Dika tersentak oleh jeritan Raya yang kesakitan. Wanita itu bahkan sampe bersimpuh di ranjang, menahan lilitan rasa sakit yang menyerang perutnya. Air mata terus mengucur menggenangi pipinya.
"Sayang, kau kenapa?" Dika panik hingga wajahnya memutih. "Ibu... ibu..."
Teriakan Dika yang menggelegar tertelan oleh suara guntur dan derasnya suara hujan. "Sayang... sebentar aku panggil ibu." Dika berlari keluar menggedor pintu kamar Titin dan sekalian ke kamar Lani, membangunkan wanita itu. "Bangun, Lan. Itu Raya kesakitan. Aku bingung," ucapnya kemudian berlari lagi ke arah kamar. Titin sudah keluar kamar dan mengikuti langkah seribu Dika.
Raya hampir meregang nyawa, begitu kesakitan. Wajahnya memucat dan bibir membiru. "Raya kenapa, Dika?" tanya Titin ikut panik, duduk di samping Raya mengelus rambut wanita itu yang sudah basah oleh keringat.
"Aku gak tahu, Bu. Kami tidur, lalu Raya tampaknya terbangun karena kesakitan..." terang Dika.
"Cepat kita bawa ke rumah sakit," hardik Titin.
"Ba-baik, Bu..."
***
Di tengah rintik hujan, Dika menyetir mobil dengan laju, membelah jalan dengan penuh ketakutan. Dia takut terjadi hal buruk terhadap istri dan anaknya.
"Cepat, Dika. Ibu takut. Napas Raya sudah sangat lemah." Mata Titin membelalak, Darah segar menetes menuruni paha Raya.
Ucapan Titin semakin membuat panik. Lani yang ikut serta membantu mengeringkan keringat di kening Raya. Menatap kosong pada wajah sahabatnya ini yang tampak meregang nyawa.
Tiba di depan pintu rumah sakit, para perawat segera membantu menurunkan Raya dan meletakkan tubuhnya di brankar. Dika terus mengikuti Raya yang dibawa oleh tim medis, tapi hanya sampai pintu ruangan.
"Bapak tunggu di sini. Kami usahakan yang terbaik untuk pasien."
***
Tidak putus Dika berdoa. Berharap Raya baik-baik saja. Dia ingin bayi dan istrinya selamat. Dia begitu panik dan juga ketakutan melihat wajah istrinya yang sekarat.
Hampir satu jam berlalu, dokter yang tadi menangani Raya keluar. Penuh semangat Dika menghampiri. "Bagaimana keadaan istri saya, Dok?" Titin yang ikut berdiri di belakang Dika harap cemas, menunggu jawaban sang Dokter.
"Kondisi istri bapak sudah stabil, walau saat ini masih tidak sadarkan diri. Hanya saja..."
"Hanya apa, Dok? Apa yang sebenarnya terjadi, Dok?"
"Kami minta maaf, Pak. Janinnya tidak bisa kami selamatkan."
Terdengar tubuh roboh. Tubuh Dika bergetar, tersungkur ke lantai. Menangis menyesali diri. "Dika, sudah, Nak. Jangan menangisi yang sudah terjadi," Titin memeluk punggung anaknya, ikut merasakan kesedihan yang mendalam yang dialami putranya. Dia juga sedih, cucu pertamanya tidak lahir ke dunia.
"Dok, apa penyebabnya? kenapa istri saya keguguran, Dok?"
"Pasien sepertinya salah mengkonsumsi makanan, yang membuat janinnya jatuh hingga mengalami keguguran. Makanan yang memang keras dan sangat tidak dianjurkan dikonsumsi ibu hamil, terlebih karena kandungan pasien sangat lemah."
Keterangan dokter membuat Titin dan Sikap saling pandang. Tidak menduga kalau penyebab kehilangan calon bayi mereka karena makanan yang dikonsumsi Raya.
"Saya permisi dulu, Pak, Bu. Keluarga sudah boleh masuk untuk menjenguk, namun diharapkan agar pasien dibiarkan beristirahat dulu dan jangan banyak diajak berinteraksi."
"Apa yang dimakan Raya hingga membuat janinnya jatuh?" ucap Titin setelah memastikan hanya mereka bertiga berada di sana. Pandangannya berubah pada Raya setelah mendengar penjelasan dokter.
"Aku juga gak tahu, Bu. Selama ini dia baik-baik saja. Hanya seingatku beberapa hari belakangan ini dia mengeluh perutnya sering sakit dan melilit," ucap Dika lemah. Duduk di bangku ruang tunggu dengan Lani yang menghapus-hapus punggungnya, mencoba menenangkan.
