Angin malam menyapu wajah kaku Dika melalui jendela kamar yang dia buka. Suami istri itu masih terkungkung dengan persoalan perceraian.
Tidak mau ditawar, Raya tetap ingin bercerai. Tidak alasan untuk tetap mempertahankan rumah tangga mereka. Awalnya ada calon anak, yang mungkin bisa menjadi jembatan untuk memperbaiki rumah tangga mereka yang sudah sempat hancur. Tapi kini, sudah tidak ada, jadi untuk apa masih bersama?
Dika tidak menerima permintaan Raya. Itu sudah jelas. Lebih dua jam berdebat, dan Raya sudah sampai pada keputusannya, pergi dari rumah ini. Penuh luka hati, wanita itu mengemas barangnya, memasukkan ke dalam koper yang dulu menjadi tempat dia membawa pakaiannya dari kampung, kala Dika memboyongnya ke kota, pasca pernikahan mereka.
"Sampai kapanpun, aku tidak akan menceraikanmu. Aku mencintaimu, Ray!"
"Itu bukan Cinta. Satu hati tidak akan bisa mencintai dua wanita bersamaan! Kau hanya merasa punya tanggung jawab padaku, tidak ingin membiarkan aku sengsara di luar sana. Jangan khawatir, aku akan baik-baik saja," ucap Raya menghapus jejak air matanya.
Pakaiannya sudah semua dikemas, dan besok dia akan pergi dari rumah itu. Bahkan mertuanya memintanya untuk berangkat malam ini, tapi Dika melarang keras, menarik tangan Raya untuk masuk ke kamar.
Malam itu, Raya yang tengah berbaring di atas ranjang, memandang punggung Dika yang tidur di sofa. Dia ingin memuaskan matanya menatap pria yang sudah dua tahun ini berbagi kasih dan sayang dengannya. Siapa yang menyangka nasib rumah tangga mereka akan kandas begitu cepat?!
Di lubuk hati yang terdalam, Raya masih menyayangi suaminya yang besok mungkin tidak akan menjadi suaminya lagi. Tapi dia tidak mungkin mau dalam lingkaran rumah tangga yang di huni tiga hati.
"Maafkan aku, Mas. Aku tidak bisa tetap bersama denganmu. Lepaskanlah aku, Mas. Aku doakan kau dan istri barumu bahagia."
***
Ada lingkar hitam di bawah mata Raya. Bagaimana tidak, dia tidak tidur, hanya menangis dan meratapi hidupnya. Sehabis menghadap sang Pencipta, Raya menyiapkan sarapan pagi. Mungkin ini adalah pengabdiannya yang terakhir dalam keluarganya.
Menunggu penghuni lain bangun, Raya yang sudah menyiapkan kopernya di samping kakinya, duduk di ruang keluarga. Titin yang pertama kali bertemu muka dengannya. Menatap sinis ke arah Raya, lalu dengan ekor matanya melirik koper milik Raya. "Aku pikir kau tidak punya malu, dan tetap bertahan di sini."
Raya tidak menanggapi ejekan Titin. Dia hanya memejamkan mata, meremas sisi celananya, guna meredam emosinya.
"Aku pamit, Bu. Maaf jika selama ini aku sudah menyusahkan ibu dan juga Mas Dika. Maaf, jika aku gak bisa menjadi menantu idaman yang menyenangkan hati ibu." Raya bangkit, hendak menyalami Titin, separuh hati menerima uluran tangan Raya, namun wanita itu membuang muka, tidak sudi melihat wajah Raya.
"Aku kan belum mengizinkanmu untuk pergi, kenapa kau mengambil keputusan sepihak?" Suara Dika menggelegar, kepanikannya muncul saat mendapati istrinya sudah bersiap untuk pergi.
"Dika, tidak usah kau pertahankan wanita ini lagi. Lagi pula, bagus dia minta cerai, jadi tidak menjadi beban tanggungan mu lagi. Pergilah!" Titin mematahkan ucapan Dika.
Lani dia belakang Dika hanya menatap penuh kemenangan ke arah Raya. Misinya berhasil. Penghalang untuk menjadi satu-satunya nyonya di rumah ini, sudah dia singkirkan.
"Mas, tidak ada gunanya memperkeruh keadaan. Ikuti saja apa mau ibu, lagi pula, aku sudah bilang kalau aku gak mau dimadu. Kau tidak bisa meninggalkan selingkuhanmu, dan aku juga tidak ingin dimadu, jadi jalan terbaik adalah kita bercerai."
"Jangan tempatkan aku pada posisi sulit, Ray. Kau tahu, Lani dan kau sama-sama penting dalam hidupku." Dika kembali mengulang rengekannya seperti kemarin malam, duduk bersimpuh di depan Raya.
