"Nooo!" teriak Elric dengan keras. "F uck! Aku mati!" serunya kemudian seraya melepas headset VR dari kepalanya. Ia menggeram kesal ketika karakter yang ia mainkan dalam gamenya, mati tertembak.
Noah yang sedang duduk di atas beanbag di sudut ruangan, tergelak. Sementara Ryan dan Michael berbaring terlentang di atas ranjang sambil menghisap rokok. Keempatnya sedang berkumpul di dalam kamar Ryan.
"Mana rokokku?" tanya Elric seraya menepuk pundak Ryan, meminta sebatang rokok pada pemuda berambut pirang itu.
Ryan merogoh sakunya dan memberikan sebungkus rokok dan koreknya pada Elric. Dengan cepat Elric menyambarnya lalu menyalakannya sebatang. Ia duduk di tepi ranjang menghadap ke arah Noah yang sedang menenggak botol whiskeynya.
"Kapan rencanamu akan dilaksanakan?" tanya Elric. Ia menghembuskan asap rokok ke udara.
"Beberapa hari lagi, aku sedang memesan sesuatu," sahut Noah.
"Memesan apa?" tanya Elric penasaran.
"Surprise (kejutan)," gelak Noah.
"Pistol. Noah sedang memesan pistol," sahut Ryan membuat Noah mendecak sebal.
"Itu kejutan, Bodoh! Kenapa kau mengatakannya sekarang?!" hardik Noah pada adik lelakinya itu.
Mata Elric membulat. "Pistol sungguhan?" tanyanya tak percaya.
"Tentu saja sungguhan. Kau pikir aku akan memakai pistol mainan?" Noah memutar kedua bola matanya.
"Tapi ... apa tidak akan terlalu berbahaya?" Elric tampak ragu-ragu.
"Kalau kau takut, sebaiknya kau tidak usah ikut," tantang Noah pada Elric.
Mendengar ucapan Noah, Elric merasa pemuda itu sedang mengoloknya sebagai seorang pengecut. "Aku tidak takut," protesnya. Ia tidak mau dikatakan sebagai anak manja yang pengecut.
"Nice (bagus), El," kekeh Noah.
"Ini pasti akan menyenangkan," ujar Michael seraya beranjak dari atas ranjang.
"Akan sangat menyenangkan," sahut Noah seraya menyodorkan botol whiskeynya pada Michael.
Michael menyambutnya dengan senang hati. Ia menenggaknya, lalu memberikannya pada Elric. Remaja berambut panjang ikal itu menyambar botol dari tangan Michael dan menenggaknya. Ia merasakan badannya menghangat. Ia menyukai sensasi yang ia rasakan dalam tubuhnya. Hangat, rileks dan membuatnya merasa gembira.
"Hei, El ... kau mau belajar menghasilkan uangmu sendiri atau tidak?" tawar Noah.
Elric membulatkan matanya. "Tentu saja aku mau," sahutnya cepat. "Bagaimana?"
"Aku juga mau!" seru Ryan dan Michael bersamaan.
Noah tertawa senang. Tiga remaja itu selalu antusias dengan semua tawarannya. Terutama Elric. Ia sesungguhnya tidak mengerti dengan jalan pikiran remaja satu itu. Orang tuanya kaya raya, terkenal dan hidupnya selalu mudah. Namun ia lebih senang bergaul dengan orang-orang seperti Ryan dan juga dirinya, dan menghabiskan waktu di apartemen mereka yang sempit dan kumuh. Sampai-sampai ayah dan ibunya sudah menganggap Elric seperti anak mereka sendiri.
Elric juga sering membelikan barang-barang yang selama ini hanya ada di dalam angan-angannya. Seperti satu set VR game yang harganya selangit.
"Aku tidak suka selalu dikaitkan dengan nama besar ayahku. Aku bukan ayahku dan aku ingin hidup dengan caraku sendiri." Begitu yang selalu dikatakan Elric.
***
Pukul tujuh malam Elric pulang dengan tubuh yang sedikit sempoyongan. Bahu alkohol tercium jelas dari badannya, sehingga membuat Alya yang baru selesai membantu Lupita di dapur dan berpapasan dengannya, menghentikan langkah Elric menuju ke kamarnya.
"Dari mana, El?" tanya Alya. Ia memperhatikan penampilan puteranya yang terlihat berantakan itu. "Minum?" selidiknya.
"Sedikit." Elric menjawab pendek. "Nite, Mom (Selamat malam, ma)," ucapnya seraya bersusah payah menaiki tangga.
"Elric! Kau belum menjawab pertanyaanku. Kau dari mana?" tanya Alya. Untung saja Nathan belum pulang dari studio Hellbound. Elric mabuk, artinya itu melanggar aturan yang diterapkan oleh ayahnya itu. Tidak boleh minum minuman beralkohol sebelum umurnya cukup, kecuali wine.
