14. Mulai Terbiasa dengan Kehadiran Mereka

Sudah dua malam aku tidur sendirian. Maklum, pekerjaan mas Raihan tak bisa ditinggal begitu saja. Tak jarang pula beberapa gangguan sering aku abaikan.

Bagaimana tidak?

Suasana hatiku benar-benar kacau. Moodku hancur. Suami yang bisanya kuajak untuk berbagi keluh kesah pun tak kurasa kehadirannya.

Malah makhluk astral yang selalu saja menganggu me time-ku. Seperti saat ini. Sedang asyik-asyiknya menonton siaran televisi, bayangan mbak-mbak berpakaian serba putih dengan punggung berlubang yang sudah menghitam, melintas di depan mata dengan tidak sopannya.

Bayangan samar itu semakin lama semakin jelas. Jujur aku terkejut. Namun dengan mereka yang sudah sering menampakkan wujudnya padaku, lama-lama membuatku terbiasa.

"Hey, minggir. Lagi seru-serunya nonton sinetron juga!" hardikku padanya.

Serta-merta matanya yang dalam dan menghitam itu tertuju lurus ke arahku.

Deg.

Astaghfirullah ... Seram juga dia. Harusnya tadi pura-pura tak melihatnya saja. Duh, bodohnya aku.

Hantu donat itu—karena dia memiliki bolong di tengah-tengah perutnya hingga ke punggung—memiringkan kepalanya ke kiri, dengan tetap menatap lurus, sejurus pada netraku yang menatapnya nyalang.

Sedetik kemudian, tiba-tiba saja dia sudah terbang menuju ke arahku. Dengan sigap kutarik selimut untuk menutupi seluruh kepala, dengan merapalkan beberapa doa dan ayat yang kubisa.

Sunyi. Hanya terdengar suara dari televisi yang sedang kutonton. Merasa sudah aman, kubuka selimut sebatas leher.

"Kyaaaa!" teriakku lantang.

Sialan! Ternyata makhluk donat itu berada tepat di depan wajahku. Sambil memiringkan kepalanya, dia menunjukkan giginya yang menghitam di beberapa tempat. Bau tubuhnya yang busuk menerobos masuk menuju hidung hingga ke dalam ulu hati.

Bibirku terus menggumamkan beberapa ayat Al-Quran. Perlahan wujudnya yang buruk itu menjadi samar, dan kemudian menghilang.

Syukur, Alhamdulillah ... Jujurly, aku sudah tak tahan dengan baunya yang lebih busuk dari tumpukan sampah di rumah mertua.

Aku yakin, dia tak pernah mandi selama beberapa tahun terakhir. Apakah ketika dia mati tidak ada yang memandikannya?

Masa bodoh. Bukan itu fokusku sekarang.

Yang kupikirkan, bagaimana aku bisa terlepas dari mata menyusahkan ini? Aku ingin hidupku kembali normal, tanpa ada gangguan dari makhluk yang sudah berbeda alam itu.

Tok Tok

"Astaghfirullah!" Tubuhku tersentak mendengar ketukan pintu yang tiba-tiba.

"S-siapa?" tanyaku takut-takut.

"Ini Al, Ma. Mama kenapa teriak-teriak?"

Bodoh. Tentu saja itu Althaf. Hanya ada kami berdua di rumah.

Terdiam sejenak untuk mencerna situasi ambigu ini. Dia benar Althaf atau makhluk lain? Meski bimbang, kakiku tetap melangkah mendekati pintu.

Tanganku kini sudah memegang handel. Namun aku hanya berhenti di sana cukup lama. Beberapa saat aku berpikir, takut keputusan yang kuambil hanya akan merugikan kesehatan jantung saja.

"Ma? Kok, Al gak dibukain pintu? Apa Al buka sendiri aja?" Suara itu kembali terdengar. Sangat mirip dengan suara Althaf.

Jantungku kembali terpacu. Keringat dingin sudah keluar dari pori-pori tubuhku.

"I-iya, Mama buka."

Ceklek.

Refleks aku memundurkan badan saat orang di luar kamar lebih dulu membuka pintunya.

"A-Al?" lirihku. Manik mataku yang menghujam ke arahnya sudah bergerak gelisah.

"Mama kenapa? Kok, pucat gitu. Kayak habis liat hantu," ungkap Al, menunjukkan tatapan ganjil.

"Kamu hantunya," balasku lirih.

"Mama bilang apa barusan? Mama sehat 'kan?" Al masuk, mendekatiku yang sudah tremor akut di seluruh badan.

"A-Al, stop! Jangan mendekat!" cegahku, karena Al terus saja mendekat.

"Mama ini kenapa?"

Ya, Tuhan ... Makhluk di depanku ini benar Al, anakku, atau hanya makhluk halus yang menyamar?

Tak kuat dengan berbagai pikiran yang berkecamuk, pandanganku mulai memburam. Lalu perlahan semuanya gelap, dan aku sudah tidak ingat apa-apa lagi.

Teriakan Althaf yang memanggil-manggilku sudah tak kuhiraukan. Kepala ini rasanya mau pecah. Aku tak sanggup.

Brugh.

...----------------...

Hari berikutnya aku jatuh sakit. Dengan pengertiannya, Mas Raihan malah mengesampingkan pekerjaan demi merawatku. Aku bersyukur memiliki suami siaga seperti dirinya. Rasa bersalahku semakin menjadi tatkala tersadar, aku tak sanggup mempertahankan harga diriku untuknya.

Ini sudah hari ketiga aku menghabiskan waktu hanya berbaring di atas kasur. Tidak ada yang kulakukan selain tidur, mengisi perut, dan ke kamar mandi. Semua pekerjaan rumah mas Raihan yang mengerjakan. Althaf pun sudah pandai mengurus diri juga keperluannya sendiri.

Namun perasaan tidak enak terus saja kurasakan. Tak tahu kenapa aku terus teringat tetangga sebelahku, Yati. Mungkin hanya perasaanku.

Dia yang selalu rajin menjengukku selama tiga hari ini. Meski tidak pernah membawa buah tangan atau sejenisnya, tapi kehadirannya sudah membuatku senang. Aku merasa dia sangat care padaku. Setelah sembuh, aku harus berterima kasih padanya.

"Mas?" panggilku pada mas Raihan saat menyuapiku makan siang.

"Iya, Dek?"

"Tadi Yati pulang jam berapa? Aku ketiduran tadi. Jadi merasa tidak enak saja, aku malah tidur pas dia jenguk."

Mas Raihan menautkan alisnya. Namun tak ada sepatah kata pun terucap dari bibir. Hal itu membuatku sedikit janggal.

"Sudahlah. Jangan terlalu dipikirkan. Yang terpenting kamu sehat dulu. Rileks. Fokus buat sembuh. Ingat kata dokter. Kamu gak boleh banyak pikiran." Kata-kata mas Raihan mampu membuatku mengukir senyum simpul, meski sebenarnya hatiku tidak setenang itu.

Ada apa gerangan dengan perasaanku ini?

Terpopuler

Comments

Ning Hari Mulyana

Ning Hari Mulyana

Lanjutken thor...

2022-10-06

0

Author yang kece dong

Author yang kece dong

Lanjut kak 🤗

2022-06-29

1

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!