"Kadarsih yang sudah merayu saya," jawab Pak Darno. Kadarsih hanya menatap lesu ke arah pria yang sudah menyetubuhinya. Dan sekarang pria itu malah memutar balikkan fakta. Hatinya sangat hancur dan sedih. Dia tidak menyangka nasibnya benar-benar sangat buruk dan memprihatinkan. Dia hanya pasrah dengan nasibnya.
"Benarkan ibu-ibu, Kadarsih yang sudah menggoda suami saya. Dia wanita gatel, wanita pel*c*r. Wanita tidak benar. Usir wanita ini dari kampung!" seru Bu Darno.
"Usir, usir, usir!" teriak para warga.
"Tidak, Saya tidak bersalah. Kalian tidak bisa mengusir saya dari tempat ini. Pria baj*ng*n itu yang sudah memerkosa saya!" teriak Kadarsih.
"Alah, kamu tidak usah memfitnah. Ayo, ibu-ibu usir Kadarsih dengan anak-anaknya!" seru Bu Wati.
"Ayo!"
"Tapi, sebelum diusir, kita gunduli rambutnya! Wanita tidak tahu malu seperti dia, harus diberi hukuman yang setimpal," seru Bu Heni. Bu Wati dan Bu Darno begitu bahagia mendengar ide cemerlang itu.
"Gundul, gundul, gundul!" mereka berteriak. Kadarsih hanya bisa menangis pilu, saat dua orang memegangi kedua tangannya, dan satu orang lagi mencukur rambutnya tidak beraturan. Selesai memangkas rambut Kadarsih, mereka nampak tertawa bahagia, seolah-olah dirinya adalah sebuah lelucon yang sangat menggelitik perut mereka.
Dua orang warga yang mencekal lengan Kadarsih menyeretnya layaknya hewan buruan. Kadarsih hanya berusaha memberontak, namun tenaganya kalah kuat dengan dua orang yang mencekalnya.
"Ayo, bawa anakmu untuk segera pergi dari kampung ini!" dorong Bu Darno ke tubuh Darsih.
Mereka berjalan mengarak Kadarsih melewati perkampungan. Beberapa orang warga bertanya-tanya, termasuk Mak Onah. Pak Mat yang kebetulan sedang menikmati secangkir kopi di warung Mak Onah, dia nampak terkejut dengan kondisi Kadarsih.
"Ada apa itu, Mak? Bukankah itu Kadarsih?" tanya Pak Mat.
"Iya, Pak Mat. Itu Kadarsih," sahut Mak Onah.
"Apa yang terjadi?"
"Entahlah saya tidak tahu," jawabnya. Pak Mat mencegat salah satu warga untuk ditanyai. Dia menjelaskan dari awal sampai akhir kepada Pak Mat. Pak Mat yang tidak mungkin membela Darsih di depan warga desa, dia memilih untuk mendatangi rumah Pak RT.
Kadarsih diseret menuju rumah. Dari jarak jauh, warga dan Kadarsih sendiri sangat terkejut melihat api berkobar-kobar yang berasal dari rumah Kadarsih. Mereka berlarian untuk mencari tahu apa yang terjadi, termasuk Kadarsih sendiri. Dia berlari sangat kencang menuju rumahnya. Rumahnya sudah dikelilingi oleh api. Tidak ada celah untuk bisa melihat keadaan di dalam.
"Aminah? Adrian?" teriak Darsih.
"Aminah? Adrian?" isaknya. Darsih mencoba untuk menerobos rumahnya untuk mencari kedua buah hatinya, namun, lagi-lagi tangannya dicekal oleh seorang pemuda.
"Mba Darsih mau ke mana? Sebentar lagi rumahnya rubuh!" ucap pemuda itu.
"Tidak. Anak-anak saya ada didalam. Mereka masih didalam," teriaknya.
"Lepaskan saya, saya akan menyelamatkan anak-anak saya," histerisnya, dia berteriak dan memaki orang-orang yang mencegah dirinya untuk menerobos masuk ke dalam.
"Tapi, anak Mba Darsih sudah terbakar. Saya tidak yakin anak-anak selamat. Apinya sangat besar!" ucap pemuda itu.
"Ti-daaaaaaaak, biarkan saya menyelamatkan anak-anak saya!" isaknya.
BRAKK ...
BRUGH ...
Bangunan rumah itu ambruk, dengan api yang berterbangan. Beberapa warga berusaha untuk membantu memadamkannya. Ada juga yang hanya berpangku tangan melihat kejadian tersebut. Semuanya ludes terbakar api.
Beberapa menit kemudian Pak RT dan Pak Mat datang. Salah satu warga menjelaskan semuanya. Pak RT dan Pak Mat merasa sangat iba melihat kondisi Kadarsih terutama anak-anaknya.
"Aminah? Adrian?" teriaknya lagi. Kadarsih masih tetap berusaha untuk mencari kedua buah hatinya. Pak RT dan Pak Mat berusaha untuk menahannya.
"Siram dengan air!" suruh Pak RT.
"Cepat siram!" teriak Pak Mat.
"Hiks ... Hiks ... Hiks."