"Maaf, Mas. Ini sudah tidak ada gunanya. Sekarang begini saja? aku akan tetap tinggal, tapi kau tidak boleh menikah lagi. Kau sanggup? enggak, kan?"
Dika terdiam. Mulutnya terkunci oleh omongan Raya. Hanya menatap sendu wajah wanita yang masih dia cintai itu. "Baiklah, kalau itu keinginanmu. "Wahai, Rayana Hasianna, aku talak tiga, kau hari ini!" suara Dika bergetar, kalimat itu dia ucapkan dengan satu kali tarikan napas hingga air mata Raya kembali menetes.
"Ayah, maafkan putrimu," batinnya, mengingat wajah Ayahnya yang tiba-tiba saja tergambar jelas di pelupuk matanya.
"Sudah, mulai dari sekarang, kau sudah tidak halal lagi bagi Dika. Tinggal mengurus surat perceraian kalian dari pengadilan saja!" ucap Lani yang kini semakin percaya diri untuk maju.
***
Raya masih duduk didepan warung di tepi jalan. Memandang kosong ke depan. Dia tidak punya tempat untuk di tuju. Dia juga tidak punya rencana harus apa. Di sedotnya kembali teh pucuk yang setengah jam lalu di sajikan oleh pemilik warung.
Setelah kata talak itu, dengan perasaan hancur, namun tidak dipungkirinya, ada terselip perasaan lega, Raya melangkahkan kakinya. Memesan ojek online tanpa tujuan, yang penting tidak dilihat ketiga orang di ruang itu. "Aku harus apa sekarang?" cicitnya memejamkan mata. Ngantuk dan lelah, sekaligus dirasakannya. Selama dua hari ini, dia benar-benar tidak tidur satu jam pun. Menangis dan meratapi nasibnya yang telah kehilangan buah hatinya.
"Aku lelah, lebih baik aku ke hotel saja. Aku ingin tidur. Untuk apa aku menangisi semua ini!" ucapnya tegas, membuka tas tangannya yang dia selempangkan tadi. Mengeluarkan uang 10 ribuan lalu berjalan ke arah kasir.
Dia harus berhemat. Dalam rekeningnya saat ini memang masih banyak uang. Tapi dia tidak bisa boros.
Raya melangkah ragu, di depan sana ada halte busway, jadi untuk menghemat, lebih baik dia naik angkutan umum menuju hotel.
Bruk!
Koper yang dia letakkan di bahu jalan tiba-tiba saja ditabrak pengendara motor matic yang kehilangan arah, karena di kejar oleh motor besar dari arah belakang. Koper itu menjadi penghalang, hingga pengendara matic itu jatuh dan tepat saat itu, pria kekar yang mengendarai motor sport itu turun. Memukul wajah si pria yang Raya tebak pasti jambret, lalu mengambil tas wanita yang sejak awal dia pegang.
Kerumunan orang datang dari belakang, menghampiri mereka. "Ini, Bu, tasnya" ucap pria itu membuka helem. Sementara beberapa pria yang ada di sana membawa si jambret ke kantor polisi terdekat.
"Makasih, Nak." Pria itu hanya mengangguk, lalu si korban yang merasa bersyukur tasnya kembali berlalu.
Pria itu dengan langkah gontai, meninggalkan tempat kejadian perkara. "Hei, berhenti di sana!" teriak Raya yang berhasil menghentikan langkah pria itu.
"Hah? Ada apa?"
"Masih nanya ada apa? lihat ini! Koperku hancur." delik Raya melotot tajam ke arah pria itu.
"Idih, yang nabrak siapa, yang diminta tanggung jawab siapa!" Ejek pria itu tersenyum simpul.
"Tapi kan, ini semua karena kau mengejar pria matic itu, dia jadi kalang kabut dan nabrak koperku."
Pria itu menatap lucu wajah Raya. Saat Raya marah, dia justru beranggapan bahwa gadis itu menggemaskan. "Lo mau kemana bawa-bawa koper?"
"Bukan urusanmu. Ini roda koperku gimana?"
"Ya udah, kita cari yang baru." Pria itu sudah mengangkat koper Raya dan menendang ke pinggir jalan roda koper yang telah hancur. "Ayo, naik!"
***
Hai, makasih yang masih setia. Maaf aku belum bisa crazy up, duh, banyak banget kerjaan di RL. Oh iya, kira-kira siapa pria baik hati ini ya? jangan lupa dukung aku terus, dan mampir ya, siapa tahu suka
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 170 Episodes
Comments
eti kusmiati
Raya... awal kabahagianmu sudah terlihat😁
2023-07-08
0
Partini Maesa
waduh bajunya gmn klo koper ditendang
2023-02-01
0
Enok Wahyu.S GM Surabaya
lha kenapa bingung, kan SDH py rumah yg di Jakarta Barat n juga pegang uang buat beli ruko untuk usaha laundry
2023-01-10
0