Suara petir yang menyambar, membuat Raya terbangun. Mimpi buruk menyapa tidurnya. Dika tampak tertawa bersama Lani, saling mengumbar kemesraan dan terakhir berencana menyingkirkannya dan juga anak mereka.
Butiran bening memenuhi keningnya. Deru napasnya masih memburu, dia menoleh ke samping, suaminya tidak ada di sana. Disapunya semua keringat yang membanjiri, tepat pukul empat pagi saat dia melirik jam di dinding.
"Mas Dika, kemana dia? Kenapa tidak ada di kamar?" gumamnya turun dari tempat tidur. Terlalu dini untuk mulai melakukan rutinitas paginya, tapi dia juga tidak berniat untuk tidur kembali.
Melihat ruang keluarga kosong, Raya mulai mengernyit. Menebak-nebak kemana suaminya sepagi ini. Tiba-tiba pikirannya tertuju pada kamar Lani yang terletak di arah belakang.
Perlahan diseret langkahnya, nyaris takut menapaki lantai rumah. Namun, masih sampai meja makan, Dika muncul. Tampak baru siap mandi, terlihat dari rambutnya yang baru saja dikeramas.
"Ma-Mas? Tumben sepagi ini udah bangun, udah mandi pula. Biasanya aku harus berulang kali membangunkan, Mas. Ini jangankan bangun, bahkan sudah mandi malah," ucap Raya menyelidik. Sebenarnya apa gunanya dia bertanya, nalurinya sudah menjelaskan semuanya, terlebih dengan keadaan saat ini.
"Kau ini istri yang aneh, suaminya melakukan hal yang benar, tetap aja salah. Seharusnya kau justru harus bangga punya suami yang taat menjalankan ibadahnya seperti aku, bukan malah ngedumel!" hardik Dika berlalu meninggalkan Raya menuju kamar.
Raya diam, memilih tidak ingin memperkeruh suasana. Melanjutkan niatnya untuk ke dapur dan mulai memasak. Sekilas dia melirik ke arah kamar Lani. Alunan lagu dangdut terdengar. Ada dorongan untuk mengintip, setelah celingak-celinguk, Raya berjalan mendekat ke pintu kamar. Entah sengaja atau tidak, pintu itu terbuka setengah.
Lani di sana, berbaring telungkup, dengan punggung terekspos jelas, hanya tertutupi selimut hingga batas ketiak. Raya mengepal tinjunya.
"Pantas saja kau keramas, Mas. Kau mengatakan mandi karena ingin sholat, tapi nyatanya kau baru saja berbuat zinah lagi," batin Raya meremas daster merah yang tengah melekat di tubuhnya.
Kakinya sudah bersiap melangkah masuk, tapi, mengingat semua rencananya akan berantakan, maka dia pergi dari sana dengan kehancuran lebih dalam.
"Kau belum berangkat?" tanya Raya yang baru keluar dari kamarnya setelah mempersiapkan keperluan Dika untuk berangkat kerja, dan menemukan Lani sedang sarapan dengan santainya.
"Oh, belum, Raya. Aku nebeng dengan Mas Dika, tadi udah ngomong, kok. Kata Mas Dika, dia mau cek laporan keuangan," sahut Lani masih sibuk menyantap nasi goreng yang tadi Raya masak.
"Kenapa harus nebeng? Bukannya kau biasanya pergi sendiri? Mas Dika masih lama lagi baru berangkat, kau aja duluan. Takutnya di laundry banyak kerjaan."
Raya tersulut, geram hingga intonasi suaranya naik. Perlahan tapi pasti, Lani seolah ingin menunjukkan keberadaan dirinya di rumah ini. Seolah dia ingin Raya tahu kalau semuanya telah berubah, dia bukan Lani yang selama ini dianggap benalu.
"Ada apa kalian ribut-ribut? Ini masih pagi, apa gak malu sama tetangga? Bisa gak Raya, suaramu itu kalau ngomong sama Lani lebih santun, jangan marah-marah. Aku yang jadi pusing jadinya!" hardik Dika yang sudah berada di sisinya, menarik kursi dan ikut duduk bersama Lani.
"Aku gak ribut, Mas. Aneh, aja. Biasanya Lani berangkat ke laundry sendirian, kenapa sekarang harus bareng dengan mas Dika? Toko kita sama Laundry, kan, beda arah, Mas?"
"Sudah. Hal sepele seperti itu aja kau ributkan. Kau masih bisa diatur gak? Sebagai istri seharusnya nurut sama suami! Lani ikut sama Mas juga karena memang hari ini Mas mau cek pembukuan di Laundry!"
Suasana hening. Raya tidak ingin mendebat lagi. Wajah Dika sudah mulai memerah, jadi dia tidak ingin mempersulit posisinya.
