Pandangan Raya masih mengabur saat berhasil membuka matanya. Samar dia berhasil mendapatkan kesadarannya. Seorang wanita berpakaian putih berdiri di depannya. "Suster, saya kenapa?"
"Ibu pingsan. Sebentar saya panggilkan dokternya," jawab Suster berlalu ke luar.
Tidak lama dokter datang dan memeriksa keadaan Raya. "Tekanan darah ibu rendah. Sebaiknya jangan banyak berpikir dan banyak beristirahat," terang sang dokter setelah Raya berhasil duduk di depannya.
"Tapi kandungan saya baik-baik saja kan, Dokter?" tanya Raya was-was.
"Untuk saat ini baik, tapi kalau ibu masih tidak mau mendengarkan saran saya untuk banyak istirahat, maka bisa berbahaya bagi calon bayi ibu. Sejujurnya rahim ibu sangat lemah, jadi agar bayi ini bisa bertahan, maka ibu harus benar-benar menjaga kesehatan ibu, jangan stres dan banyak berpikir hingga tertekan."
Raya hanya mengangguk lemah. Bagaimana mungkin dia tidak stres dengan masalah yang tengah dia hadapi saat ini. Dirabanya perutnya yang masih tampak rata. "Maafkan mama, Nak," batinnya dalam hati.
Tidak lama, seorang wanita masuk ke ruangan itu. Menatap lekat pada Raya, lalu beralih ke arah dokter. "Dokter, dia baik-baik saja, kan? kami sudah bisa pergi?"
"Baik Raya dan dokter Mala melihat ke arah wanita cantik yang berpenampilan sangat seksi dan menggoda, namun tampak sombong juga. Dagunya terangkat tinggi, menatap sinis pada Raya. Entah apa masalahnya, tapi Raya tebak jelas dia tidak suka pada Raya.
"Oh, iya ibu Meyra. Bu Raya sudah sadar, dan saat ini sedang konsultasi dengan saya," sahut dokter Mala tersenyum lembut.
"Sudah?" suara bariton terdengar dari balik tubuh Meyra, dan kini berdiri diambang pintu ruang praktek dokter Mala. Acuh tak acuh menatap sekilas ke arah Raya. Sempat sesaat mereka saling adu pandang, lalu pria itu menatap ke arah Meyra.
"Udah, Beb. Yuk..."
"Itu nona Meyra dan tuan Elrick. Tadi anda pingsan tepat saat mereka lewat dari depan Anda, dan tuan Elrick lah yang menangkap tubuh anda," terang dokter Mala.
"Oh... iya, Dokter. Maaf kalau saya sudah merepotkan."
***
Pukul delapan malam Raya tiba di rumah. Tapak lampu sudah terang, yang artinya penghuni rumah sudah ada di dalam. Raya menatap bangunan itu, enggan rasanya untuk melangkah masuk, tapi dia tidak punya tempat tujuan lain.
Kekecewaan Raya semakin besar. Bahkan Dika tidak menghubunginya hingga saat ini. Saat pria itu sudah tiba di rumah, dia tidak menemukan Raya, tapi tetap tidak mencari tahu kemana istrinya.
"Assalamualaikum..."
Tidak ada sahutan. Rumah tampak sepi. Raya tidak ingin ambil pusing, walau matanya menangkap basah keduanya tengah bersama, dia tidak akan peduli lagi mulai kini. Dia sudah hampir membahayakan bayinya dengan menangis dan tertekan batin melihat tingkah bejat keduanya. Jadi, mulai saat ini, sembari dia punya celah untuk mengambil sebagian uang yang ada di tabungan Dika, yang pastinya termasuk uang nya juga, maka Raya akan tetap bertahan di sini.
Raya melangkah ke kamar, tampak kosong. Diambilnya handuk, mencuci muka. Namun, dia ingat belum meyiapkan air hangat untuk membasuh wajah, bergegas dia ke dapur.
Di ruang tengah, dia berpapasan dengan Dika yang jelas dan dia tidak salah lihat, baru keluar dari kamar Lani. Raya buang muka, pura-pura menunduk tidak melihat dari mana Dika keluar.
"Ka- kau sudah pulang, Ray?" tanya Dika terbata. Wajahnya pucat. Dia sangat takut kalau istrinya sempat melihat dirinya baru keluar dari kamar Lani.
"Iya, Mas. Sudah makan?" tanya Ray dingin, berjuang untuk tidak memakai atau marah. Setiap gejolak amarah muncul melihat wajah Dika, Raya akan ingat apa kata dokter dan seraut wajah mungil yang dia bayangkan adalah wajah bayinya.
