"Kalian ...."
James menatap Elric yang masih menggenggam rambut Emma dan Emma yang mencengkeram jari dan paha Elric. Bergantian, dari Elric ke Emma, Emma ke Elric, diikuti oleh gerakan telunjuknya ke kanan dan ke kiri.
"Eeew!" sentak Elric dan Emma bersamaan seraya saling mendorong menjauhkan diri masing-masing.
Emma segera berdiri dan merapikan rambutnya yang berantakan. Wajahnya tampak pucat, memikirkan apa yang sedang James pikirkan. Jangan-jangan, pria tampan itu bepikir, ia dan Elric ....
"James, gadis ini gila. Dia monster!" seru Elric sambil mendorong tubuh Emma hingga terjatuh ke atas sofa.
"Mr. Howards ... emm ... James, anak ini, makhluk yang sangat mengerikan." Emma memukul bahu Elric kencang.
"Kau yang mengerikan!" hardik Elric tidak terima.
"Kau ... semacam keturunan Lucifer!" maki Emma geram.
"Hei, hei, sudah, sudah ... hentikan!" sergah James mencegah keduanya yang hendak saling mencakar kembali.
Emma meraup wajahnya dengan kasar. Ia pikir, masa magangnya ini sudah berakhir. James pasti akan melaporkan kejadian ini pada orang tua Elric, dan ia pun akan dipecat. Dan juga, diberhentikan dari Calhoun School. Tiba-tiba bayangan student loan yang harus ia bayar segera membuat sakit kepalanya kembali menyerang.
"Emma, ikut aku," kata James seraya meraih lengan Emma dan membawanya keluar dari perpustakaan.
"James! Hati-hati, dia sedang mengincar pria kaya!" seru Elric begitu keduanya telah hilang di balik pintu.
"Elric! Stop (hentikan)!" James melongokkan kepala ke dalam perpustakaan dan memberi peringatan pada Elric yang sedang mencibirkan bibir.
James membawa Emma melewati koridor panjang dan berpapasan dengan Nathan juga Alya yang hendak menuju studio. Nathan melihat wajah Emma yang memerah. Gadis itu tersenyum tipis ke arahnya.
"Kau sudah selesai, Miss Lopez?" tanya Nathan.
"Yes, Sir," jawab Emma lirih.
Nathan mengalihkan pandangannya pada James yang masih menggandeng lengan Emma. Bibirnya mencebik. Sementara James membulatkan matanya pada Nathan memperingatkannya untuk tidak berkomentar apa pun.
"Aku akan mengantar Emma pulang." James tidak memedulikan tatapan keheranan Nathan dan Alya.
"Hei, bukankah kita harus rapat sebentar lagi?" tanya Nathan.
"Aku akan menyusul," ujar James. Ia terus melangkah menggandeng Emma melewati suami istri itu hingga menghilang di balik pintu ruang tamu.
"What's happened (apa yang terjadi)?" tanya Alya.
"James mengincar Miss Lopez," kekeh Nathan seraya menggandeng Alya masuk ke studio.
"Bukankah Miss Lopez terlalu muda untuknya?" gumam Alya.
Nathan mengedikkan bahunya. "That's what I told him (itu juga yang aku bilang padanya)."
***
James membukakan pintu mobilnya untuk Emma. Namun gadis itu hanya berdiri mematung sambil memijit tengkuknya. Ia benar-benar gugup. Gugup karena pria yang berdiri di hadapannya ini adalah James Howards, ditambah lagi, kejadian dengan Elric beberapa saat yang lalu. Emma benar-benar kacau.
"Ayo, Emma, masuklah," pinta James.
"Emm ... Mr. Howards ... maksudku, James ... aku ... aku akan naik subway saja," ujar Emma gugup. Berkali-kali gadis itu mengusap wajah mencoba menghilangkan rasa gugupnya.
James mendecak. "Aku ingin bicara denganmu ... tentang Elric," ujarnya membuat Emma terkesiap.
Oh, tidak. Badan Emma gemetaran. Ia yakin James akan mengatakan betapa buruknya ia sebagai seorang guru kepribadian.
"Emma ... hello?"
Ragu-ragu Emma melangkah masuk ke dalam mobil James. Rasa nyaman langsung terasa begitu ia meletakkan pan tatnya di kursi penumpang bagian depan. Mobil mewah dengan interior yang canggih, penuh dengan tombol-tombol yang mirip dengan interior space shuttle.
"Kita akan pergi ke mana?" tanya James membuat Emma terkejut.
"Huh?"
James terkekeh. "Rumahmu? Di mana?"
