Pria misterius dan tampan itu tampak kesusahan membawa motor besarnya dengan koper yang berada di antara dirinya dan Raya. Mereka berhenti di sebuah toko besar dan terlihat mewah.
"Tunggu dulu, ngapain kita ke sini?" tanya Raya menahan kopernya yang ada di tangan pria itu yang sudah ingin membuka pintu kaca.
"Tadi katanya mau minta ganti koper."
"Oh, iya." Raya menunduk, mengikuti langkah pria itu.
Koper yang dipilih Raya berwarna abu-abu. Dia meminta izin untuk menyusun kainnya ke toilet yang ada di toko itu. "Udah jam 12, gue lapar. Kita makan dulu," ucap pria yang sampai detik ini belum juga mengenalkan namanya pada Raya. Mereka sudah berada di luar toko dan pria itu melirik cafe yang ada di samping toko.
"Kau aja yang makan. Aku gak usah. Aku pamit dulu." Langkah Raya dihentikan, kembali pria itu menangkap pergelangan tangan Raya.
"Temani gue makan." Tanpa menunggu jawaban Raya, Pria itu sudah membawanya memasuki Cafe dan memilih duduk di sudut ruangan yang lebih nyaman. Pria itu tahu, Raya juga lapar, hanya gengsinya saja yang buat gadis itu menolak ajakannya.
"Nama lo siapa? Gue Adipati, panggil gue Dipa," ucapnya menatap Raya yang berusaha santai, menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi.
"Aku Raya." Suara Raya terdengar lemah. Tatapan Dipa membuatnya malu sekaligus gugup. Kepercayaan dirinya hilang. Dia gadis yang berani bersikap, namun saat berhadapan dengan pria yang memperlakukannya dengan lembut seperti itu.
"Kau dari mana? mau kemana?" tanya Dipa ikut bersandar di kursi menatap ke arah Raya yang masih tertunduk, dengan melipat tangan di dada. Menyelidik dan menganalisa karakter dan coba menyelami apa yang saat ini tengah gadis ini hadapi.
"Aku dari kampung. Mau carik kerjaan," ucap Raya mengangkat wajahnya. Benar tebakannya kalau pria itu tengah melihatnya dan menunggu jawaban darinya.
"Kerja?"
Raya menimbang. Dia tidak mengenal siapa pun, apa sebaiknya dia percaya saja pada Dipa. Walau mereka baru kenal, Raya merasa aman di dekat pria itu. Hatinya bilang kalau Dipa pria baik.
"Sebenarnya, aku bukan mau cari kerja. Aku mau cari tempat tinggal sekaligus tempat untuk buka usaha," ucap Raya lebih berani. Pikirannya sudah meyakini kalau Dipa memang benar orang yang baik.
"Usaha apa? mungkin aku bisa bantu."
"Aku ingin ruko, yang bisa aku jadikan tempat tinggal sekaligus buka usaha laundry."
"Baiklah, sepertinya aku bisa bantu. Sekarang cepat habiskan makan mu, lalu kita cabut dari sini."
***
Sebelum memeriksa ruko yang akan dia sewa, Dipa mengantar Raya untuk check-in ke hotel, lalu setelah meletakkan barang-barangnya mereka menyusuri kota menuju ruko yang dimaksud Dipa.
"Ini ruko nya," ucap Dipa berdiri di hadapan bangunan berlantai dua. Toko hadiah berupa bunga, boneka dan aksesoris lainnya tersebut masih aktif walau sudah ada spanduk 'Ruko ini dikontrakkan'.
"Wah, Mas Dipa. Ke sini lagi? mau cari kado lagi?" sambut salah satu pramuniaga mendatangi mereka ke teras toko.
"Bukan, Des. Gue mau ketemu sama Koko, mau ngontrak ruko ini."
"Oh, kirain mau ketemu sama Desi," jawab wanita itu tersenyum genit. Raya yang melihat gaya agresif Desi pada Dipa hanya tersenyum. Wajah sih, reaksi Desi seperti itu, Dipa pria yang tampan yang memilik tubuh atletis, yang menunjang penampilan untuk bisa mempesona kaum Hawa.
Sepuluh menit kemudian, keduanya sudah berada di ruangan pemilik Ruko, saling tawar harga sewa. Bagi Raya harganya sangat mahal, walau sesuai dengan lokasi yang memang ada di jantung kota.
"Kenapa tokonya mau ditutup, Ko?" tanya Raya penasaran. Dia lihat banyak orang yang datang belanja ke toko itu.
