Beberapa minggu berlalu.
Meskipun Elric mendengarkan celotehan Mrs. Sanders hari itu tentang pengembangan potensi diri, namun semua materi yang wanita itu sampaikan tidak ada yang bertahan di dalam otaknya. Ia sibuk memikirkan bagaimana caranya bisa bebas keluar rumah seperti dulu. Elric merindukan rokok, cannabis, sedikit alkohol dan saat-saat bersama teman-temannya di East Harlem. Ia semakin tidak suka dengan ayahnya yang memperlakukannya seperti anak kecil bahkan menurut Elric ia diperlakukan seperti remaja perempuan.
"Uugh," gumam Elric sambil bergidik. Bukan ngeri, tapi jijik.
"Ya, Elric? Ada yang ingin kau sampaikan?" tanya Mrs. Sanders.
"Huh? No!" sahut Elric cepat.
Mrs. Sanders menaikkan alisnya. Wanita itu tahu pikiran Elric tadi sedang berkelana dan tidak memperhatikan semua yang ia sampaikan. "Jadi, apa kesimpulannya?" tanyanya.
"What?" Elric terkesiap. "Owh ... pengembangan diri, potensi, hobby ... bla bla bla," lanjutnya asal.
Mrs. Sanders menghela napasnya. "Apa yang paling kau sukai, Elric?"
"Tidak ada," jawab Elric singkat.
"Kau harus berusaha lebih keras lagi untuk mengenali apa yang menjadi hasratmu. Apa yang benar-benar ingin kau lakukan ... dan apa ...."
Membosankan. Elric berkali-kali menguap ketika wanita itu mulai menerangkan kembali panjang lebar materi pelajaran hari ini. Ia menghitung detik demi detik yang terasa seperti berjalan melambat.
Akhirnya, dua jam yang terasa seperti selamanya itu pun berlalu dan Mrs. Sanders mengakhiri pelajaran hari itu. Elric yang kini sudah tidak menggunakan kursi roda berjalan keluar ruang perpustakaan dengan langkah yang masih sedikit terseok. Ia berpapasan dengan Nathan di koridor ketika hendak menuju dapur untuk meminta Lupita mengambilkannya sebotol anggur guna mengembalikan moodnya yang rusak karena harus bertatap muka dengan Mrs. Sanders selama dua jam.
"Feeling better (sudah merasa lebih baik)?" tanya Nathan seraya menunjuk kaki Elric.
"As you can see (seperti yang kau lihat sendiri)," jawab Elric.
"Bagaimana pelajaran dari Mrs. Sanders?" tanya Nathan kembali.
Bibir Elric mencebik. "It's going very well (berjalan dengan sangat baik)."
Nathan mengangguk-angguk. Ia lalu menepuk-nepuk bahu puteranya itu pelan. Ia berpikir sepertinya Elric sudah mulai bersikap baik. Anak semata wayangnya itu sudah terlihat normal. Meskipun masih pendiam, namun Elric tidak pernah membuat masalah lagi di rumah. Ia tidak terlihat marah atau membenci siapa saja. Pernah beberapa kali Nathan juga memergoki Elric masuk ke studio dan memainkan gitarnya.
"Ah, Elric!" panggil Nathan sambil membalikkan badan. "Kalau kau ingin pergi keluar rumah kadang-kadang, ke tempat Michael, misalnya ... aku tidak akan melarangmu," ujarnya.
Elric yang membelakangi Nathan menyunggingkan senyum miringnya. Tentu saja kau tidak bisa melarangku, Dad. Aku bukan anak kecil lagi atau remaja perempuan yang seenaknya saja diatur. Aku pria dewasa.
"Thanks," ucap Elric seraya melanjutkan langkahnya menuju ke dapur menemui Lupita.
***
EAST HARLEM, MANHATTAN.
