Tubuh Raya berdiri kaku di depan gerbang rumahnya yang setinggi dada orang dewasa. Menatap penuh luka dan kebencian ke dalam sana.
Jauh di lubuk hatinya, dia tidak ingin, tidak sudi untuk kembali ke rumah ini, tapi Raya tidak punya pilihan lain. Dia harus tetap maju, bertahan hidup diantara dua manusia tidak berakhlak itu.
Sebelum kakinya menjejak lantai rumah, Raya menarik napas. Menguatkan hatinya dan melatih senyum palsu di wajahnya. Pengkhianatan dan kepalsuan mereka memang harus dilawan dengan kepalsuan juga. Raya menarik napas panjang, lalu mengeluarkan, mengatur detak jantungnya yang masih bergemuruh hebat.
Pasti tidak mudah untuk bersikap biasa saja, seperti tidak terjadi apa-apa di hadapan mereka.
"Assalamualaikum, loh, Mas, udah di rumah? tumben jam segini udah di rumah?" tanya Raya yang mendapati suaminya tengah duduk di ruang tamu, berlaga mata dengannya ketika memasuki rumah.
"Iya, Mas pulang karena gak enak badan," sahut Dika lembut dengan senyumnya. Sumpah, Raya muak melihat wajah, terlebih senyum palsu itu. Terbayang bagaimana dia memuji, menyentuh tubuh Lani dengan bibirnya.
"Udah pulang belanja? Beli apa aja?" lanjutnya basa-basi menatap ke arah goodie bag yang ada di tangannya.
Raya ingat dengan kado yang dia siapkan untuk suaminya besok. Hatinya kembali hancur. Pernikahan mereka yang selama ini dianggap sakral, ternyata tidak begitu dalam anggapan Dika.
"Iya, Mas. Sudah."
"Baguslah," sahut Dika pendek.
"Mas sendirian di rumah? Aku buatkan air hangat, ya?" ucap Raya melirik ke arah pintu dapur. Aneh, ini rumahnya, sudah bertahun mereka tinggal di sini, tapi kenapa hari ini dia begitu takut untuk melangkah masuk ke dalam?
Raya, bukan kau yang berbuat zinah, lantas kenapa kau merasa gentar bertemu perempuan sundal itu?
"Oh, ada Lani! Mungkin dia ada di kamarnya," jawab Dika seadanya, mempertahankan nada suaranya walau tidak berani melihat ke arah Raya.
Mendengar namanya disebut, Lani yang tampaknya baru siap mandi, ke luar, dengan handuk di tangan yang dia buat untuk mengeringkan rambutnya. "Ada apa, Raya? Kau mencariku?"
Amarah dan emosi Raya tersulut saat melihat Lani. Sahabat laknat!
Gadis itu bahkan tersenyum polos dengan tanpa merasa bersalah padanya. Erangan Lani yang sok manja kembali menggema di telinganya, hingga tanpa sadar Raya berbicara dengan nada sedikit lebih keras.
"Kau baru mandi? Cepat amat pulang dari laundry?"
Darah Raya mendidih, terlebih melihat rambut Lani yang basah, seusai berbuat dosa. Ingin sekali dia menjambak rambut wanita itu, demi memuaskan sakit hati, tapi kepalan tangannya hanya sampai sebatas sisi tubuhnya.
Gerakan tangan Lani yang tengah mengusap rambutnya dengan handuk, menggantung di udara. Dia kaget, tidak menyangka nada suara Raya yang biasanya terdengar lembut dan ramah padanya, seolah tersirat kemarahan dan kebencian pada nada suara itu.
"Iy-iya. Aku pulang lebih cepat. Aku sudah rekap, dan meninggalkan Susi dan Susan di sana. Kau kenapa? Kok, kayak marah? Apa yang membuatmu kesal?" ucapnya mendekati Raya, mencoba menyentuh tangan gadis itu seolah peduli.
Belum sampai tangan Lani menyentuhnya, Raya sudah berjalan melewati Lani hingga sedikit membuat Lani terperangah. "Aku gak papa, hanya sedikit lelah setelah berbelanja. Biasalah, wanita hamil cepat lelah."
Raya sengaja menekankan kata hamil, agar sedikit bisa menampar Lani, menyadarkan wanita itu, kalau Dika akan memiliki anak, jangan mengganggunya lagi. Sekaligus, Raya ingin Lani tahu, Dika sudah punya istri, dan dia adalah istri sah dan nyonya di rumah ini!
