EAST HARLEM, MANHATTAN.
Dari kamarnya, berkali-kali Emma mendengar suara-suara benda dilempar dan menabrak dinding, diselingi dengan suara dua orang yang sedang beradu mulut dan saling memaki. Ia menghela napasnya dalam-dalam dan menggeleng pelan. Gadis itu beranjak dari ranjangnya, menyambar jaketnya yang tergantung di belakang pintu, lalu melangkah keluar dari kamarnya.
"Pastikan kalian berdua tidak saling membunuh, okay?" sindirnya pada dua orang pria dan wanita yang sedang berada argumen dan saling melempar barang satu sama lain.
"Kau mau ke mana?" tanya si wanita, berwajah Latino, mirip dengan dirinya.
"Terserah Emma mau ke mana, kau tidak usah cerewet!" hardik si pria. Sekilas, fitur wajahnya mirip dengan Emma.
Emma mengenakan jaketnya. Tanpa memedulikan keributan dan adu mulut yang kembali memanas, ia melangkah keluar apartemen seraya membanting pintu dengan keras.
"Astaga," desisnya seraya melangkah menelusuri koridor, lalu menuruni tangga dan melangkah keluar dari gedung apartemennya.
Ia berdiri di depan gedung seraya menyalakan sebatang rokoknya. Dihisapnya dalam-dalam lalu menghembuskan asapnya ke udara. Sesekali Emma menyambut sapaan beberapa orang yang melintas di depannya.
Tenggorokannya terasa kering. Sepertinya ia butuh bir untuk membasahinya. Emma membanting sisa rokoknya ke lantai dan menginjaknya. Ia menutup kepala dengan hoodienya lalu berniat untuk pergi ke super market yang berjarak dua blok dari gedung apartemennya.
"Hello, Cantik."
Sebuah sapaan disertai dengan siulan memaksanya untuk berhenti. Suasana hati Emma yang sedang buruk tidak bisa mentoleransi pelecehan verbal seperti itu. Ia membalikkan badan dan mendekati empat orang remaja pria yang sedang nongkrong di depan gang.
"Mau ke mana, Cantik?" Salah satu diantara mereka kembali menyapanya, disambut dengan kekehan tiga remaja lainnya.
Emma tahu siapa yang sedang menggodanya ini. Noah, si biang kerok di East Harlem yang tinggal di gedung sebelah. Ia bersama adiknya, Ryan, dan dua remaja lain yang tidak dikenalnya.
Ia melirik ke arah satu botol kosong minuman yang tergeletak di lantai, lalu menggeleng. Noah yang sudah dewasa benar-benar tidak bertanggung jawab mengajak tiga anak remaja itu minum-minum di pinggir jalan.
"Hei, Noah ... kau memang tidak punya otak, ya?" hardiknya.
"Uugh, aku tidak punya otak. Kalau aku tidak punya otak aku tidak bisa mengagumi kecantikanmu, Emma," gelak Noah membuat Emma semakin kesal.
Kebetulan sekali saat ini Emma sedang ingin memukul seseorang untuk melampiaskan kekesalannya di rumah. Gadis itu berjalan cepat ke arah Noah dan menarik kerah baju pemuda itu. Tanpa pikir panjang Emma menghadiahi Noah dengan bogem mentah yang tepat mengenai ulu hatinya.
"Hei, hei, hentikan! Hentikan!"
Hoodie Emma ditarik ke belakang oleh Ryan, adik Noah, untuk mencegahnya melancarkan pukulan kedua terhadap kakaknya itu. Amarah Emma seketika meluap-luap tak terbendung dan ia berniat melayangkan satu pukulannya pada Ryan. Namun, Ryan sempat menghindar dan kepalan tangan Emma mendarat di hidung satu temannya yang berdiri di belakang pemuda itu.
"Auch! My nose! My nose! You bi tch (hidungku! Hidungku! Dasar kau ja lang!" maki remaja berambut panjang ikal kecokelatan itu sembari memegangi hidungnya yang mengeluarkan darah.
Emma menyeringai menyaksikan empat pemuda tidak berguna itu panik. "Kalian melakukan kesalahan dengan mencari masalah dengan kaum feminist!" decihnya seraya menatap sinis pada keempat pemuda itu.
Kemudian Emma melenggang dengan santainya meninggalkan keempat pemuda itu, dengan satu orang diantaranya yang sedang berteriak kesakitan seraya memegangi hidungnya yang berlumuran darah.
"Gadis gila!"
Emma tergelak dari kejauhan mendengar makian itu. Ia mengangkat tangan ke udara dan mengacungkan jari tengahnya tanpa menoleh.
Gadis itu menarik napas lega. Senyumnya tersungging di bibirnya sembari mendorong pintu supermarket dan masuk ke dalamnya. Beberapa saat kemudian ia keluar dengan membawa dua kaleng bir dan mencari tempat duduk di halaman supermarket.
Emma mengeluarkan bungkus rokoknya dan menyalakannya sebatang. Tangannya merogoh saku jaketnya untuk mengambil ponselnya yang bergetar.
Senyumnya mengembang ketika memeriksa layar ponsel. Sebuah email approval dari sebuah sekolah kepribadian private yang menyatakan ia diterima magang di sana.
Tahun ini, Emma baru saja lulus dari jurusan psikologi universitas Columbia di umur yang menginjak dua puluh satu tahun. Ia harus cepat-cepat mencari pekerjaan untuk membayar student loan (pinjaman mahasiswa) selama pendidikannya. Dan, ini adalah kabar yang sangat baik untuknya.
Sudah terbayang di benak Emma untuk keluar dari rumah orang tuanya dan tidak lagi menyaksikan pertengkaran dua orang itu setiap harinya. Gadis itu benar-benar sudah tidak tahan lagi. Seumur hidup ia tidak pernah melihat kedua orang tuanya harmonis. Sejauh ingatannya saat kecil, terekam dalam memorinya caci maki yang saling dilontarkan oleh ayah ibunya.
Ia mengambil jurusan psikologi mungkin hanya untuk menerapkan teori-teorinya pada diri sendiri. Agar ia tidak menjadi gila. Agar ia bisa mengendalikan diri supaya tidak terjerumus ke dalam hal-hal buruk.
Emma, seorang lulusan ilmu psikologi yang membutuhkan psikiater, yaitu dirinya sendiri.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments
Emi Wash
hidungnya elric....😀
2024-01-07
0
Wica Carolina
tumben ceweknya bukan orang indo ya...... 😃
2022-07-25
0
🇪rna_Wibowo
heran ya, masih saling bertahan selama bertahun-tahun dlm situasi kyk gitu. kan kasian anaknya 😔
2022-04-02
0