"Ah, Damn it (Sia lan)!" teriak Elric sambil melepas headset VRnya dan melemparnya ke atas ranjang. "Aku tidak percaya mereka membuat Deviljho sekuat itu," gerutunya kesal.
Michael yang sedang duduk menyandarkan punggungnya di atas sofa di sudut kamar, tergelak. "Told ya (kubilang juga apa)," sahutnya sembari menghembuskan asap rokoknya.
Sementara Ryan yang sedang sibuk dengan gadgetnya di samping Michael hanya menyeringai kecil. Ia lebih tertarik dengan game gadjetnya dari pada game yang sedang Elric dan Michael bicarakan.
"Poison Ammo amunisi paling bagus untuk melawan Deviljho, El," terang Michael.
Elric mendecak. "Masalahnya, susah sekali mencuri telur Rhenoplos untuk bahannya." Ia menghembuskan napasnya kesal.
"Yeah, I know (aku tahu)," sahut Michael.
Elric mengelus dagunya sambil berjalan ke sana kemari di dalam kamar Ryan yang tidak terlalu luas itu. Otaknya sibuk memikirkan bagaimana caranya bisa mengalahkan Rhenoplos dengan mudah untuk mengambil telurnya, lalu membuat poison Ammo dan mengalahkan Deviljho dengan mudah.
Suara sirine polisi dan ambulance dari luar gedung yang bersaut-sautan menarik perhatian ketiga pemuda itu. Elric mendekati jendela dan memeriksa ke bawah.
"Ada apa?" tanya Ryan.
"Entahlah. Ramai sekali di gedung sebelah. Tempat Emma tinggal, bukan?" Elric balik bertanya.
"Ugh, Emma gurumu, ya?" Kembali Ryan bertanya sembari terkekeh.
"Not anymore (tidak lagi)," sahut Elric. "Nathan Bradley mengganti Emma dengan seorang wanita tua yang membosankan," gerutunya.
Michael dan Ryan menertawakan nasib malang Elric. Sementara remaja berambut panjang itu kembali memerhatikan apa yang sedang terjadi di bawah sana, di depan gedung apartemen sebelah. Dari lantai sepuluh itu, ia bisa melihat jelas ada tiga petugas polisi yang sedang mendorong tandu berisi tubuh seseorang yang sudah ditutup kain dan diikat, masuk ke dalam ambulance.
Mata Elric membulat ketika melihat seorang gadis sedang menangis histeris dan memaksa ikut masuk ke dalam mobil jenazah. Dua orang wanita paruh baya berkulit hitam yang menahan gadis itu memeluknya dengan erat.
"Emma?" Bibir Elric berucap pelan. Gadis yang sedang menangis histeris itu adalah Emma. Elric bergegas melangkah keluar dari dalam kamar.
"Kau mau ke mana?" tanya Ryan.
"Aku mau mengecek ke bawah," sahut Elric.
"Paling-paling hanya orang kecelakaan atau kasus kekerasan dalam rumah tangga," kekeh Ryan.
"I'll be right back (aku akan segera kembali)," ujar Elric seraya menutup pintu kamar Ryan. Ia melangkah keluar apartemen dan masuk ke dalam lift menuju lobby.
Sampai di lobby Elric menghambur ke luar gedung dan menerobos kerumunan orang-orang di sana. Ia melihat Emma yang sedang menangis di pelukan seorang wanita berkulit hitam. Mobil ambulance yang membawa jenazah entah siapa, sudah meninggalkan tempat itu.
"Emma, what happened (apa yang terjadi )?" tanya Elric pada Emma. Namun gadis itu tidak menyahut. Ia terlihat shock dan hanya menangis saja di pelukan wanita itu sambil memejamkan mata.
"Kau pacar Emma, Anak Muda? Tolong bawa dia ke apartemenku, lantai dua nomor 210. Dia sedang shock. Her mother commits suicide (ibunya bunuh diri)," terang wanita itu. Namun kata-kata terakhir ia ucapkan dengan bisikan di telinga Elric. "Ini kartu akses apartemenku, Nak." Wanita itu menyerahkan sebuah kartu pada Elric.
"Jesus (ya Tuhan)," ucap Elric tidak kalah shocknya.
"Bawa Emma masuk, Nak," perintah wanita berkulit hitam itu sekali lagi sembari melepaskan pelukannya pada Emma dan menyerahkan gadis itu pada Elric.
Emma yang masih terisak dan memejamkan mata sepertinya tidak menyadari kalau seseorang yang sedang ia peluk dan membawanya masuk menaiki lift ke lantai dua adalah Elric.
Elric membuka pintu dan membimbing Emma masuk ke dalam apartemen wanita itu. Ia mencari-cari tempat yang nyaman untuk gadis itu berbaring. Akhirnya, ia memutuskan membawa Emma masuk ke dalam salah satu kamar yang pintunya sedikit terbuka.