Beberapa langkah keluar dari restauran tempatnya bekerja, Emma berhenti ketika melihat sosok pria paruh baya berdiri di hadapannya sambil menyunggingkan senyum. Rodrigo, ayahnya, yang sudah beberapa minggu entah tinggal di mana.
"Emma, bisa kita bicara?" tanya Rodrigo dengan wajah memelas.
"Yeah," jawab Emma malas. Ia memang tidak pernah menggubris telepon atau pesan dari pria itu.
Rodrigo mengajak Emma duduk di salah satu kursi besi panjang yang ada di sepanjang sidewalk. "Apa kabar, Emma?" ucapnya.
"Langsung saja, Papa," sahut Emma dengan cepat.
Rodrigo menghela napasnya dalam-dalam. Ia berat mengatakan semuanya pada Emma, namun putrinya ini sudah cukup dewasa untuk diajak bicara dari hati ke hati. "Aku akan bercerai dengan Mamamu."
"Aku sudah tahu," sahut Emma dingin.
"Aku hanya ingin tahu bagaimana kau akan menyikapi semua ini. Aku tidak ingin kau merasa tersakiti atas perceraian kami berdua."
Emma terkekeh. "Astaga," ujarnya sambil memijit kepalanya. "Ngomong-ngomong tentang tersakiti, kalian sudah lama menyakitiku. Jadi, sepertinya perceraian kalian tidak akan berpengaruh apa-apa padaku sekarang. Aku sudah terbiasa." Emma menatap Rodrigo lekat. "Aku pikir memang sebaiknya kalian berpisah saja. Dari pada setiap hari aku harus mendengarkan pertengkaran kalian yang ... emm ... bull sh it itu."
"Yeah, aku tahu ... maafkan aku, Emma."
Emma berusaha menahan agar cairan bening di sudut matanya tidak tumpah ke pipinya. Ia mencoba bersikap masa bodoh, toh ia sudah biasa dikecewakan, disakiti. Tapi, tetap saja hatinya terasa begitu perih.
"Benar kau punya wanita lain?" tanya Emma dengan suara bergetar.
Rodrigo menunduk. Ia tidak bisa menjawab pertanyaan putrinya itu. Sementara Emma hanya tersenyum sinis, atau pedih, mungkin. "Aku rasa aku tidak akan ikut campur masalah kalian. Lakukan apa saja yang menurut kalian baik." Emma berusaha membesarkan hatinya.
"Emma ... kalau kau butuh sesuatu ...."
"I'm good (tidak usah)," potong Emma cepat.
Rodrigo memejamkan mata sambil menarik napas dalam-dalam. "Take care, Emma, I love you," ucapnya seraya mencium pipi Emma sekilas dan berlalu.
Emma memalingkan wajahnya ke arah berlawanan sang ayah melangkahkan kaki meninggalkannya. Kini ia tidak bisa membendung air matanya lagi. Ia menelungkupkan kepala ke atas pahanya dan membiarkan tangisnya pecah.
"F uck, f uck!" umpat Emma di sela-sela tangisnya.
***
Elric menaiki tangga menuju pintu keluar stasiun bawah tanah sambil merogoh saku celananya untuk mengambil ponselnya yang berdering.
"Ya, Mike ... aku tunggu kau di apartemen Ryan," ucapnya sambil menaiki anak tangga terakhir dan melangkah menelusuri sidewalk yang ramai. Ia menutup kepalanya dengan hoodie dan berjalan santai sembari memasukkan kedua tangan ke saku celananya.
Langkahnya terhenti ketika melihat seorang gadis sedang duduk di kursi panjang menelungkupkan wajah sambil memeluk lututnya. Rambutnya yang panjang ujungnya menjuntai menyentuh lantai sidewalk.
Sambil mengerutkan dahi, Elric mendekati gadis itu. Ia kenal tas selempang warna hitam lusuh bergambar hunted mansion yang tergeletak di sampingnya. "Emma?" panggilnya.
Gadis itu mendongak. "Oh, tidak!" Ia menepuk keningnya sendiri sambil menghembuskan napasnya dengan kesar.
