Emma menggeleng sambil menutup pintu ruang perpustakaan keluarga Bradley. Ia memijit keningnya yang berdenyut. Kekesalan yang tidak terlampiaskan selalu membuatnya sakit kepala. Sepertinya Emma harus pergi ke pinggir sungai atau menyendiri di central park untuk menyepi dan bermeditasi. Kalau tidak, ia bisa saja terkena darah tinggi menghadapi anak breng sek itu.
Ia berniat untuk mencari Nyonya rumah dan berpamitan kepada wanita itu, ketika ia berpapasan di koridor dengan dua orang pria berambut panjang yang selama ini hanya dilihatnya dari media.
Tenggorokannya tercekat. Pria berambut pirang dengan mata biru serta senyumnya yang begitu manis itu adalah Nathan Bradley, gitarist sekaligus vocalist Hellbound, band stoner metal papan atas yang sudah berkarir lebih dari dua puluh tahun di industri musik Amerika dan dunia. Lalu di samping Nathan, ada seorang pria berambut kecokelatan yang diikat rapi dengan mata hazel yang menawan. James Howards, sang bassist. Ia melempar senyumnya pada Emma yang masih berdiri mematung, mencerna apa yang ada di depan matanya itu.
"Kau pasti Miss Emma Lopez," tebak Nathan dengan ramah. "Kau sudah selesai dengan Elric hari ini? Bagaimana dia? Kau tidak punya kesulitan berkomunikasi dengannya?"
Mendadak lidahnya kelu. Emma ingin menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan oleh Nathan padanya, namun ia hanya bisa meringis. Astaga, dua pria di hadapannya itu tampan dan berkarisma sekali. Seperti pepatah tentang wine, get better with age, dua pria itu, semakin bertambah umur, semakin terlihat tampan. Emma menduga umur keduanya mungkin di antara tiga puluh sembilan hingga empat puluh tahunan.
"Hello?" Nathan menggerak-gerakkan telapak tangannya di depan wajah Emma. "Miss Lopez?"
Astaga. Elric benar. Guru kepribadian macam apa dirinya ini. Bahkan bertemu dengan selebritis saja ia tidak bisa bersikap normal.
"Owh, maafkan aku, Mr. Bradley ... emm ... ya ... aku sudah selesai dengan Elric. Dia ... tidak menyulitkanku," sahut Emma dengan dada yang berdebar. Apalagi ditatap sedemikian rupa oleh James Howards, dengan senyumnya yang begitu menawan.
"Senang sekali mendengarnya. Aku harap kau bisa membimbing anak itu dengan baik, Miss Lopez," ucap Nathan penuh harap.
"I'll try my best, Sir (aku akan berusaha semampuku, pak)," kata Emma. "Permisi," pamitnya seraya berjalan melewati dua pria itu.
Emma menahan senyumnya sambil menggerakkan bibirnya berucap o my god tanpa suara. Ia baru saja berbicara dengan Nathan Bradley, dan beradu pandang dengan James Howards.
"Wow!" gumamnya setengah berbisik. Dari balik pintu menuju ruang tamu, Emma mendengarkan pembicaraan kedua pria itu.
"Dia gurunya Elric? So young (masih muda sekali)." Suara James yang terdengar.
"Bagus untuk Elric. Dia bisa menganggapnya sebagai teman." Nathan menyahut.
"Hei, she's cute, right (dia cantik, ya). I like her face (aku suka wajahnya)." Tawa James berderai.
"She's too young for you (dia terlalu muda untukmu)." Nathan menghardik James.
"Kenapa memangnya? Dia sudah cukup dewasa untuk aku kencani."
Emma membuka mulutnya mendengar ucapan James. Ia tidak percaya kata-kata itu muncul dari seorang James Howards. Atau mungkin pria itu hanya bercanda. Jangan senang dulu, Emma!
"Cari wanita seumuranmu, Breng sek!" Nathan memaki James.
"Dan gagal lagi?" Terdengar James menggerutu.
Emma menaikkan alisnya. Gadis itu tersenyum simpul. Dirinya menjadi bahan obrolan dua rockstar ternama. Seperti mimpi saja.
"Kau sudah selesai, Miss Lopez?"
Emma terlonjak mendengar suara Alya yang entah datang dari mana. Wanita itu berdiri di hadapannya dengan wajah keheranan.
