"Hei, Eeemmaaa ...!"
Suara panggilan yang bernada menggoda itu membuat Emma menghentikan langkahnya. Ia menoleh ke arah gang sempit yang terletak di antara dua gedung apartemen bercat abu-abu yang mulai pudar, beberapa blok dari gedung tempatnya tinggal. Gadis itu mendesis ketika melihat empat orang remaja, dua berkulit hitam, satu keturunan hispanik seperti dirinya, dan seorang lagi berkulit putih.
Emma tahu siapa mereka. Berandalan yang senang membuat kerusuhan di lingkungan East Harlem. Mereka sering mengganggu pejalan kaki, terutama para wanita mudanya, meminta uang dengan paksa dan mencuri di swalayan. Sebenarnya sudah lama Emma ingin menghajar para pemuda itu. Ia hanya tinggal menunggu moment yang tepat untuk melakukannya.
Lalu, ketika keempat pemuda itu mendekatinya sambil terkekeh dan menggodanya, Emma pun menyiapkan kepalan tangannya untuk ia hantamkan ke masing-masing muka menyebalkan mereka. Namun, baru saja tangannya terangkat, seseorang menahan tangannya dan menarik tubuhnya ke belakang.
"Hei, jangan ganggu dia. Dia temanku!" Seseorang itu berseru sambil mendorong pelan dada salah seorang pemuda yang berdiri paling depan.
Pandangan mata Emma terhalang punggung sosok jangkung di hadapannya. Matanya membulat. Sosok berhoodie hitam yang tidak lain adalah Elric. Emma mendecak sebal. Rupanya anak itu menguntitnya.
"Wow ... Emma temanmu, El?" tanya salah seorang pemuda sambil terkekeh.
"Your friend? Or your girlfriend," goda yang lain.
Emma yang mendengar kata-kata gurauan itu menepuk dahinya. Sambil bersungut-sungut ia melangkah cepat meninggalkan Elric dan berandalan-berandalan itu.
"See you, Guys (sampai jumpa, teman-teman)," ujar Elric sambil buru-buru mengejar langkah Emma.
"Go get her, El (ayo kejar dia, El)!"
Elric terkekeh seraya melambaikan tangan pada para pemuda yang ternyata adalah teman-temannya di East Harlem. Kini ia setengah berlari mengejar Emma yang sudah berada jauh di depan.
Susah payah ia menyejajarkan langkah dengan gadis itu karena kakinya masih terasa sedikit sakit. "Selain aneh dan gila, kau juga gadis yang sok jagoan, ya?" ujar Elric sambil terengah.
"Kenapa kau berkeliaran di sini, huh? Kenapa kau tidak berdiam diri saja dan menjadi anak manis di rumahmu yang nyaman itu?" ejek Emma. Ia menghentikan langkahnya dan menatap Elric sinis sembari menyilangkan kedua lengan di depan dadanya.
"Aku tidak punya rumah. Itu rumah Nathan Bradley. Aku hanya menumpang," sahut Elric sembari terkekeh.
Emma memutar kedua bola matanya. "Terserah saja apa katamu," ujarnya, menganggap ucapan Elric hanya angin lalu.
"Hei, jangan mengalihkan pembicaraan, Emma!" sergah Elric. "Kau tadi sungguh berniat untuk melawan mereka?" tanyanya. Ia menatap Emma dengan alisnya yang mengerut.
"Aku sudah lama ingin menghajar gerombolan itu. Dan karena kau ternyata anggota geng mereka, jangan salahkan aku kalau suatu saat aku juga akan menghajarmu jika aku melihatmu sedang mengganggu orang lain," ancam Emma sungguh-sungguh.
Elric tergelak mendengar ucapan Emma. "Itulah kenapa aku bilang, selain aneh dan gila, kau juga sok jagoan."
Emma mendesis sambil mengibaskan tangannya. Ia menggerutu dalam hati, kenapa harus meladeni si anak brengsek ini. Sungguh sangat membuang-buang energi dan waktunya. Suasana hatinya sedang sangat tidak baik, kini masih harus ditambah bertemu dengan Elric yang sangat menyebalkan itu.
"Apartemenmu di gedung itu, bukan?" tanya Elric sambil menunjuk sebuah gedung yang bersebelahan dengan apartemen yang ditinggali oleh Ryan dan keluarganya.
