"No me creo esto (aku tidak percaya ini)!!"
"Eres un bastardo (dasar kau baji ngan)!!"
Emma menutup telinganya begitu masuk ke dalam apartemen dan disambut oleh suara teriakan ibunya dalam bahasa Spanyol, yang ditujukan pada ayahnya. Ia buru-buru masuk ke dalam kamarnya dan menutup pintunya rapat-rapat. Suara teriakan ibunya dan juga makian ayahnya masih bisa ia dengar walaupun tidak terlalu jelas.
Biasanya Emma akan memasang headsetnya dan mendengarkan musik lewat ponsel atau tablet guna menghindari suara kekacauan di dalam apartemennya. Namun, berhubung semua itu tertinggal di Greenwich, dan ia malas kembali ke sana untuk mengambilnya, karena rasanya hari ini sudah cukup ia melihat wajah menyebalkan anak breng sek itu, maka malam ini Emma harus rela tidur sambil menikmati suara benda-benda yang menabrak dinding, teriakan, dan juga makian.
Emma terkejut ketika pintu kamarnya digedor dengan keras dan terdengar suara ibunya memanggil namanya sambil menangis. "Emma ... abre la puerta! Abre la puerta, por favor (buka pintu! buka pintu, tolong)!"
Emma menghembuskan napasnya kasar dan beranjak dari ranjang sempitnya dan dengan malas menyeret langkahnya menuju pintu kamar lalu membukanya. Sang ibu langsung menghambur ke pelukannya dan tangisnya semakin menjadi.
"Dia punya kekasih. Ayahmu punya kekasih." Wanita itu menangis di pelukan Emma yang sepertinya tidak terlalu terkejut dengan ucapannya. Emma sudah menduga hal itu pasti akan terjadi. Rumah tangga kedua orang tuanya sudah berada di ambang kehancuran.
"A donde vas (mau ke mana), Papa?" tanya Emma pada sang ayah yang melintas di hadapannya sambil mengenakan jaketnya. Pria itu hanya melambai padanya sekilas, lalu tanpa mengatakan sepatah kata pun, ia berlalu.
Emma menggeleng pelan. Ibunya masih terisak di pelukannya. Kepalanya mulai berdenyut. Ia pun mengajak ibunya duduk di ruang tamu. Emma terdiam mendengarkan ibunya sesenggukan tanpa menanyakan apa pun padanya. Hingga akhirnya beberapa menit kemudian tangis wanita itu mereda. Emma masih terdiam. Ia duduk menumpu badan dengan siku di atas pahanya. Ia menundukkan kepala menatap lantai dengan tatapan kosong.
"Kami akan bercerai," ucap sang ibu tiba-tiba.
Emma mendongak. Meskipun ia tahu hal itu cepat atau lambat akan terjadi, namun ia tetap saja merasa shock.
"Begitu lebih baik," sahut Emma dingin. Entah karena ia memang setuju dengan keputusan orang tuanya itu, atau masa bodoh, atau karena marah. Ia sungguh tidak tahu bagaimana menyikapinya.
"Kau tidak apa-apa?" tanya ibunya.
Emma terkekeh, miris. "Kenapa baru kali ini kau menanyakan padaku aku tidak apa-apa? Selama ini aku selalu menyaksikan kalian bertengkar, menurutmu aku tidak apa-apa?"
"Emma ...."
"No,no,no ... let me finish, Momma (biar kuselesaikan perkataanku, ibu)!" sergah Emma sambil mengangkat satu tangannya memberi isyarat pada ibunya untuk diam. "I'm sick of it, you know? You guys are so pathetic (aku sudah muak, kau tahu? Kalian itu sangat menyedihkan)!"
Emma beranjak dari duduknya. Ia menatap sang ibu yang tertunduk. "Lakukan apa pun yang kalian mau. Tidak usah memedulikanku," ucapnya sembari melangkah menuju pintu dan menyambar jaketnya.
"A donde vas (kau mau ke mana), Emma?" tanya sang ibu.
"Mencari udara segar," sahut Emma seraya membuka pintu dan melangkah keluar apartemennya.
Mencari udara segar di East Harlem. Emma bahkan tidak tahu tempat yang cocok untuk menyendiri sambil menikmati udara segar. Di depan sebuah swalayan, mungkin, di dekat parkiran mobil di mana ada satu bangku panjang lusuh yang terkadang digunakan oleh para tuna wisma untuk tempat mereka tidur.
***
Elric melepas kacamata virtual reality dari kepalanya ketika ponsel milik Emma yang ada di dalam tas tidak henti-hentinya berdering. Ponsel itu sudah hampir sepuluh menit lalu berdering ketika ia masih sibuk berada di dunia virtual memainkan gamenya. Namun Elric tidak mengacuhkannya.
Tangan Erlic merogoh ke dalam tas dan mengambil ponsel dengan model lama itu. Ada puluhan panggilan tidak terjawab dari seseorang yang ditulis dengan nama papa. Lalu beberapa saat kemudian, satu pesan muncul di layar. Elric tidak membukanya, namun ia bisa membaca dari tampilan pesan di layar.
Papa : Emma, aku tahu kau marah dan tidak mau mengangkat telponku. Ibumu pasti sudah mengatakan niat kami untuk berpisah. Aku akan mencari tempat tinggal untuk sementara. Semoga kau mau membicarakan hal ini denganku dalam waktu dekat.