"Gue mau pindah ke China, semua sisa barang mau diterusin sama adek gue yang juga buka usaha yang sama di Jakarta Selatan."
Raya bisa bernapas lega. Sempat terpikir olehnya kalau ruko itu angker, namun penjelasan Koko itu menyingkirkan prasangka buruknya.
Setelah nego, Raya dan pemilik ruko itu menyetujui harga sewa, dan setelahnya segera pamit pulang. Uang muka sudah di transfer. Raya bisa tenang, dia sudah siap untuk memulai kehidupannya yang baru.
"Makasih, ya. Maaf kalau aku sudah merepotkanmu." Raya turun dari motor Dipa, tepat diparkiran hotel. Hari sudah senja, tubuh Raya pun sangat terasa lelah.
"Minta nomor, Lo." Dipa menyerahkan ponselnya. Raya diam sesaat, menatap ponsel Dipa yang ada di hadapannya, lalu naik ke wajah pria itu. Raya pikir dia sudah tidak akan berhubungan lagi dengan Dipa. Bukan, dia bukan tidak tahu terima kasih atas pertolongan pria itu satu hari ini, tapi kan... Oke, baiklah. Tidak ada salahnya membagi nomornya. Lagi pula, siapa dia hingga Dipa akan menghubungi lagi. Demi kesopanan, Raya mengambil ponsel itu, lalu mengetik nomornya.
Dipa segera menekan, dan setelah terdengar nada sambung sekaligus nada dering dari tas tangan Raya, Dipa mematikan panggilan itu. "Jangan lupa simpan nomor gue."
***
Langkah Raya terhenti di lobi hotel. Di depannya sudah ada Dipa, mengangkat kaki kirinya dan menumpukan pada lutut kanannya.
Raya melirik jam besar di ruangan itu, pukul 10 pagi, dan Dipa sudah ada di sana. "Kau?"
"Gak senang banget wajah lo lihat kedatangan gue. Padahal niat gue baik loh. Mau bantuin, lo!" ucapnya menghela napas berat, memasang wajah sedih seolah terluka melihat reaksi Raya.
"Bukan begitu. Sorry. Kau ke sini mau apa?" Raya memilih duduk di kursi yang ada di samping Dipa.
"Gue ingat, lo kan mau cari perlengkapan laundry, ya biar gue bantuin."
"Eh, jangan. Aku gak mau merepotkan mu. Aku bisa kok sendiri." Raya buru-buru menolak niat baik Dipa. Tapi tampaknya pria itu bukan tipe yang mudah menyerah.
"Udah, gak usah pakai basa-basi ala negeri berflower ini, ayo, kita berangkat."
***
Raya hanya membeli keperluan utama. Dia tahu, dananya terbatas, jadi dia harus membeli yang paling penting saja. Mesin dua buah, pengering, setrika uap dan juga dua buah rak kain dan meja kasir.
"Cukup?" tanya Dipa yang sejak tadi duduk memperhatikan Raya bicara pada pegawai toko.
"Butuh beberapa keranjang. Mmm, aku juga harus buru-buru pasang iklan, cari tenaga kerja," ucapnya menerima botol air mineral yang ditawarkan Dipa.
"Lambat laun pasti dapat. Jangan diporsir, nanti lo drop lagi."
Ucapan Dipa menjadi kenyataan. Paginya Raya sama sekali tidak bisa beranjak dari tempat tidur. Sejak semalam dia demam tinggi. Mungkin karena sudah berhari-hari tidur dan makan tidak teratur.
Dering ponselnya membuka matanya dengan enggan dan hanya setengahnya. Bangun dari tidurnya yang sudah masuk sesi kesekian. "Halo?" ucapnya dengan suara parau. Radang tenggorokan juga kini melandanya.
"Ray... kau dimana? Ray... Mas mau ketemu kamu, tolong Mas, Ray..."
***
Hai, makasih masih betah di sini, ayo dukung aku terus. oh, iya mampir ya, siapa tau suka, makasih banyak.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 170 Episodes
Comments
Ujung Harapan
duit 2 ember sama tanah yg luas kemana Thor ,, walaupun ini cuma imajinasi tapi harus konsisten dong biar halu ku maksimal
2022-10-05
2
Risnha Isnhaa
kenapa minta tolong nya sama mantan
2022-09-29
1
Pujiati Fathir
ngapain lagi dika mau ketemu raya
2022-09-25
1