenaga, semangat bertarung meraka tak surut meski di ambang kematian. Mereka tak lagi seperti manusia, tetapi lebih mendekati binatang ataupun segerombolan setan yang menggila.
“Mundurlah…” Zhao Juren merasa tak tega melihatnya. Prajurit terluka itu menoleh padanya, matanya merah tanpa menyiratkan rasa kesakitan sedikitpun.
“Aku tak akan mundur…” Suaranya terdengar tegas dan jelas meski serak.
“Kamu terluka berat, sebaiknya kamu mundur dan kembali ke kemah.” Ucap Zhao Juren sambil mengibas pedangnya menghalau prajurit itu.
“Aku baik-baik saja, Tuan! Jikapun mati, aku akan mati dengan terhormat di medan perang.” Sahutnya sambil menggerakkan kakinya dengan sisa tenaganya.
Zhao Juren terpekur sesaat menatap nyalang pada langkah prajuritnya yang tanpa lengan itu, darah mengucur sedemikan rupa. Tapi semangatnya begitu kuat berkobar untuk terus melakukan perlawanan.
“Siapa namamu?”
“He Shian, Tuan.”
“He Shian kamu adalah prajurit terberani yang pernah ku lihat selama hidupku.”
Mata He Shian berbinar, mendapati pujian dari jenderal besar, junjungannya itu.
“Terimakasih, Tuan Zhao. Aku senang jika mati hari ini dan itu berada di sampingmu.”
Zhao Juren mengangguk dan dengan rendah hati dia memberi penghormatan pada sang prajurit yang di ambang sekarat itu, Zhao Juren tahu, hari ini adalah kali terakhirnya berjumpa dengannya. Karena sebentar lagi mungkin, dia tak akan bisa bertahan lebih lama. Rasa lelah, kehilangan darah dan tenaga yang terkuras, Zhao Juren tahu pengabdian He Shian hanya sampai pada hari ke-6.
“Pukul mundur mereka! Pasukan mereka tak seberapa!” Zhao Juren berteriak sembari menggebah kudanya membelah medan pertemuran, dia mencari dimanakah Li Jin berada. Pedang di tangan Zhao Juren seperti terbang, terayun kesana kemari, Jenderal muda itu seperti naga, meliuk dan bergerak zig zag dengan kudanya.
Dia seperti tak mengenal lelah, luka sambitan dan goresan panah yang mengenainya sama sekali tak membuatnya mundur, Zhao Juren seperti naga yang terluka, dia tak sabar mengakhiri peperangan itu,
dia tak sabar keluar dari kengerian pertarungan ini.
“Li Jin!!!”
Dia memanggil, sambil menatap ke arah langit, sebentar lagi sepertinya matahari akan tenggelam, mungkin mereka harus mengakhiri perang hari ini dalam sepeminum teh ke depan.
Li Jin sama sekali tak terlihat di antara para para prajurit yang saling baku hantam senjata itu, Zhao juren sungguh sangat berharap untuk bertemu dengan Jenderal Qui hari ini secara langsung.
Jika dua orang pemimpin yang bersabung nyawa, jika slah satu di antaranya kalah ataupun tewas maka perang perbatasan ini pastilah akan berakhir.
“Tuan…sepertinya musuh kita mundur sdeikit demi sedikit.” Seorang komandan infanteri pasukan pemanah tiba-tiba muncul dengan kudanya menjejeri kuda Zhao Juren.
“Akupun merasakan hal yang sama, sepertinya sebagian tetap maju tetapi ada sebagian prajurit mereka yang menyingkir dengan jumlah yang tak kentara ke arah hutan di belakang. Mereka seakan sedang
mempermainkan kita.” Sahut Zhao Juren,
“Kami harus bagaimana, Tuan?” Tanya komandan infantery pasukan pemanah itu, Busur panahnya di pegangnya erat sambil menarik kekang kudanya supaya kuda cokelat yang di tungganginya itu sedikit tenang meski berada di antara dentingan besi yang beradu serta pekikan kesakitan dan amarah yang berpadu menjadi satu, sebagian anak panah di punggungnya telah habis, hanya bersisa beberapa bilah lagi.
Belum sempat Zhao Juren menyahut, genderang perang berbunyi dalam irama yang cepat seolah berusaha membakar semangat para prajurit yang berperang di bawah langit yang kelam. Entah karena mendung atau
karena kesedihan.
Darah mengenangi tanah, menjadi serupa sungai-sungai kecil yang mengalir di atas rumput musim gugur yang semula kuning kini menjadi sewarna dengan darah.
Zhao juren merasakan lututnya gemetar, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, dia seolah kehilangan hasratnya untuk meneruskan peperangan kitu. Bukan karena rasa takut, tetapi karena kengerian yang dilihatnya, membuat otaknya seakan membeku. Menang dan kalah, dia tetap berdiri di atas ribuan kematian.
Senyum aneh bertengger di bibir Zhao Juren, meski ia merasa sekujur tubuh menjadi kehilangan separuh tenaganya, dia tak takut pada peperangan, dia tidak gentar pada pertempuran, dia telah menyaksikan ratusan pembantaian di depan antaranya, bahkan dirinya tidak takut pada kematian, tetapi hari ini dia merasa takut pada dirinya sendiri.
“Tuan Zhao…!” Kuda Li Jin sudah berada tepat di samping kuda milik Zhao Juren, tanpa di sadari oleh Zhao Juren, di tangannya terhunus pedang yang masih berlumuran darah segar.
Terimakasih telah membaca novel ini💜 Yuk berikan VOTE, LIKE dan KOMEN biar Author tambah rajin
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 126 Episodes
Comments
Solikin
ngeri ngeri sedap thooooor.....takut Aq bacanya.... merinding oe....😔😔😔
2023-03-30
0
Ulil
karya wao,, feelnya dapet banget,,,,
kereeeenn
2022-11-01
1
Eka Haslinda
jadi orang kok guwaanteng banget yak
2022-09-18
0