"Emm ... East Harlem," jawab Emma sambil menelan salivanya dengan susah payah.
James menyentuh layar yang ada di dashboard menuliskan nama East Harlem di sana. Suara wanita artificial intelligence menerangkan kalau mobil akan melaju dengan kecepatan sedang menuju area East Harlem dengan sistem autopilot.
"Kau dan Elric, yang aku lihat tadi ... apa kalian ...."
Emma menggeleng cepat. "Bukan ... bukan seperti yang kau pikirkan." Emma kembali menelan salivanya dengan susah payah. "Mungkin aku memang guru yang buruk. Aku bahkan tidak bisa mengendalikan emosiku menghadapi Elric. Anak itu benar ... aku memang temperamental, dan monster," ucapnya lirih.
"Iya, maksudku ... kau dan Elric, apa kalian terlibat konflik serius tadi?" tanya James. Ia melipat kedua tangan ke depan dada sambil memandang ke arah Emma yang sedang menundukkan kepala.
"Yeah," jawab Emma lirih.
James terkekeh. "Elric memang anak yang ... hmm ... bagaimana aku mengatakannya, ya ... sulit. Dia anak yang sulit. Jangankan guru yang masih muda sepertimu. Aku yakin guru senior pun akan menyerah menghadapinya."
Emma menghela napasnya berat. "Apa kau akan mengatakan pada orang tua Elric kalau aku sudah menganiayanya?" Tenggorokannya tercekat.
James meloloskan tawanya. "Mungkin saja."
"Oh, God," keluh Emma sambil memijit keningnya.
"Tidak, Emma, aku tidak akan mengadukan perbuatanmu pada orang tua Elric," kekeh James. "Justru ... aku senang ada seseorang yang bisa membuat Elric mengeluarkan emosinya seperti tadi. Itu baik untuknya."
Emma memberanikan diri untuk menatap James. Bukan tidak berani, hanya saja, sorot mata pria itu membuatnya gemetaran. Emma masih tidak percaya kalau yang ada di sampingnya itu adalah James Howards. Astaga, James Howards.
"Thank you, Mr. Howards," ucap Emma.
"Hei, aku sudah bilang padamu, panggil aku James, okay?"
"Sorry."
Mobil menepi di depan sebuah gedung apartemen lawas yang catnya sudah tampak kusam. Suara wanita artificial intelligence mengumumkan kalau mereka sudah sampai di area East Harlem.
"Thank you, James," ucap Emma sambil membuka pintu mobil, namun ternyata pintu membuka secara otomatis.
"Take care, Emma," ucap James sambil melambai pada Emma sebelum pintu mobil tertutup kembali.
Emma menghembuskan napasnya lega. Ia memegangi dadanya yang berdebar dengan kencang. Setelah mobil James menghilang dari jangkauan pandangnya, Emma berjingkrak-jingkrak kegirangan.
Namun, sejurus kemudian ia meraba-raba pinggangnya, dan tersadar kalau tas selempangnya tidak ada. "Oh, sh it!" makinya. Ia ingat, tasnya ia tinggalkan begitu saja di ruang perpustakaan saat James menariknya keluar ruangan.
Ada ponsel, tablet, obat sakit kepala dan juga buku catatan di dalam tasnya. Ia menepuk dahinya keras. Pasti anak breng sek itu sekarang sedang membuka-buka barang-barangnya.
"Aaargh!" maki Emma geram.
***
"What the heck is this (apaan ini)," gelak Elric sambil memperhatikan buku catatan kecil yang baru saja diambilnya dari tas Emma yang ketinggalan.
Memang gadis aneh. Siapa yang masih mau menulis catatan secara manual di buku tulis seperti ini di tahun 2038?
Emma Lopez, tentu saja!
Elric terbahak sendiri di atas ranjangnya yang empuk. Ia lalu memeriksa seluruh isi tas Emma. Ada ponsel yang ia tebak keluaran lima tahun lalu, tablet murahan, dan obat sakit kepala.
Elric membuka buku catatan Emma yang kebanyakan berisi puisi-puisi dengan bahasa sastra yang tidak begitu dipahaminya. Lalu ada catatan Things To Do List yang membuat Elric menarik sudut bibirnya.
Mencari pekerjaan yang layak
Membayar pinjaman mahasiswa
Menyewa apartemen sendiri
Mengendalikan emosi
Self healing
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments
Emi Wash
emma jadi pacar james....😊
2024-01-07
0
Saepul 𝐙⃝🦜
Aku kok ikutan berdebar ya miss lopez yang masuk mobil nya James Howard 😁
2022-01-23
0
Rehana
elric seperti tau isi hati emma
2021-11-23
0