Episode 10 : Malam Mencekam 2

"Masa sih, Cel?" Mak Onah tidak percaya.

"Beneran, Mak," sahutnya, "Pekerja yang bernama Karman juga sering diganggu,"

"Diganggu gimana?"

"Mereka menampakkan diri. Dengan rupa yang menyeramkan, baunya seperti daging yang dipanggang. Ih, pokoknya serem banget deh," imbuhnya lagi.

"Ih, serem juga ya!"

"Boncel, kamu jangan asal bicara. Pamali, Ncel!" tutur Mak Onah.

"Tapi, ini faktanya, Mak. Boncel nggak mengada-ada. Buktinya Pak kumis sendiri langsung bertemu dengan sosok itu," ucap Boncel.

"Memangnya ada apa sih, Mak? Ada apa dengan anak-anak Kadarsih?" tanya Pak kumis. Memang dia tidak tahu menahu soal kejadian kebakaran itu. Karena saat terjadi kejadian tersebut, Pak kumis beserta keluarga pulang kampung ke Solo.

"Rumah Kadarsih terbakar. Dan anak-anak Kadarsih menjadi korban didalamnya. Entah ceritanya bagaimana, tiba-tiba rumah itu terbakar begitu saja," jelas Mak Onah.

"Astaghfirullah. Tragis sekali nasib Kadarsih. Lalu, Kadarsih sendiri kemana, Mak?"

"Entahlah. Warga sudah mengusirnya dari kampung. Mereka yang tidak memiliki perasaan sudah mengusirnya," isak Mak Onah, mengingat kejadian satu Minggu yang lalu. Mak Onah membuang nafasnya kasar.

☄️☄️☄️☄️☄️

Seorang wanita mengerjapkan matanya. Maniknya menatap ke sekeliling ruangan. Tempat yang sangat asing baginya. Sebuah gubuk kayu yang sangat sederhana.

Dia berusaha untuk bangkit dari tidurnya. Namun terdengar derap langkah seseorang membuka pintu. Suara pintu berderit kasar, sungguh sangat memekikkan telinga.

"Kau sudah bangun?" tanya seorang wanita separuh baya. Berpakaian seperti orang Jawa kuno. Memakai kemben dan kain Jarit untuk menutupi bagian bawahnya.

"Dimana saya?" tanyanya lirih.

"Dirumah saya," jawabnya datar.

"S-s-siapa Anda?"

"Nyai. Panggil saya Nyai Suketi," jawabnya.

"Minum ini," ucapnya. Menyodorkan satu cawan air berwarna hitam, baunya sangat menusuk indera penciuman.

"Apa ini?"

"Ini adalah ramuan khusus yang aku buat sendiri untuk pemulihan tubuhmu," ucapnya masih datar, "Minumlah!"

"Pahit," pekik Kadarsih. Menyipitkan matanya menahan rasa pahit dan getir di indera pengecapnya.

"Jangan manja!" bentaknya.

GLEKK ...

Darsih menoleh ke arah wanita itu. Wanita separuh baya, dengan raut muka yang datar. Namun masih nampak paras ayu dari wanita tersebut. Darsih beringsut dari tidurnya dengan posisi duduk bersandar di dinding kayu. Dia mengamati sekitarnya. Ada meja kayu, dengan lampu minyak diatasnya. Pertanda, bahwa rumah ini tidak memiliki penerangan listrik seperti rumah-rumah yang lain.

"Siapa nama kamu?" tanya Nyai Suketi.

"Kadarsih, Nyai,"

"Kenapa kamu ingin bunuh diri?"

DEGH ...

"Bagaimana dia tahu aku akan bunuh diri?" batinnya.

"Sa-saya ... !" belum selesai meneruskan kalimatnya, Nyai Suketi memotongnya.

"Apakah karena pria?" tanyanya sambil mengoleskan krim berwarna kuning ditubuh Kadarsih. Kadarsih hanya menurut saja tanpa bertanya, krim apa yang di balurkan ditubuhnya.

"Bukan, Nyai. Saya merasa sendirian di dunia ini," jawabnya, "Kedua anak saya meninggal dalam tragedi kebakaran. Dan saya diusir oleh warga desa karena sebuah fitnah. Dan mantan suami, Saya ... !" Darsih menitikkan air matanya mengingat apa yang sudah dilakukan oleh semua warga dan mantan suaminya.

"Jangan cengeng! Hidup itu sangatlah keras. Jika sikapmu lembek seperti bubur, Kau akan terus ditindas!" tutur Nyai Suketi.

"Lalu, Apa yang ingin kau lakukan dengan orang-orang yang sudah menghina, mencaci, membully, memfitnah, mengusir dan berbuat kejam kepadamu?" tanya Nyai Suketi tegas.

"Membalas semua perlakuan mereka tanpa ampun," jawab Darsih dengan amarah memuncak.

"Bagus. Itulah yang harus kau lakukan untuk memberikan mereka pelajaran yang setimpal!" ucapnya, "Hanya rasa sakit dan kematian yang pantas mereka dapatkan untuk menyembuhkan lukamu dan rasa sakitmu!"