"Kau gak dengar, kalau dokter bilang ini karena makanan yang dia konsumsi? Calon ibu seperti apa yang tidak tahu mana makanan yang baik dan yang buruk untuk dia makan?"
Lani yang sejak tadi mati ketakutan, bahkan sampai menangis, bukan karena prihatin dan ikut sedih melihat kondisi Raya, tapi karena takut ketahuan menjadi biang keladi insiden ini, kini bisa bernapas lega dan kembali tersenyum.
Bahkan ucapan Titin menjadi penyemangat buatnya untuk menyudutkan Raya. "Apa mungkin karena selama ini Raya makan makanan yang berlebihan? kemarin aja dia makan nanas muda sampai dua buah, Bu."
Bola mata Titin membulat. Rasa kesal berubah benci. Dia sudah mengharapkan mempunya cucu tampan yang bisa dia banggakan di kampung.
"Dasar wanita bodoh!" umpat Titin kesal.
***
Dua hari di rumah sakit, Raya yang terpukul mendengar apa yang dia alami dibawa pulang. Sejak saat itu pula dia tidak buka suara. Hanya diam mengurung diri dalam kamar.
"Ray, makan dulu," ucap Dika membawa sepiring nasi ke kamar mereka.
"Aku gak lapar, Mas," sahut Raya lemah. Tatapannya menatap keluar, kosong dan hampa.
"Dika, kau ngapain di sana. Gak perlu lagi kau melayani istri yang tidak berguna, menjaga janinnya saja tidak mampu. Sudahlah susah hamil, sekalinya hamil malah gak bisa jaga kandungan!" hardik Titin yang sudah berdiri diambang pintu. Hati Raya seperti diremas, sakit hancur berkeping mendengar ucapan tidak berperasaan mertuanya.
"Raya, kau gak usah manja. Sebaiknya kau cepat bangun dari tempat tidur, kerjakan pekerjaan rumah tangga. Gak usah sok larut dalam kesedihan. Toh, anakmu mati juga karena kelakuanmu yang tidak becus!" makian Titin masih berlanjut.
"Ibu, cukup. Jangan bicara seperti itu. Raya juga tidak ingin kehilangan calon anak kami," balas Dika membela Raya. Dia begitu kasihan melihat istrinya.
"Alah, dasarnya bo*doh yang bo*doh saja. Gak usah kau urus lagi. Ibu mau pulang ke kampung lusa. Besok segera kau dan Lani menikah. Siapa tahu si Lani langsung bisa ngasih ibu cucu."
Seperti disambar petir, ucapan Titin menyentak kesadaran Raya. Air matanya jatuh. Dia juga tidak ingin dihina terlalu lama lagi. Dia menangis meratapi calon bayinya yang kini sudah hilang. Dia masih dalam keadaan berduka. Harusnya suami dan mertuanya memberikan penghiburan dan kekuatan, bukan malah menyalahkan dan menghakiminya.
"Ibu, aku mohon, jangan mengatakan hal yang membuat Raya semakin sedih." Dika meremas tangan Raya, berusaha memberi kekuatan.
"Ibu tidak mau tahu. Raya, jujur dari awal ibu sudah tidak suka denganmu. Sebenarnya kau tidak jauh beda dengan Lani, wanita tidak benar. Asal kau tahu banyak orang kampung yang tidak percaya kau diperko*sa, tapi justru kau memang sengaja jual diri."
Raya seolah tertampar. Diingatkan kembali akan masa lalu yang setengah mati dia coba lupakan. Air matanya semakin deras meleleh. Namun, segera dia hapus dengan punggung tangannya.
"Besok kau menikah dengan Lani, tidak ada tawar-menawar lagi!"
"Ibu, Raya masih dalam keadaan berduka, tidak mungkin aku menikah dengan Lani besok."
"Ibu bilang besok!" Titah Titin. Lani yang mencuri dengar tersenyum penuh kemenangan.
"Menikahlah, Mas. Tapi aku mohon, saat ini juga talak aku. Talak tiga!"
***
Hai, bagi gift dong, dan mampir ya..
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 170 Episodes
Comments
Siti Aisyah
iiihh...hati ku ikut nyeuleukit..bener.bener mulut mertua nya pedes banget...apalagi begitu raya minta talak tiga langsung...😭😭
2023-02-11
0
Partini Maesa
berhubung udah gx hamil cwrai aja lbh baik
2023-02-01
0
Windarti08
kok gak ada yang curiga sama Lani sih... malah nyalahin Raya
2023-01-26
0