"Owh, ya ... aku sudah selesai," jawab Emma gugup.
"Bisa kita bicara sebentar?" Alya mengajak Emma ke ruang tengah. Di sana, wanita cantik berwajah Asia tenggara itu mempersilahkannya duduk.
"Bagaimana Elric?" tanya Alya kemudian.
"Emm ... jujur saja, Elric memang anak yang sangat tertutup, Nyonya ... perlu waktu untuk membuatnya percaya padaku, kalau di sini tugasku adalah membantunya." Emma menjawab dengan hati-hati. Kalau saja ia tidak merasa iba dengan wanita di hadapannya yang tampak putus asa itu, ia sudah mengatakan kalau anaknya yang bernama Elric adalah makhluk paling menyebalkan yang pernah ada di bumi.
Alya tersenyum. Wajahnya menyiratkan harapan yang mendalam. "Aku sangat senang ketika tahu guru Elric masih muda. Mungkin itu bisa membuat Elric lebih nyaman belajar. Karena usia kalian mungkin tidak terpaut jauh. Maaf, kalau aku menanyakan ini, Miss Lopez. Berapa umurmu?"
"Dua puluh dua tahun, Nyonya," jawab Emma. "Aku baru saja lulus kuliah tahun ini," lanjutnya.
"Universitas?"
"Columbia. Psikologi."
"Nice (bagus sekali)," timpal Alya senang. "Baiklah, Miss Lopez ... sampai jumpa lagi besok, kalau begitu," ujarnya sembari beranjak dari duduknya.
Emma mengangguk. "Permisi, Nyonya Bradley," ucapnya. Ia lalu melangkah keluar dari ruang tengah dan kembali menelusuri koridor rumah yang cukup panjang menuju ruang tamu.
"Emma!"
Emma menghentikan langkahnya mendengar panggilan dari sebuah suara yang terdengar sedikit asing. Ia terkesiap ketika mendapati James Howards sudah berada di sampingnya, tersenyum dengan sangat manisnya.
"Kita belum sempat berkenalan tadi," kata James sambil mengulurkan tangannya. "Namaku James," ucapnya.
Emma meringis. "Aku ... sudah tahu, aku mendengarkan lagu-lagu Hellbound," ujarnya tersipu.
"Oh, wow ... nice (bagus sekali)," sahut James dengan gembira. "Kau mau pulang?"
"Yeah."
"Aku juga. Bagaimana kalau sekalian saja aku mengantarmu. Di mana rumahmu?"
"Owh, I don't think it's necessary, Mr. Howards (tidak usah repot-repot, Mr Howards)," tolak Emma dengan gugup. Ia tidak menyangka akan mendapatkan tawaran menumpang di mobil seorang James Howards.
"I'm okay, if you want (aku tidak apa-apa, kalau kau mau)."
Emma benar-benar gugup dibuatnya. Ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Hi, Elric." Suara James menyebut nama Elric membuat Emma mengangkat kepalanya dan mendapati Elric yang sedang melintas di hadapannya dengan kursi roda electric automaticnya. Ia melihat anak itu melambai sekilas pada James, namun tatapannya tertuju pada Emma sambil menarik sudut bibirnya. Mata Emma membulat ketika dilihatnya secara sembunyi-sembunyi Elric mengacungkan jari tengah padanya.
"You're so dead (awas kau)!" Emma berucap tanpa suara dengan gerakan bibirnya.
"Uuugh," gumam Elric dengan ekspresi takut yang dibuat-buat.
Emma menghembuskan napasnya kasar. Ia terkesiap ketika melihat James masih berdiri di sampingnya. "Maybe next time, Mr. Howards, excuse me (mungkin lain kali, Mr. Howards, permisi)," ucapnya sembari buru-buru berlalu dari hadapan James.
"Hei, Emma! Just call me James (panggil aku James saja)!"
Emma hanya mengangguk dari kejauhan. Ia pun menghilang di balik pintu menuju ruang tamu. Meninggalkan James yang mengangkat kedua tangannya sambil mengedikkan bahu.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments
Emi Wash
kirain pingsan em...ketemu seleb...
2024-01-07
0
Saepul 𝐙⃝🦜
Maju lancar jangan kasih kendor Oppa James 🤭
2022-01-22
0
Farras Goyas
tom&jery
2022-01-01
0