"Dari rumah Michael," jawab Elric sekenanya.
"Bersihkan dirimu dan kembali ke sini untuk makan malam," perintah Alya.
"Aku tidak lapar, Mom," sahut Elric dengan malas. "Bisa jangan ganggu aku? Aku mau tidur."
Alya menggeleng seraya menarik napas dalam-dalam. Elric dua tahun belakangan ini, sejak memasuki bangku SMA, memang sedikit susah diatur. Ia pikir mungkin remaja seusianya sedang dalam masa mencerna semua yang ada di sekitarnya. Tetapi semakin ke sini, anak itu semakin menunjukkan kebandelannya. Bahkan ia seperti membenci apa saja.
Elric tidak lagi mau bermain musik, padahal Nathan begitu mengharapkan anak itu mengikuti jejaknya. Sikapnya selalu ketus dengan semua orang di rumah ini, bahkan dengan dirinya, ibunya sendiri.
Alya pernah berbicara dengan guru-guru di sekolah Elric. Mereka mengatakan, Elric baik-baik saja di sekolah. Ia tidak nakal, malah terkesan cuek dan tidak peduli dengan lingkungan sekitarnya. Begitupun ketika Alya bertanya tentang teman-teman yang dekat dengan Elric di sekolah, mereka mengatakan kalau Elric hanya berteman dengan Michael dan satu orang lagi yang tidak punya riwayat sebagai murid-murid nakal. Semua baik-baik saja.
"Kenapa wajahmu, Sayang?" tanya Nathan malam itu pada Alya ketika mereka sudah berada di atas ranjang dan bersiap untuk tidur.
"Hmm ... Elric," gumam Alya.
"Kenapa lagi dengan anak itu?"
"Sepertinya di sekolah dia baik-baik saja. Dia tidak nakal, tidak bergaul dengan anak nakal, tapi ... sikapnya di rumah seperti ... kau tahu, membenci semua orang yang ada di rumah ini, termasuk aku, ibunya sendiri," ungkap Alya.
"Bukankah aku sudah pernah bilang padamu, kalau dia sepertinya sangat membenciku? Kau menyuruhku untuk tidak berpikiran seperti itu, sekarang kau merasakannya sendiri, bukan?"
Alya menghela napasnya. "Ada apa sebenarnya dengan anak itu?" Ia mengelus janggutnya.
Nathan menggeleng. Ia pun ikut menghela napas dalam-dalam. "Kita sudah memberikan segalanya pada Elric. Aku bahkan membuka lebar pintu karirnya, kalau dia ingin serius dalam bermusik."
"Apa ... mungkin kita terlalu memaksanya untuk bergelut di bidang yang tidak dia sukai?" tebak Alya.
"Tidak mungkin. Elric suka musik dari kecil. Dia selalu antusias dengan semua pelajaran musik yang ia terima. Memang akhir-akhir ini dia jarang masuk studio. Mungkin, dia hanya sedang jenuh," pikir Nathan.
"Semoga saja," ucap Alya seraya menarik selimut menutupi tubuhnya.
Nathan tersenyum jahil. Ia mendekat pada Alya dan memicingkan matanya. "Atau ... kita beri Elric seorang adik agar dia tidak kesepian," ujarnya seraya menaik-naikkan alisnya.
Mata Alya membulat. Refleks tangannya menarik rambut panjang Nathan dengan keras membuat pria itu meringis. "Aku hanya mengungkapkan ideku, Alya," katanya seraya mengusap kepalanya.
"Satu anak saja sudah repot," gerutu Alya.
Nathan terkekeh. "Kalau begitu ... bagaimana kalau malam ini kita ...."
"Tidak!" potong Alya cepat seraya membalikkan badan memunggungi Nathan dan menutup badannya rapat-rapat dengan selimut.
"Alya ...."
"Tidur saja, Nathan."
"Kenapa sekarang kau sering menolakku?" keluh Nathan.
"Karena aku sudah tua," jawab Alya asal.
"Omong kosong! Kau masih barumur tiga puluh delapan tahun, Sayang. Kau sedang seksi-seksinya," kikik Nathan.
Alya memutar bola matanya. Bukan ia ingin membuat Nathan kecewa, namun di dalam kepalanya sedang penuh dengan pikiran tentang Elric. Hatinya merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan anak semata wayangnya itu.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments
Emi Wash
kadang manusia suka begitu, dikash kaya serbas mudah tp pingin ngicipi hidup yg pas2an....
2024-01-07
0
ℝ𝔦𝔪𝔲 ƐꝈƑ⃝🧚🏻🌸🌸🌸
waw
2022-04-21
1
Lina Maryani
tidak suka tp manfaat kan fasilitas dr orang tua...🤭
2022-04-14
0