"Segara kau angkat kaki dari rumah ini!" Hardik Titin dengan suara menggelar. Bukan takut, Lani justru menantang, mengangkat dagunya setinggi mungkin.
"Ibu, jangan begitu. Hargai Lani!" ucap Dika masih tetap berusaha melindungi.
"Awas Dika. Ibu ingin menjambak wanita ini. Kenapa kau justru sangat getol membelanya? Raya, bawa suamimu masuk ke kamar. Biar rubah betina ini ibu yang urus."
Raya yang sejak tadi menatap diam, kini bangkit berdiri. Dia sendiri juga bingung harus bagaimana. Dia kasihan pada nasib Lani, tapi mengingat perbuatan wanita itu padanya, Raya tentu saja tidak sudi untuk membantunya.
"Dika, menyingkir dari sana, ibu mau seret wanita jala*ng itu."
"Mas, aku gak terima ibu kamu menghina aku kayak gitu. Kamu ngomong, dong!" ucap Lani menarik kaos Dika. Meminta keadilan atas perlakuan semena-mena Titin.
"Bu, aku mohon tenang dulu. Aku mohon ibu jangan marah-marah. Kemari Bu, kita bicara." Dika menarik paksa tangan ibunya, membawa kembali duduk ke sofa. Raya sendiri sudah berpindah tempat, tidak ingin. Membiarkan ke-tiganya saling melampiaskan isi hati. Apa pun yang terjadi, keputusan Raya sudah bulat, dia akan meminta pisah pada Dika. Hanya saja dalam agamanya tidak dibenarkan pisah saat wanita sedang mengandung. Mau tidak mau, Raya harus menunggu enam bulan lagi sampai anak yang dikandungnya lahir.
"Bu, dengarkan aku. Ini rumah tanggaku, aku kepala keluarga di rumah ini. Aku berhak bicara," Dika masih menggenggam tangan ibunya, agar wanita itu tidak melompat untuk menjambak Lani.
"Lani, kau duduk di sini. Ray, kau pun duduk. Aku ingin kita berempat bicara. Kebetulan ibu juga sudah ada di sini, jadi aku langsung saja mengatakannya."
Wajah Lani tampak senang. Dia memilih untuk duduk tidak jauh dari Dika, jadi jika sewaktu-waktu Titin mengamuk lagi padanya, maka dia bisa segera meminta perlindungan.
"Ada apa ini? Dika, apa yang sedang kau bicarakan? kenapa membicarakan urusan keluarga harus ada dia?" Suara Titin kembali menggelegar. Raya hanya bisa mengepal tangannya, karena terkejut oleh suara ibu mertuanya.
"Justru karena itu, Bu. Segera mungkin, Lani akan menjadi keluarga kita. Aku akan menikah dengannya."
"Apa? kau sudah gila? ibu tidak suka hal seperti ini dibuat bercanda. Eling, Nak!" Titin tidak mempercayai apa yang dia dengar. Bisa saja dia salah dengar, tapi sepertinya tidak.
"Maaf, Bu. Aku serius. Aku akan menikahi Lani dalam bulan ini."
"Ibu gak setuju!" suara Titin penuh ketegasan. Di pelupuk matanya, dia sudah bisa membayangkan bagaimana Lani akan menguasai kehidupan anaknya, menguasai harta Dika.
"Maaf, Bu. Aku tidak peduli kalau pun ibu tidak setuju. Untuk menikah lagi, aku hanya butuh izin dari istri pertamaku, dan dia sudah mengizinkanku untuk menikahi Lani." Dika mengarahkan pandangannya pada Raya. Ada bongkahan rasa terima kasih yang besar untuk Raya atas kemurahan hatinya.
"Ray, kau mengizinkan suamimu menikah lagi? apa yang kau pikirkan hingga bisa sebodoh ini? apa mereka mengancammu?"
"Aku sama sekali tidak diancam, Bu. Aku juga tidak menyetujui suamiku menikah lagi. Namun, jika sudah tidak aku izinkan, tapi mereka masih tetap ingin bersama, aku bisa apa? Dari pada terus berbuat zinah di belakangku, lebih baik mereka menikah saja."
Kalimat Raya yang dia ucapkan dengan tenang dan santai, namun, telah menampar Dika dan Lani. Keduanya terperangah, tidak menyangka kalau selama ini Raya sudah mengetahui perselingkuhan mereka.
"Ray... "Suara Dika tercekat. Begitu susah hanya untuk membasahi tenggorokannya. Wajahnya pias. Ternyata selama ini istrinya sudah mengetahui belangnya, namun, masih tetap bersikap lembut padanya. Dika semakin merasa bersalah.