Riak air mata Raya mengembang, sakit itu semakin menguak lebar. Perih. Dia memilih untuk ke dapur, masuk ke kamar mandi, tidak ingin Lani melihat air matanya yang berati kekalahan dirinya. Di dalam kamar mandi, dia menumpahkan kesedihannya.
Hanya sepuluh menit, Raya belum puas menangis, tapi dia ingin memberangkatkan suaminya bekerja. Salahkah dirinya sebagai seorang istri memberi kesempatan pada suaminya yang sudah berbuat salah? Salahkah dia sebagai istri memberikan satu kesempatan bagi ayah dari anaknya?
Kalau menuruti hati nurani, Raya pasti akan memilih segera pergi meninggalkan suaminya, tapi ada anak dalam rahimnya. Mereka juga tidak mungkin bisa bercerai, karena kondisinya yang tengah hamil, karena haram hukumnya, kan?
Jadi, walau pun mungkin semua orang akan mengatakan dia wanita bodoh, sudah dilukai tapi masih mau memberikan kesempatan pada suaminya, biarlah mereka berkata seperti itu. Manusia akan mudah menghakimi, mudah mengatakan apa yang dia pikir benar, karena bukan pada dirinya dihadapkan masalah tersebut.
"Mas, udah mau berangkat?" tanya Raya yang sudah melihat suaminya dan Lani berdiri di teras rumah.
"Iya. Kau itu gimana, sih? Suami mau pergi bekerja, bukannya diberangkatkan, malah ngumpet di dapur!" hardik Dika tajam. Raya sempat menangkap senyum mengejek Lani ke arahnya sebelum wanita itu buang muka.
"Mmm..., kalau gitu aku temani mas ke toko ya hari ini. Aku bosan di rumah sendiri," ucap Raya tidak ingin memberikan kesempatan mereka berdua.
"Kau di rumah saja. Jaga anak kita. Jangan grasak-grusuk pengen jalan. Ibu hamil harus diam di rumah. Kalau bayi itu sampai kenapa-kenapa, gimana?"
"Aku, kan bersama Mas, gak mungkin kenapa-kenapa. Aku ikut ya, Mas. Dulu juga waktu belum ada Lani, aku juga yang mengawasi laundry, kan?"
"Cukup, Raya! Kenapa sih kau selalu membantah. Kau sudah buat mood ku jadi buruk pagi ini. Bagaimana bisa aku bekerja dengan baik, dapat rezeki, kalau istriku saja sudah buatku kesal saat mau berangkat kerja?"
Raya ingin buka mulut, tapi akhirnya dibatalkannya. Dia tidak ingin membuat dirinya jadi bahan hinaan di depan Lani.
Raya mencium punggung tangan suaminya, lalu menatap kedua manusia itu masuk ke dalam mobil. Raya menatap jijik pada pasangan tukang selingkuh yang memang sudah putus urat malunya itu. Mobil keluar gerbang, dan menghilang di ujung pandangannya.
Apa salahku pada kalian? Mengapa kalian berdua begitu jahat padaku?
***
"Mas, aku kangen banget samamu," ucap Lani agresif, tanpa malu menyentuh milik Dika yang terbungkus rapi dalam celana kerjanya. Bibirnya tidak hentinya menciumi pipi Dika penuh gejolak, bahkan mobil belum terlalu jauh dari rumah.
"Lani, Sayang, kau jangan mancing pagi-pagi begini. Nanti kalau aku pengen gimana?"
Mobil terus bergerak, hingga ke belokan pertama, mereka berhenti karena lampu merah.
"Habis, subuh tadi kamu oke banget, Mas. Aku nagih," ucapnya lebih berani. Membuka tali pinggang Dika dan juga kancing celananya, membebaskan milik pria itu yang belum seutuhnya berdiri sempurna.
"Iya, Sayang. Tapi jangan di sini. Bentar lagi lampunya udah hijau." Tapi Lani yang ingin mengunci hati dan pikiran Dika hanya padanya tidak peduli, segera menunduk dan melahap milik Dika.
Lampu hijau, Dika terpaksa menjalankan mobil dengan mulut Lani yang menempel di bawah sana.
"Gak bisa kalau begini, harus carik lapak!" cicit Dika menahan hasratnya.
***
Hai semua, mampir yuk..
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 170 Episodes
Comments
Athallah Linggar
Dihh kya laki2 cuma dia aja Diblokir rekeningnya ray Trs usir dr rumh Laki2 merasa berkuasa kr pny dwitt Toh usaha jd modal se kami ngapain kamubkiin sakit ati tmbh parah Jgn bego jd perempuan
2023-05-16
0
Diana
aduh aku ko gemes yah SM karakter raya...suami begitu kenapa tidak di tinggal kan saja
2022-12-05
0
Winar hasan
gak perlu ray....klo cm selingkuh doang entahlah...tp mereka dah zina berkali kali....tinggalin aja ray....uang bisa dcari ketimbang tekanan bathin..biarim mreka dapat karma nya nanti
2022-10-06
1