"Mas Dika?" Pekik Raya terduduk. Rasa ngantuknya sudah hilang. Raya memusatkan perhatian dan kesadarannya mendengarkan suara pria itu. Hatinya masih bergetar mendengar suara Dika. Bagaimanapun, tidak mudah menghapus kenangan seseorang yang sudah menemani selama dua tahun ini, terlepas dari segala kesalahannya.
"Ray, kau ada dimana? Mas ingin bertemu denganmu sekarang."
"Mas kenapa?" Raya tidak bisa menyembunyikan kepanikannya saat mendengar suara Dika yang bergetar, pria itu menahan tangisnya, Raya tahu akan hal itu. Dia menebak, sesuatu yang buruk sedang terjadi.
"Kita ketemuan, ya Ray."
***
Padahal mereka baru berpisah beberapa hari, tapi Raya sudah begitu canggung bertemu dengan Dika. Keduanya duduk berhadapan di salah satu cafe, memesan dua gelas kopi kekinian.
Dika masih diam, mata masih menatap dalam wajah Raya hingga gadis itu merasa kikuk. "Mas, katanya mau ngomong, ada apa? apa semua baik-baik saja?"
"Ray, Mas lagi ketimpa musibah," ucapnya pelan menunduk malu. Harusnya dia malu karena masih menghubungi dan mendatangi mantan istrinya dengan masalah yang dia hadapi.
"Masalah apa, Mas?" Dari nada suara Raya, Dika tahu, wanita itu masih peduli terhadapnya.
"Proyek kerja sama Mas sama kantor walikota kemarin, gagal. Mereka menuntut Mas harus mengembalikan uang muka saat kerja sama kemarin."
"Hah? kenapa bisa begitu, Mas? Kalau mereka yang memutuskan kerja sama, harusnya mereka tidak berhak menuntut uang kembali, apa lagi ganti rugi," ucap Raya sedikit bingung. Walau dia hanya lulusan SMA, tapi Raya termasuk wanita cerdas yang juga suka baca buku dan mengikuti acara berita di televisi.
Untuk kedua kalinya Dika menunduk. Mulutnya seolah kehilangan lidah hingga tidak bisa berkata apa pun. Bagaimana mungkin dia mengatakan alasan yang sebenarnya, bahwa demi mengikuti keinginan na*fsu nya, memilih check-in di hotel yang bercinta dari pagi hingga Maghrib dengan Lani.
Nasi sudah jadi bubur. Kalau saja dia tidak mengikuti keinginan Lani hari itu, masalah ini tidak akan terjadi.
"Mas..."
Lamunan Dika buyar. Memupuk keberanian dirinya untuk menatap Raya. "Mas juga gak tahu alasannya. Hanya saja mereka cuma bilang mas udah melanggar kontrak kerja sama."
Kerutan di kening Raya menyatakan isi pikirannya kalau dia tidak mengerti penjelasan Dika. "Mungkin karena kemarin, Mas gak masuk... karena sakit, jadi kena pinalti," ucap Dika mencari alasan guna menyelamatkan wajahnya di hadapan Raya.
Diawali dengan ingkarnya Dika datang meeting hari itu, diikuti seminggu penuh dia tidak ada kabar, karena mengurusi masalahnya dengan Raya dan Lani, hingga kerja sama diputus mereka dan meminta Dika mengembalikan uang muka serta pinalti yang tertera dalam kontrak.
"Ya sudah. Mungkin memang belum rejeki, Mas. Kembalikan saja uang mereka."
"Tapi Mas juga kena pinalti sesuai kontrak yang Mas tanda tangani. Ray, Mas mau minta tolong, pinjamkan uang untuk Mas. Aku ingat kau masih punya uang hasil jual ruko itu serta tanah dan juga rumah." Dika melayangkan tatapan memohon. Dia tahu ini sangat memalukan, tapi dia sudah tidak punya pilihan lain selain meminta tolong pada Raya. Mungkin secara agama mereka sudah bukan suami-istri lagi, tapi secara hukum mereka masih suami-istri. Selagi surat cerai itu belum keluar, maka mereka masih punya hubungan.
"Tapi Mas... itu kan sudah Mas berikan untukku," ucap Raya melemah. Seketika dia kalut, kalau Dika mengambil kembali, lalu dana untuk buka usaha dia harus cari dari mana?
"Iya, Mas tahu. Tapi itu Mas alihkan padamu, karena permintaanmu. Mas kasih juga karena mas pikir walau atas namamu, itu juga milik Mas, karena kita suami-istri. Kalau Mas tahu kita akan bercerai, sejujurnya Mas tidak mungkin memberikan semuanya."
