19. Mama

"Enghh .... " desahku saat baru saja membuka mata.

Aku terbangun sebab perut yang terasa melilit. Apa ini efek keguguran kemarin? Rasanya sakit sekali. Saat beranjak dari kasur pun kulakukan dengan susah payah. Tertatih penuh perjuangan untuk keluar dari kamar tidur.

"Al? Kau kah itu?" tanyaku pada sosok di depan kompor, ketika baru saja sampai di depan dapur.

"Eh, Mama. Baru bangun?" Althaf berbalik dengan spatula di tangan kanannya. Bau telur goreng memenuhi dapur.

Aku telat bangun. Mungkin Althaf lapar karena aku belum membuat sarapan.

"Tolong bantu Mama," pintaku.

"Mama kenapa?"

Setelah mematikan kompor, Althaf langsung menghampiriku yang sudah gemetaran tak kuat menahan sakit pada perut yang semakin menyiksa. Dibimbingnya tubuhku menuju kamar mandi.

Anak pintar. Sebelum aku suruh dia sudah mengerti keinginanku.

"Terima kasih, Al."

"Hati-hati, Ma. Kalo butuh bantuan bilang aja."

Aku mengangguk sebelum menutup pintu kamar mandi.

"Awhh," rintihku sambil membungkuk. Tak kuat dengan perut yang semakin melilit tak karuan ini.

Sepersekian detik, kurasakan sesuatu keluar dari jalan lahir. Bersamaan dengan keluarnya beberapa benda itu, perutku semakin membaik pula. Rasa sakit berangsur hilang.

Aku sudah bisa bernafas lega. Setelah dicek, ternyata benda itu ialah gumpalan daging kecil-kecil berserta banyak tetes darah. Semuanya segera aku bersihkan dengan dilarutkan dalam kloset. Sisanya berceceran di lantai hanya kubilas dengan air sampai bersih tak tersisa.

"Assalamu'alaikum .... " salam dari mas Raihan terdengar hingga tempatku berpijak.

Setelah selesai dengan urusanku di kamar mandi. Ku sambut kepulangannya dengan pelukan. Jujur. Aku merindukannya.

"Kenapa, Dek?"

"Kangen."

Mas Raihan tertawa renyah.

"Baru gak ketemu semalam aja udah kangen," cibirnya.

Aku tak peduli. Hanya butuh pelukan untuk saat ini. Setelah semua yang terjadi, kehadiran suami di sisiku sangat berguna untuk menguatkan mentalku yang diuji terus-menerus.

"Mama udah baikan?" tanya Al yang baru saja datang. Pakaian seragamnya sudah rapi, lengkap dengan tas yang menggantung di pundak.

"Memang Mama kenapa?" Mas Raihan menatapku heran.

"Enggak, Mas. Aku baik. Cuma sakit perut biasa," elakku.

"Jangan telat makan, Ma. Ya sudah, Mas antar Al ke sekolah dulu."

"Hati-hati, Mas."

"Assalamu'alaikum. Ayo Al." Suamiku menatap Al yang berada di belakang tubuhku.

"Assalamu'alaikum, Ma." Althaf berlalu setelah mencium punggung tanganku.

"Wa'alaikumsal—" lirihku terjeda, dengan mata tak lepas dari tas di punggung Althaf.

Aku melihat sosok makhluk kecil yang bergelayut di sana tanpa mengenakan sehelai pakaian pun.

"A-apa itu tadi?" Kakiku sudah merinding disko.

Sosok itu memutar kepalanya 180° hingga menghadap ke arahku. Bagian matanya berlubang dan mengeluarkan darah. Dia tersenyum lebar ke arahku. Barulah kutahu, ternyata giginya belum tumbuh.

Sosok itu mengingatkanku pada bayi yang baru lahir.

Deg.

Tubuhku merosot, lunglai di atas lantai. Kaki seolah tak bertulang, tidak mampu lagi menahan berat tubuhku.

"A-apa itu ... A-anakku?" Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari bibir.

Dug! Dug!

Sebuah suara muncul tiba-tiba dari dapur. Sebenarnya aku malas mengeceknya. Namun rasa penasaran membuat tubuhku bangkit. Mencoba berpikir positif saja. Siapa tahu itu hanya tikus, atau kucing.

Langkahku terhenti di depan dapur.

"Astaghfirullah ... Gimana bisa?!" gumamku terkejut.

Kedua manik mataku menatap genangan darah tepat di tempat aku keguguran kemarin. Kalau mas Raihan melihatnya, bisa mati kutu aku jika ditanyai ini itu.

Segera kuambil kain lap baru dari dalam lemari dapur. Kain lap yang lama sudah kubuang sebab digunakan untuk membersihkan darahku kemarin. Dilanjutkan mengepelnya dengan pembersih lantai, agar bau amisnya tersamarkan.

Perasaanku saja atau darah ini baunya cenderung lebih busuk dari yang kemari.

"Mama."

Deg.

Suara itu lagi. Seperti suara anak perempuan.

"S-siapa?" tanyaku memberanikan diri.

"Kenapa Mama gak sayang sama aku?"

"Kamu siapa? Aku bukan mama kamu! Pergi!" teriakku frustasi, seraya menutup kedua telinga berharap suara itu menghilang.

"Mama."

"Pergi!"

"Jangan bunuh aku, Ma."

Dug!

Tiba-tiba sesosok bayi kecil berlumur darah keluar dari dalam kamar mandi. Merangkak keluar secara perlahan dengan kelapa menunduk.

Reflek aku memundurkan badan.

Dugh!

Suara punggungku yang sudah menabrak dinding. Mataku terus tertuju lurus pada makhluk entah apa namanya itu.

"S-siapa kamu? Tolong jangan ganggu. Aku gak punya salah sama kamu," racauku.

Nyaliku sudah ciut. Penampakannya sungguh mengerikan. Apalagi ketika makhluk itu mendongak. Bola mata hilang. Hanya menyisakan rongga mata yang berlubang dengan darah mengucur dari dalamnya.

"Aku anakmu, Ma."

Tak menyangka kata itu yang keluar dari bibir pucatnya yang mungil.

"G-gak mungkin."

"Kenapa Mama bunuh aku? Mama membenciku?"

Makhluk yang mengaku anakku itu terus merangkak mendekat. Meninggalkan jejak darah pada jalan yang dilaluinya. Bau anyir nan busuk dari tubuhnya mulai tercium pada indera pernafasan. Hingga membuatku hampir muntah.

"Pergi! Tolong jangan ganggu aku. Bukan aku yang membunuhmu. Hiks ..."

Aku mulai terisak. Mengingat betapa teganya diriku tak memperdulikan janinku yang sudah terkubur di samping rumah. Bahkan aku lupa untuk mendoakannya. Ibu macam apa aku ini?

Maafkan Mama, Nak ....

Brugh!

Terpopuler

Comments

Author yang kece dong

Author yang kece dong

Ngeri bayi bajang a kak?

2022-07-03

2

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!