Elric menaikkan alisnya. Ia buru-buru mematikan layar ponsel dan menaruhnya kembali ke dalam tas. Ia merasa telah lancang memasuki privasi seseorang. Apalagi ini sepertinya masalah yang serius. Orang tua Emma akan bercerai. Namun Elric merasa penasaran dengan reaksi gadis itu besok. Apakah Emma akan mengalami perubahan sikap? Apa ia akan terlihat sedih? Apa ia akan melampiaskan amarah padanya? Apa ia akan tetap galak dan cerewet? Apa ia akan tetap menyebalkan? Atau ia akan biasa-biasa saja?
Jawabannya adalah, siang itu, ketika Emma datang di jam pelajaran seperti biasa, gadis itu tampak sedikit lesu ketika Elric baru saja masuk ke dalam ruang perpustakaan. Ia melihat Emma sedang menghadap layar ponselnya. Ya. Sebelum Emma datang, Elric sudah meminta Lupita untuk mengembalikan tas gadis itu ke tempat semula di ruangan ini.
Melihat kedatangan Elric, Emma buru-buru menaruh ponsel ke dalam tasnya kembali. "Hi, how are you today (bagaimana kabarmu hari ini)?" sapa Emma ramah. Seperti pertemuan-pertemuan sebelumnya yang diawali dengan baik, namun selalu berakhir dengan peperangan. Namun hari ini, ia tidak punya energi untuk berdebat dengan anak itu.
"Good." Elric menjawab pendek.
Emma mengambil tabletnya, lalu memeriksa jadwal tema untuk hari ini. Pengenalan bakat dan potensi diri. Namun, rasanya Emma hanya ingin mengobrol tentang apa saja, agar ia bisa mengalihkan pikiran dari masalah keluarganya.
"Berapa lama kau akan duduk di kursi roda?" tanya Emma.
Elric mengedikkan bahunya. "Sebulan, mungkin."
"Elric, boleh aku tanya sesuatu?"
Erlic mengangkat kedua tangannya, menandakan kalau ia tidak keberatan. Namun Emma malah terdiam untuk beberapa saat.
"Apa yang kau pikirkan tentang hidup?" tanya Emma.
"Life sucks, full of sh it, and is fucked up (hidup itu menyebalkan, penuh omong kosong, dan kacau," sahut Elric.
Emma menaikkan alisnya. Bocah ini memang tidak pandai bersyukur. Dengan semua yang ia miliki, masih saja mulutnya mengucapkan kata-kata seperti itu. "Apa kau tidak pernah berpikir, kau ini sangat beruntung?"
"Aku?"
"Iya. Kau."
"No."
"Why?"
"Because I don't have "things to do list" like everybody (karena aku tidak punya "daftar hal-hal yang harus dilakukan" seperti orang lain)." Elric menarik sudut bibirnya.
Emma memicingkan matanya. Ia memandang Elric dengan curiga. "Kau ... membuka buku catatanku?" selidiknya.
Elric tergelak. "Aku hanya penasaran kenapa ada orang yang masih menggunakan buku catatan untuk menulis sesuatu."
Emma mendengus kesal. Sejurus kemudian ia kembali memicingkan matanya menatap Elric. "Jangan bilang kau sudah membuka ponselku."
"Aku tidak sengaja membaca pesan masuk," kata Elric.
"Kau tidak pernah diajarkan apa itu privasi?!" hardik Emma kesal.
"Hei, kau tahu, aku sedikit bersimpati padamu," ujar Elric. Entah ia tulus atau tidak mengatakannya. Namun, sejujurnya Elric lebih senang melihat wajah garang Emma dari pada melihatnya murung.
Emma memanyunkan bibirnya. Ia melipat kedua lengan di depan dada. Elric bersimpati pada orang lain? Sulit untuk dipercaya. Anak itu pasti hanya mengerjainya. Di dalam hati, pastilah ia menertawakannya.
Elric menghela napas pelan. Gadis itu murung lagi. Ia benar-benar tidak suka melihatnya seperti itu. Ia pun memutar otak untuk membuat Emma kesal.
"Hei, Emma ... kau sedang mengincar James, ya?" tanya Elric. Ia menunggu reaksi Emma untuk meledak kapan saja.
"Huh?"
"Jangan berpura-pura bodoh," pancing Elric.
"Huh?"
Elric mendecak. "Hentikan ekspresi bodohmu itu!"
"What (apa)?" Mata Emma membulat. Wajahnya kini tampak angker. "What did you say (kau bilang apa tadi)?"
Bibir Elric mencebik. "Yang mana? Kau sedang mengincar James atau ekspresi wajah bodohmu itu?"
Emma menggeram. Ia tidak percaya anak ini selalu membuat darahnya mendidih setiap hari. Sementara Elric tersenyum senang melihat Emma sudah normal kembali dengan wajah galaknya.
"Kau berniat membuat umurku pendek, ya, Anak Breng sek?!" hardik Emma.
"Tepat sekali, Emma," sahut Elric sambil tertawa terbahak-bahak, membuat Emma memutar kedua bola matanya sebal.
***
IKLAN LEWAT ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments
See you😊
😂😂😂
2022-02-12
0
Saepul 𝐙⃝🦜
Duh ya elric bener bener nyebelin 🤣
2022-01-23
0
Rehana
elric simpati atau menaruh hati..
2021-11-23
1