"Emma ...." Elric menyentuh lengan Emma yang kini sudah terbaring lesu di atas ranjang dengan tatapan mata kosong. "Are you okay (kau baik-baik saja)?" tanyanya dengan suara pelan. Namun, dalam hati ia memaki dirinya sendiri. Tentu saja Emma sedang tidak baik-baik saja. Ibunya baru saja pergi untuk selamanya, dengan cara yang mengejutkan.
Elric menarik sebuah kursi dari bawah meja rias, meletakkannya di samping ranjang dan duduk di atasnya. Dipandanginya wajah cantik Emma yang penuh dengan duka.
"I can't believe this, I hope it's just a dream (aku tidak percaya ini, aku harap ini hanya mimpi)." Terdengar gumaman Emma. Gadis itu meringkuk sambil menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.
Ragu-ragu Elric meraih telapak tangan Emma dan menggenggamnya. Gadis itu tidak menolak. Elric lalu mengelusnya lembut. "I'm so sorry, Emma (aku turut prihatin, Emma)," ucapnya tulus. Namun hal itu membuat bibir Emma menukik dan gadis itu kembali meloloskan tangisnya.
"Hei, hei, Emma ...." Elric berpindah duduk di tepi ranjang. Ia menarik lengan Emma dan membawa tubuh gadis itu ke dalam pelukannya.
Entah apa yang Emma pikirkan saat itu, hingga ia tidak menolak perlakuan Elric padanya. Ia justru membenamkan wajahnya di dada Elric dan terisak di sana. Bahkan kedua lengannya pun melingkar ke punggung pemuda itu dan memeluknya erat. Emma butuh seseorang saat ini. Seseorang untuk bersandar. Entah siapa pun itu.
Elric mencoba memberi penguatan pada Emma dengan mengelus lembut punggungnya. Begitu dekat dengan Emma, wajahnya terasa memanas dan dadanya dipenuhi dengan getaran aneh. Baru pertama kalinya Elric sedekat ini dengan seorang wanita. Selama ini tidak ada seorang pun yang mampu menarik perhatiannya. Gadis-gadis di sekolahnya semuanya tidak ada yang istimewa. Namun Emma, sejak gadis itu mendaratkan kepalan tangan di wajahnya yang menyebabkan hidungnya patah, ia sudah menarik perhatian Elric. Emma galak, menyebalkan, cerewet, dan membuatnya selalu saja ingin membuat masalah dengan gadis itu. Tapi, sepertinya hal itulah yang menarik dari Emma. Dia apa adanya dan tidak palsu.
Cukup lama Emma menangis dalam pelukannya. Elric tidak berani mengganggunya. Ia hanya mendengarkan isakan tangis gadis itu hingga reda dengan sendirinya. Dan mungkin karena lelah menangis, Emma pun melepaskan pelukannya pada Elric dan kembali merebahkan badannya. Pikirannya yang begitu kalut dan dirundung kesedihan yang begitu dalam, serta shock atas kematian ibunya yang mendadak dan ada indikasi bunuh diri, membuat Emma sepertinya tidak terlalu sadar siapa yang sedang bersamanya saat ini. Ia hanya ingin tertidur dan melupakan kepedihannya. Berharap ketika terbangun esok hari, semua ini hanya mimpi belaka.
"How is she (bagaimana keadaannya)?" tanya wanita pemilik apartemen dari arah pintu membuat Elric yang sedang memandangi wajah Emma lekat-leka, terkesiap.
"Owh, I think she's okay (aku rasa baik-baik saja)," jawab Erlic yang melihat sepertinya Emma sudah terlelap.
Elric bangkit dari duduknya dan melangkah mendekati wanita berkulit hitam dengan badan yang sedikit tambun itu. "Kau pacar Emma?" tanya wanita itu.
"Owh, bukan, hanya teman biasa," sahut Elric sambil menggaruk kepala. Ia terlihat gugup mendapat pertanyaan seperti itu.
Wanita itu tersenyum. "Namaku Lesedi. Panggil saja Lessy. Aku tetangga Emma. Tapi, aku sudah menganggap Emma seperti anakku sendiri. Kasihan gadis itu ...." Lessy menghalau napasnya dengan berat.
Elric akhirnya berpamitan pada Lessy dan kembali ke apartemen Ryan. Meskipun ia tidak bisa mengalihkan pikirannya dari Emma.
Emma and her misery.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments
Emi Wash
melase kamu emm.....ga punya sandaran....😩
2024-01-08
0
Saepul 𝐙⃝🦜
Ayo temanin Emma elric, berikan di semangat ya 😁
2022-02-07
0
Rehana
sedih bacax...masalah datang bertubi2..
2021-11-24
0