Ucapan jujur Dika hanya ditanggapi Raya dalam diam. Dia tidak menyalahkan Dika sepenuhnya. Raya sadar, dulu harta itu dia amankan demi kesejahteraan dan jaminan calon anak mereka, dan kini setelah anak itu tidak akan pernah lahir, maka sudah sepatutnya harta itu dibagi.
Dia tidak ingin dicap sebagai wanita mata duitan. "Mas mau minta berapa? sejujurnya Mas, aku butuh dana untuk hidup. Aku ingin membangun usahaku, agar bisa menopang hidupku," ucap Raya akhirnya. Dia tahu kalau Dika bukan manusia licik dalam hal harta. Apa lagi dia tahu, dia berada dalam posisi saat ini, memiliki harta ini dan itu, tidak lepas dari bantuan istrinya.
"Mas butuh 4 M."
"Hah? Mas...?" Raya terpekik kaget. Dia tidak menduga sebesar itu yang dibutuhkan Dika.
"Mas minta maaf. Dalam kontrak itu, mereka menjerat mas dengan denda pinalti 3 M, dan Sisanya untuk biaya ibu operasi."
"Ibu? ibu masuk rumah sakit? ibu kenapa Mas?" tanya Raya panik. Mereka mungkin sudah berbuat jahat padanya, namun siapa pun yang saat ini dalam keadaan sakit dan harus masuk rumah sakit, berhak mendapatkan sikap empati. Walau bukan mertuanya lagi, tapi Raya iba mendengar Titin harus masuk rumah sakit, apalagi hingga harus menjalani operasi.
"Mendengar pihak humas kantor walikota melayangkan gugatan padaku, dan mengatakan kalau tidak memberi ganti rugi, maka aku akan mendekam di penjara, ibu mendengar, jatuh pingsan karena kena serangan jantung."
"Astagfirullah... ibu?" Raya menutup mulutnya. Dia tidak menduga beberapa hari pergi dari rumah itu, sudah banyak yang terjadi.
"Karena itu, Ray. Mas minta pengertian mu. Mas janji, kalau keuangan Mas nanti sudah memadai, Mas akan mengembalikan yang menjadi hak mu."
Raya merasa terjepit. Dia butuh biaya besar, tapi dia juga tidak bisa bersikap egois, menutup mata telinga atas apa yang terjadi pada ibunda Dika. "Baiklah, Mas. Aku akan mengembalikan surat rumah dan tanah itu pada Mas."
"Tapi itu tidak akan cukup, Raya. Mas pinjam kembali uang hasil jual ruko itu, ya?"
"Tapi aku juga perlu, Mas. Sejujurnya aku sudah sewa ruko mau buka usaha laundry. Aku sudah bayar uang sewa selama satu tahun dan membeli beberapa perlengkapan buat laundry," ucap Raya lemah.
"Jadi gimana ini, Ray?"
"Aku kembalikan setengah dari uang hasil jual ruko itu ya, Mas. Sisanya buat aku bertahan hingga laundry itu bisa menghasilkan."
"Baiklah, Ray. Terima kasih. Mas janji akan segera mengembalikan semua yang menjadi hak mu nanti."
Raya hanya mengangguk lemah menanggapi perkataan Dika.
Tidak ingin berlama-lama lagi, Raya mengajak Dika ke hotel untuk mengambil surat rumah dan sertifikat tanah. "Nanti Mas hubungi saja aku kalau mau jual, aku akan datang untuk menandatangani berkasnya," ucap Raya mengantar Dika hingga ke lobi hotel.
"Sekali lagi terima kasih, Ray. Sampai kapan kau akan tinggal di sini?"
"Lusa aku udah keluar dari sini Mas, setelah membersihkan Ruko dan menempatkan semuanya di sana."
"Mas boleh minta alamat laundry mu?" pinta Dika berharap.
"Maaf, Aku rasa gak perlu, Mas. Hidup kita sudah masing-masing. Kalau ada urusan mengenai pengembalian sesuai janji Mas atau pun menandatangani surat perceraian kita, maka lebih baik kita bertemu di luar saja."
***
Raya jangan dihujat ya reader, dia hanya berusaha tidak menjadi orang culas dan tidak punya hati seperti ketiga orang yang dia kenal itu. Thanks masih setia, bagi hadiah dong☺️
Oh, iya, mampir ya
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 170 Episodes
Comments
kimiatie
geram sudah saya dengan sikap lembut raya...itu pun harta gak nya sebab emas dia yang digadai untuk memulakan usaha mereka....hisssss
2023-11-30
2
Mujiyanti
setiap novel kok wanitanya yg selalu bego, bego kok di pelihara to ya raya
2023-09-06
0
Yusnita Nenvawaty Sihombing
memang bodoh kau raya
2023-03-19
1