"Su- sudah. Ray, aku minta maaf, tadi saat mau pulang sehabis menjawab telepon mu, seorang pelanggan lama menghubungi, dia ingin memasang kitchen set, jadi terpaksa aku dan beberapa anggota pergi cek lokasi," terang Dika yang tentu saja berbohong. Membuat suaranya seserius mungkin, berharap Raya akan percaya.
"Iya, Mas. Gak papa kok. Mas, aku ke dapur dulu, ya."
Dahi Dika berkerut, sedikit heran melihat reaksi Raya yang tanpa perlawanan. Namun, ini lah yang diharapkan Dika. Hidup aman, bersama istri dan juga Lani, kekasihnya.
***
Raya sudah mendapati Dika yang senyum-senyum sendiri menatap layar ponselnya. Kembali hati Rata sakit, dia tahu, saat ini suaminya itu sedang berkomunikasi dengan Lani, melalui pesan.
Sekuat tenaga Raya menekan perasaan sakitnya. Menarik nafas dalam lalu mengembuskannya perlahan. Dia jijik untuk berbaring di samping Dika, tapi lagi-lagi dia tidak punya pilihan.
"Kau sudah selesai berganti baju?"
"Iya, Mas." Raya mematuhi permintaan Dika yang menginginkan Raya berbaring di dadanya. Lagi-lagi Raya melakukannya dengan menekan rasa sakit hati.
Ada kalanya, Dika masih menunjukkan rasa sayang pada Raya. Terlebih memang Dika mencintai Raya dan kini ditambah ada calon buah hati mereka di dalam perutnya.
Hati Raya bergetar, saat Dika membelai rambutnya. Raya benci sentuhan suaminya, namun dosa jika tidak menanggapi, jadi Raya hanya dia. Berpikir sesaat, Raya seolah mendapatkan ide. "Mas, bolehkah aku minta uang dua puluh juta?" tanya Raya takut-takut. Suaranya dibuat selembut mungkin.
"20 juta untuk apa?" tanya Dika menghentikan belaian tangannya.
"Tadi aku periksa ke rumah sakit, dokter bilang biaya kontrol dan persalinan ada baiknya di deposit terlebih dulu, guna mengantisipasi kalau di hari H nya nanti kita tidak kebagian kamar untuk bersalin. Kita juga tidak tahu akan normal atau operasi sesar."
Hening sesaat. Tidak ada pergerakan dari Dika. Raya menahan napas dan menutup mata, dia sudah menduga kalau ini tidak mudah. Dia pasrah akan penolakan Dika.
Pria itu menegakkan tubuhnya, hingga Raya ikut terduduk. Dika memungut ponselnya di nakas, lalu mengotak-atik dan tidak lama mengecup kening Raya. "Mas sudah transfer 30 juta. 20 juta untuk deposit, 10 lagi kau belilah keperluan bayi," ucapnya menyentuh perut Raya. Hampir saja Raya menghindari tangan Dika, gerakan itu spontan, mungkin karena sudah terlalu jijik pada Dika, namun untung dia bisa menguasai keadaan hingga kembali mendekatkan tubuhnya.
"Makasih ya, Mas. Anak kita pasti senang dibelikan keperluannya oleh ayahnya."
Dika sudah tertidur setengah jam kemudian setelah menghabiskan minuman dengan campuran satu butir obat tidur yang dilarutkan Raya.
Pria itu tidur bak mayat. Kalau saja Raya ingin memuaskan sakit hatinya, maka ini saat yang tepat untuk menggorok leher pria bejat itu, tapi Raya tidak akan melakukannya.
Setelah memastikan Dika sudah terlelap, Raya memulai aksinya. Membuka semua pakaian yang melekat di tubuh Dika hingga pria itu benar-benar tela*njang. Raya bergegas ke meja riasnya, mengoles lipstik di bibirnya, lalu setelah dirasa cukup, mendekati tubuh Dika yang mulai menciumi leher, lengan dan dada pria itu, setelahnya menarik selimut untuk menutupi tubuh pria itu, barulah Raya berbaring di sebelah suaminya.
***
Jangan lupa kasih hadiah yang banyak, biar aku crazy up, dan jangan lupa mampir ya..
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 170 Episodes
Comments
Siti Aisyah
kuras dlu tabungannya...selamat kan aset.aset berharga..bikin suami mu miskin..biar dia tau diri...
2023-02-11
1
Kisti
smg kmu berhasil mngambil hakmu dgn caramu raya yaaa,berjuanglah,tgar dan kuatlah dmi buah htimu
2022-10-05
1
Uneh Wee
porotin dulu harta nya raya buat dia miskin dan ancurin perusahan nya ambil smua uang nya dan kmu pergi jauh ke luar negri bawa atunak mu ..cari kebahagian mu biar tuh laki jadi gila ...seumur hidup nya sampe mati ..sama tuh cwe edan ...
2022-10-04
1