"So (lalu)?" Emma menaikkan kedua alisnya, menatap Elric penuh selidik.
"Astaga! Aku hanya bertanya, kenapa kau galak sekali?" sungut Elric.
Emma menggeram kesal. Ia pun melanjutkan langkahnya kembali meninggalkan Elric yang seketika juga ikut melangkahkan kaki mengimbanginya. "Kenapa mengikutiku?" tanyanya dengan nada setengah menghardik.
"Siapa yang mengikutimu? Aku mau pergi ke apartemen Ryan," sahut Elric memasang wajah polos tidak berdosanya.
Emma menghembuskan napasnya kasar. Anak ini benar-benar membuat suasana hatinya bertambah buruk. Ia menjauh dari Elric yang kini telah berhenti di depan gedung apartemen Ryan.
"Sampai jumpa, Emma!" seru Elric sambil terkekeh.
"Aku harap kita tidak usah berjumpa lagi!" sahut Emma membuat Elric yang sedang melangkah masuk pintu utama gedung, terbahak.
***
Emma melangkah masuk dan menutup pintu apartemennya pelan. Lampu ruang tamu belum dihidupkan. Artinya, Juana, ibunya, belum pulang dari tempat kerjanya di sebuah mini market. Tangan Emma pelan menyentuh saklar yang tertanam di dinding dengan jari telunjuknya untuk menyalakan lampu. Tampak pintu kamar Juana masih tertutup rapat. Emma pun memutuskan untuk masuk ke dalam kamar dan beristirahat.
Setelah membersihkan dirinya, Emma membaringkan badan di atas ranjang sempit miliknya sambil matanya menerawang menatap langit-langit kamarnya yang lusuh. Hari ini sungguh melelahkan. Bekerja seharian di restauran, lalu bertemu Rodrigo, ayahnya dan harus membicarakan perceraian mereka. Dan Elric, anak itu semakin membuat harinya menjadi bertambah buruk.
Rasa kantuk pun mulai menyerangnya. Fisik dan mental yang lelah membuat matanya terasa begitu berat. Beberapa saat kemudian, Emma pun terlelap.
Ia terbangun dua jam kemudian pada pukul delapan malam, ketika sirine mobil polisi yang sedang berpatroli meraung-raung di luar. Emma beranjak dari ranjang, keluar dari kamarnya menuju ke dapur mengambil segelas air putih untuk menghilangkan rasa haus yang melanda.
Belum nampak tanda-tanda ibunya sudah pulang dari tempat kerjanya. Pintu kamar wanita itu masih tertutup rapat. Emma merasa sedikit aneh. Biasanya jarak kepulangan mereka dari tempat kerja masing-masing tidak berselang terlalu lama seperti ini. Emma baru sadar kalau ada gelas berisi susu yang telah diminum setengahnya, terletak di atas meja makan. Ia ingat pagi tadi ketika selesai sarapan bersama ibunya, meja makan sudah ia rapikan. Dan Juana berpamitan untuk berangkat terlebih dahulu.
Ia berpikir mungkin ibunya sudah pulang dari sore tadi dan sedang tidur di kamarnya. Entah kenapa Emma merasa ingin sekali membuka pintu kamar Juana dan memeriksa apakah wanita itu memang sedang tidur.
Pelan ia membuka pintu kamar Juana dan apa yang dilihatnya di dalam sana membuat jantungnya seakan ingin melompat keluar. Ia bagai disambar petir melihat tubuh ibunya tergetak di lantai dengan mulut berbusa. Di sebelahnya, tergeletak sebuah botol kecil berwarna oranye bertuliskan antidepressants pills yang telah kosong, dan di atas ranjang, ada sebuah botol whiskey yang juga telah kosong.
"Ma-ma!" serunya terbata. Emma merasa tulang-tulangnya lolos seketika hingga ia pun ambruk ke lantai. Ia merangkak menggapai tubuh ibunya dan dengan sisa tenaga ia mengguncang tubuh Juana yang dingin.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments
Emi Wash
duh...kasian emma
2024-01-07
0
Lina Maryani
😭😭😭😭😭
2022-04-15
0
Saepul 𝐙⃝🦜
Astaga kasihan Emma, ayo pada tahlilan kuy jangan lupa besek nya ya.
2022-02-07
0