"Aku sudah tahu, Mas. Tiga Minggu lalu, saat kalian tanpa malunya bergumul di atas ranjang kita. Saat itu aku hancur. Demi anak ini, aku coba memaafkanmu, tapi sikapmu tidak menunjukkan rasa bersalahmu, malah justru ingin menikahi Lani. Hatinya remuk, tidak terkira. Kebahagiaan sekaligus kebanggaan atas ruang tangga kita, seketika terhempas, kau letakkan di bawah kaki Lani. Aku ingin kita berpisah, Mas. Sampai kapan pun aku tidak ingin dimadu. Lebih baik mas talak saja aku. Tapi karena keadaanku saat ini yang masih mengandung, membuat kita tidak bisa bercerai, maka aku akan menunggu hingga anak ini lahir," terang Raya puas. Dia mungkin tidak memberi hukuman pada Lani atas kelicikannya, tapi jelas dia menunjukkan perbedaan posisi dan derajat mereka.
Raya akan tetap jadi wanita terhormat. Walau nasibnya akan menjadi janda, dia akan menjanda karena mempertahankan harga dirinya. Tapi Lani? selamanya cap perebut suami orang akan melekat pada dirinya.
Dika seketika bangkit, bersimpuh memeluk kaki Raya. "Ray, maafkan Mas, aku mohon jangan tinggalkan Mas, Ray."
Titin yang menyaksikan semua hal itu memandang geram pada Lani. Tentu saja ini semua akhir ulah Lani. Wanita itu sudah menabur keras dan bisanya hingga Dika tidak bisa lepas lagi. Teringat kembali apa yang sudah dilakukan Rahayu pada keluarganya, kini keturunannya melakukan hal yang sama pada keluarga anaknya.
Penuh amarah, Titin berdiri, menjambak rambut Lani dan menyeret paksa, hingga rasa sakit yang ada di kepalanya membaut Lani ikut ke arah Titin membawanya pergi.
"Sakit... lepaskan, Tante. Mas Dika... tolong... Mas..." jeritnya dengan seluruh tenaga dalam. Dika yang masih memohon maaf juga terperangah melihat insiden itu. Bingung masih mengharap maaf Raya, atau pergi menolong kekasihnya, Lani.
Jeritan Lani membuat tetangga kiri dan kanan berdatangan ke rumah mereka. Rasa penasaran membawa Mbak Yun dan juga Bu Latif masuk ke rumah.
Tanpa bertanya, insting mereka sudah menjelaskan semuanya. Sudah beberapa kali kejadian seperti ini terjadi, baik kenyataan atau sekedar mereka lihat sinetron televisi.
Bingung harus mengurus yang mana dulu, Jeritan Lani membuat Dika bergerak untuk menyelamatkan Lani lebih dulu. Kalau tidak leher Lani bisa patah dihajar ibunya.
"Ibu, lepaskan Lani, Bu. Aku mohon. Malu sama tetangga, Bu."
"Kau tahu malu juga? saat kau berzinah dengan wanita ini, apa kau masih punya rasa malu? ibu malu punya anak seperti mu!"
"Mas, sakit Mas. Tolong aku, Mas," ucap Lani masih terus memohon belas kasihan dari Dika.
Tidak tega melihat wajah Lani yang kesakitan, Dika melerai pegangan ibunya dari rambut Lani, menyentak hingga tangan Titin terlepas. "Kau... Kau lebih memilih menolong dia dari pada mematuhi perintah ibumu?" Wajah Titin sudah memerah bak kepiting rebus, tidak bisa terukur lagi amarah yang memuncak di dada.
"Dia calon istriku, Bu. Aku berkewajiban untuk melindunginya."
Rangkaian perang mulut masih terus berlanjut. Kepala Raya terasa pusing, dan keram di perutnya kembali menyentak. "Aku tidak ingin terjadi hal buruk pada anakku, lebih baik, aku tinggalkan mereka. Aku butuh istirahat," ucap Raya memilih masuk ke kamar.
***
Enaknya Mbak Yun dan Bu Latif nonton perang antara Bu Titin dan Lani, sambil makan popcorn kali ya...
Hai, jangan lupa dukung aku. kasih dong gift nya biar aku semangat. Dan mampir, siapa tahu suka
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 170 Episodes
Comments
kimiatie
kemana tumpahnya kuah kalau tidak ke nasi🤦🤦
2023-11-30
1
Partini Maesa
tp nanti bu titin setuju dika nikah sama lani
2023-02-01
0
Mommy Diana Senda Gurau Bornas
mantap bu titin, hajar terus tuh pelakorrr
2022-11-17
2