"Aminah? Adrian?" teriak Kadarsih. Dia tidak berhenti memanggil-manggil anaknya.
"Sabar, Sih!" ucap Pak RT berusaha menenangkan hati Kadarsih.
Hingga subuh menjelang, api baru bisa dipadamkan. Semuanya habis terbakar. Rumah Kadarsih yang jauh dari tetangga, membuat api tidak menjalar kemana-mana. Hanya asap yang mengepul hitam. Bau gosong dan bau daging yang dipanggang menyeruak hingga indera penciuman. Kadarsih berusaha untuk mencari jasad anak-anaknya.
Pak Mat yang tidak tega melihat kondisi Kadarsih, dia membantu wanita itu mencari jenazah anaknya. Dengan isakan yang menyayat hati, wanita itu terus membongkar semua barang-barang yang sudah gosong.
Hampir pukul sepuluh siang. Tim pemadam kebakaran yang dihubungi oleh Pak RT akhirnya datang juga. Mereka membantu Kadarsih untuk mencari jenasah, dari tumpukan-tumpukan kayu yang sudah menghitam.
"Ini jenazahnya. Ayo angkat!" ucap petugas tersebut.
Dua jenazah anak kecil yang sudah tidak terbentuk, diangkat dari reruntuhan. Seorang petugas langsung membungkus dua jenazah anak kecil dengan kain kafan. Karena melihat jenazahnya yang sudah rusak parah karena api, jenazah itu hanya ditayamumi saja.
...***Imam an-Nawawi rahimahullah menulis, “Apabila tidak memungkinkan untuk memandikan jenazah lantaran langkanya air ataupun jenazah terbakar, maka jenazah tak perlu dimandikan, tetapi cukup ditayamumi. Tayamum ini wajib. Sebab ia adalah upaya mensucikan yang tidak berhubugan dengan menghilangkan najis, sehingga wajib beralih kepada tayamum saat tidak memungkinkan menggunakan air.” (Al-Majmu’ Syarhul Muhadzab, 5/128***)...
Setelah acara pemakaman selesai hingga ashar menjelang. Kadarsih hendak kembali ke rumahnya yang hangus itu. Mak Onah berusaha untuk membujuk, supaya Kadarsih bersedia tinggal dengan Mak Onah di rumahnya.
"Aku ingin ke rumah dulu, Mak. Aku ingin melihat keadaan sekitar," ucapnya.
"Untuk apa, Sih? Rumahmu sudah habis terbakar?"
"Aku mendengar mereka kesakitan, Mak," jawabnya, "Mereka berdua kepanasan. Mereka membutuhkan aku, Mak!" isaknya.
"Darsih, ikhlaskan mereka. Biar mereka tenang di sana," tutur Mak Onah.
"Hiks ... Hiks ... Hiks."
"Kenapa semuanya harus menimpa Kadarsih, Mak. Apa kesalahan Darsih? Apakah karena Darsih orang miskin?" isaknya.
"Sabar, Nak. Kamu harus sabar. Ini adalah ujian," ucap Mak Onah.
Sudah dua hari lamanya, Kadarsih tinggal dengan Mak Onah. Seorang janda tua sebatang kara. Sesekali Darsih membantu Mak Onah memasak di dapur. Namun, dia masih belum berani untuk menampakkan diri di depan warga desa.
Dua hari berlalu setelah kejadian itu. Entah kenapa, Darsih ingin sekali melihat rumahnya yang terbakar. Saat Mak Onah sedang berada di warung, Darsih pergi meninggalkan rumah Mak Onah menuju rumahnya.
Darsih sangat terkejut, melihat beberapa orang sedang mengukur-ukur lahan bekas rumahnya. Dia mendelik kan matanya, saat seorang buldozer membersihkan bekas-bekas puing reruntuhan.
"Siapa kalian?" tanya Darsih.
"Harusnya kami yang bertanya, Siapa kamu ini?" jawab orang berdasi itu.
"Saya adalah pemilik rumah yang terbakar ini? Lalu, kalian ini siapa? Berani-beraninya mengukur tanah tanpa persetujuan dariku!" ketus Darsih. Sontak pria itu dan kawan-kawannya tertawa.
"Hey, Bu. Kami sudah membeli tanah ini dari pemiliknya bernama Pak Wiranto,"
"Tidak mungkin. Ini rumah milik saya. Milik anak-anak saya, bukan milik laki-laki brengsek itu!" sergahnya.
"Ujang, ambilkan surat-suratnya!" suruh pria berdasi itu. Seorang pria berperawakan kurus datang membawa map berisi surat-surat.
"Ini, Pak," pria berdasi menerima map itu, dan memperlihatkannya kepada Kadarsih.
DEGH ...
To be continued....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 36 Episodes
Comments
neng ade
ke 3 ibu2 itu akan terima akibat dari perbuatan nya pada Kadarsih ..
2023-04-18
0
Isnaaja
hayolah gera balas dendam,,,kesel macana
2023-02-10
1
Ganuwa Gunawan
oalah.. ini knp nasib kadarsih ngenes pisan..
2022-08-15
1