Elric tergelak melihat wajah Emma yang sangat kacau. Matanya sembab, hidungnya merah, dan anak-anak rambutnya basah menempel di wajahnya. "Wow ... astaga! Kau terlihat sangat menyedihkan," ujarnya.
"Enyahlah, Elric!" hardik Emma kesal. Kesal sekali kenapa harus bertemu anak breng sek itu di saat yang tidak tepat seperti ini. Ia hanya akan dijadikan bahan olokan Elric.
Masih dengan sisa-sisa tawanya, Elric memandang gadis berambut cokelat itu. Ia tidak menyangka akan bertemu Emma di tempat ini, dalam keadaan kacau seperti itu. Tapi entah kenapa ia merasa senang. Sudah berminggu-minggu ia tidak bertemu Emma sejak gadis itu berhenti mengajar. Dan, ia rindu mengerjai dan membuatnya marah.
"Jangan ganggu aku!" seru Emma ketika dilihatnya Elric duduk di sampingnya.
"Siapa yang mengganggumu? Aku sedang menunggu temanku," sahut Elric sambil menyandarkan punggung ke sandaran kursi dan melipat kedua lengan di depan dada.
Emma mendengus kesal. Ia menyambar tas selempangnya dan beranjak dari duduknya. Ia hendak berlalu namun Elric buru-buru menahan lengannya. "Hei, kau mau ke mana?" tanya Elric.
"Pulang, tentu saja," sungut Emma sembari menarik lengannya lepas dari genggaman tangan Elric.
"Tunggu dulu, Emma."
"What (apa)?!"
"Duduk di sini," pinta Elric sambil menepuk-nepuk tempat yang tadi diduduki oleh Emma.
Emma memutar bola matanya sebal. "Kau mau apa? Aku sedang tidak ingin berbicara dengan siapa pun!"
"Duduk, Emma!" Elric menarik tangan Emma dengan keras hingga gadis itu menjatuhkan pan tatnya ke atas kursi. "Kau kenapa? Ada masalah? Oh, aku tahu, pasti masalah orang tuamu, ya?" tebak Elric.
Emma memicingkan matanya menatap Elric sengit. "Bukan urusanmu, Elric!"
Elric mendecak. "Hei, aku jarang bersimpati pada orang lain, kau tahu?"
"So (lalu)?" Emma menaikkan alisnya.
"Yeah, seharusnya kau senang karena aku mau menanyakan masalahmu."
"Huh?" Emma menatap Elric curiga. "Hei, dengar, Anak Breng sek ... mulutmu itu tidak bisa dipercaya!" ujarnya seraya menoyor kening Elric dan berlalu dari hadapannya.
"Emma! Hei, Emma! Wait (tunggu)!" seru Elric sembari mengejar langkah cepat gadis itu.
"Pergi sana, Elric!!" hardik Emma sambil mendorong dada Elric menjauh. Matanya melotot pada anak itu memperingatkannya untuk tidak mengikuti langkahnya.
Elric mendengus kesal sambil mengangkat kedua tangannya. "Gadis aneh!" gerutunya. Ia hanya bisa memandangi punggung Emma yang semakin menjauh.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments
Saepul 𝐙⃝🦜
Elric ini mulutnya kyak cabe jablay 🤣 gak ada manis manis sama cewek 🙈
2022-02-07
0
⍣ℛ𝓮𝓷𝓷𝔂N⃟ʲᵃᵃ࿐
nah.. nah.. nha.. pucek pucek nya di othor keluar 🤣🤣🤣
2021-11-21
1
🐊⃝⃟ Queen K 🐨 코알라
My boy kamu tuh yaaa org Emma lagi sedih malah digodain 🙈🙈🙈
Coba deh my boy jangan nething mulu sama dad Nathan... lagian itu semua kan demi kebaikan kamu my boy 😘😉
2021-11-20
1