"Tapi, Saya tidak tahu caranya, Nyai? Bagaimana saya bisa membalas mereka? Saya hanyalah wanita biasa," ujarnya.

"Wanita biasa, bisa menjadi luar biasa kalau kau memiliki tekad dan nyali yang besar untuk menjadi wanita yang luar biasa," tuturnya lagi.

"Nyai tahu caranya?"

"Tahu," jawab Nyai Suketi dengan menganggukkan kepalanya, "Aku akan mengajarkan sesuatu jika kau memiliki tekad, nyali, dan mental yang kuat!"

"Iya, Nyai. Saya mau. Saya sudah bertekad untuk membalas mereka semua. Membalas rasa sakit hati saya!" ujarnya.

"Bagus. Kalau begitu kau harus sembuh dulu! Baru aku akan mengajarimu!" ujarnya.

☄️☄️☄️☄️☄️

Satu Minggu berlalu, Kadarsih sudah bisa turun dari tempat tidurnya. Badannya terasa enak, setelah meminum ramuan-ramuan yang diberikan Nyai Suketi kepadanya. Entah itu ramuan apa, Darsih tidak tahu dan tidak mau bertanya. Badannya terasa sangat bugar, dan kulitnya yang hitam legam berangsur putih dan halus.

"Ramuan apa yang diberikan Nyai Suketi kepadaku? Kenapa kulitku semakin bercahaya dan memutih? Ini sangat aneh," gumamnya.

Kriettttttt ..

Suara derit pintu dibuka, langkahnya terlihat berat. Terdengar suara benda yang berat diseret hingga dapur. Rasa penasarannya yang tinggi membuat dirinya harus mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.

Nyai Suketi mengeluarkan hewan buruannya dari karung besar yang ia seret tadi. Seekor ayam cemani yang masih hidup. Kemudian nyai mengambil parang yang panjang. Dia tebas kepala ayam itu, mengucurlah darah dari leher si ayam. Nyai angkat ayam itu agar setara dengan tingginya, kemudian darah ayam yang mengucur deras itu, ia minum. Rasa amis menyeruak, membuat perut Darsih mual tidak karuan. Dia pun memutuskan untuk kembali ke kamar.

Nyai kembali ke kamar Darsih dengan membawa sebuah mangkuk kecil. Dia meletakkannya di atas meja. Dia menatap Darsih, dan mengulas senyum.

"Darsih, Nanti malam adalah waktu yang tepat," ucapnya tiba-tiba.

"Maksud, Nyai?"

"Malam Jumat Kliwon. Waktu yang tepat untuk mengajarimu sebuah ilmu pelet," ucapnya.

"Ilmu pelet?" Darsih masih bingung.

"Iya, ilmu pelet. Dengan ilmu itu, kau bisa memelet siapapun yang kau inginkan. Bahkan dengan ilmu ini kau bisa membalas semua dendammu,"

"Iya, Nyai. Aku mau," jawab Kadarsih senang.

"Minumlah ini!" suruh Nyai Suketi menyodorkan satu mangkok kecil darah ayam yang masih segar.

"Apa ini, Nyai?" baunya sangat amis. Membuat perut Darsih seperti diaduk-aduk.

"Darah ayam cemani," sahut Nyai Suketi. Dengan meminum ini, setan, jin, iblis dan makhluk halus lainnya akan menyukaimu," jelas Nyai Suketi sambil tersenyum. Ada rasa enggan untuk meminumnya, namun Nyai Suketi terus memaksanya untuk meminum. Dengan memejamkan mata, dan menutup hidungnya, Darsih memaksa cairan kental berwarna merah, berbau amis masuk ke dalam tenggorokannya.

Rasa mual menyeruak, apalagi sisa darah di mulutnya. Membuatnya ingin mengeluarkan kembali cairan berwarna itu. Nyai Suketi memberikan wedang jahe sebagai penetralisir amis dimulutnya. Dengan begitu rasa amis tersamar, dengan pedasnya jahe dimulut.

"Nanti malam bersiap-siaplah untuk mandi kembang. Kau harus siap, Darsih!"

"Iya, Nyai. Darsih siap," jawabnya.

To be continued .....

☄️☄️☄️☄️☄️

Ayo dong dukungannya, kasih like, favorit, komentar, bunga, dan kopinya.....

Yang mau berbagi Author ucapkan banyak-banyak terima kasih. Dan semoga rezekinya lancar.....😘😘😘

Terpopuler

Comments

Ngah Elly Ajja

Ngah Elly Ajja

keren cerita nya

2023-12-20

0

Patrish

Patrish

sepertinya Kadarsih masuk ke dalam aliran hitam... 🤭btw... ini cuma cerita.. jadi kita nikmati saja... begitu ya thor... 👍🏻👍🏻💪💪

2023-02-05

0

Ririt Rustya Ningsih

Ririt Rustya Ningsih

kalau darahnya di rebus dulu trs dikasik bumbu trs di goreng aku mau...buat campuran rujak 😁😁 semangat thoor

2022-11-09

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!