"Oh, iya, sekalian kau susun belanjaan itu ke kulkas."
"Mas, si norak kenapa, sih? Kok, dia kayak marah gitu padaku? Aku disuruh-suruh udah kayak pembantu aja!" gumam Lani setengah berbisik, mendekat ke arah Dika setelah memastikan jarak mereka sudah jauh dari Raya.
"Sabar, Sayang. Gak usah diambil hati. Bawaan hamilnya mungkin. Wanita hamil pada umumnya, kan, begitu, sensitif," ucap Dika mengelus punggung tangan Lani mesra.
"Kok, kamu jadi belain dia, Mas?" mata Lani melotot. Dia siap kalau harus membongkar hubungan terlarang mereka. Toh, sebenarnya itu tujuan dia. Lani sudah bosan bermain sembunyi-sembunyi dengan Dika. Dia ingin segera menjadi istri Dika yang sah, sehingga bisa mengamankan posisinya.
"Aku bukan membelanya. Ah, begini saja...." Dika berbalik, memungut ponselnya yang terletak di atas meja, menekan tombol yang hanya bisa dia lihat sendiri, lalu selesai.
"Sudah," ucapnya mencubit pipi Lani gemas setelah celingak-celinguk melihat ke arah kamar mereka, memastikan keadaan aman terkendali.
"Berapa?" Suara manja Lani seperti ini yang membuat Dika kesemsem. Ya, pastinya yang utama, karena tubuh seksi dan kemahiran Lani bergoyang di atas tempat tidur.
Lani bisa memberi kepuasan pada Dika. Wanita itu tahu cara memuaskan senjata Dika yang selama ini bermain dengan Raya hanya dengan gaya standar. Lani bisa membuat Dika melayang membakar ga*irahnya.
"Cukup untuk membeli hape barumu."
Lani tersenyum manis. Amarahnya menguap. Sudah enam bulan dirinya menjadi sarang kedua pusaka Dika. Selama itu pula, Dika menyokongnya dengan uang dan selalu memanjakannya. Dia juga tidak perlu susah payah di laundry, karena Dika sudah mengambil satu karyawan lagi menggantikan Lani. Kini dia hanya bertugas menjadi kasir di sana. "Makasih, Mas."
"Tapi nanti malam, jangan lupa, Mas mau gaya enam sembilan lagi."
***
Makan malam sudah tersaji di meja makan. Raya sedang menata piring dan saat Dika muncul di ruang makan, wanita itu sudah menyendok nasi ke piring Dika yang menarik kursi dan duduk di kursi utama.
"Lani mana? Kenapa tidak makan?" tanya Dika dengan suara datar.
"Gak tahu, Mas. Biarin saja. Mungkin dia gak lapar."
"Ini semua salahmu. Kau mungkin sudah menyinggung perasaannya, dengan suara kerasmu saat berbicara tadi. Kau gimana, sih? Dia itu sahabatmu, bukan pembantu di rumah ini!" hardik Dika tanpa melihat ke arah Raya, sibuk melengkapi piringnya dengan berbagai menu makanan yang sudah tersaji di meja.
"Mas, kok, malah belain dia? Aku cuma minta dia bawa belanjaan, nyusun di kulkas. Kalau hanya itu saja dia menilai aku menganggap dirinya pembantu, lantas aku apa? Setiap hari memasak, membersihkan rumah, dan mengurus semuanya sendiri, aku apa, Mas?" Emosi Raya tersulut kembali. Bisa-bisanya Dika lebih membela Lani hingga seperti itu.
"Sudahlah, aku malas berdebat. Semakin hari, kau semakin tidak bisa diatur. Selera makan ku hilang!" Dika mendorong kursi dan menghempaskan sendok dengan keras, dan segera pergi dari sana.
Air mata Raya kembali jatuh, memandangi punggung suaminya yang menjauh menuju teras rumah. Masakan yang sudah dia persiapkan susah payah untuk suaminya, tidak disentuh sama sekali hanya karena Lani tidak ikut makan malam.
"Sudah sejauh itukah hatimu menjauh, Mas?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 170 Episodes
Comments
yanktie ino
semangat ya raya
eyank sdh ksh bunga agar kamu kuat hadapi pelakor
2023-07-17
0
Partini Maesa
buat mereka pisah aja dika bangkrut raya sukses
2023-02-01
0
Winar hasan
menjijikan...jgn mau dsentuh ray...boleh bertahan sementara....tp jgn mau d sentuh
2022-10-06
1