17. Ngidam

"Mas, kok tiba-tiba pengen makan mi ayam ceker, ya?" celetukku tiba-tiba, ketika kami sedang duduk santai di ruang tengah. Saat ini kami sedang menonton siaran televisi bersama Althaf juga.

Serta merta mas Raihan langsung menunjukkan sorot heran ke arahku.

"Kamu akhir-akhir ini, kok, aneh? Seperti orang ngidam aja. Dikit-dikit pengen ini, pengen itu," sahut mas Raihan, sukses membuatku mematung di tempat.

Meski kutahu dia hanya mencibir, karena setelahnya dia mengalihkan pandangannya untuk menonton televisi lagi. Tapi jantung ini rasanya seperti berhenti berdetak untuk beberapa detik.

"A-anu .... "

"Al juga pengen, Pa." Suara Althaf mengalihkan atensi kami.

"Nah! Al aja pengen, Pa. Masa Papa gak pengen, sih? Malam-malam gini enak tau, Pa, makan mi ayam. Beliin, ya? Please?" Mendapat dukungan dari Althaf, aku bagai mendapat angin segar.

Jika saja mas Raihan enggan membelikan, aku sudah siap untuk menahan keinginanku tadi. Biarlah bayi dalam kandunganku nanti ileran, aku tak peduli juga.

"Iya, deh, iya. Mas belikan." Setengah malas mas Raihan beranjak dari sofa.

Diraihnya kunci yang berada di atas meja nakas ruang tamu. Dan tak lupa ia mengucap salam sebelum pergi, "Mas pergi dulu. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam .... " sahut kami berdua, tanpa mengalihkan netra dari layar TV.

"Hati-hati di jalan, Mas!" imbuhku setengah berteriak.

Beberapa menit kemudian kudengar seseorang mengetuk pintu rumah. Apa mas Raihan melupakan sesuatu? Jangan-jangan dia lupa membawa dompet? Duh, cerobohnya.

Mana aku sudah tidak sabar ingin segera menikmati mi ayam ceker lagi. Nah, mengingat nama serta wujudnya yang menggiurkan saja tak sengaja aku malah ngiler.

Setelah mengelap air liur di bibir, segera kubukakan pintu depan guna mengetahui siapa gerangan di luar sana.

Ceklek.

Deg.

Kelopak mataku seketika melebar. Manik kami bertemu untuk beberapa saat, hingga suara beratnya menyadarkanku pada perbuatan bejatnya kala itu.

"Suamimu ada?" tanyanya, santai.

Aku masih diam. Mencoba mengatur emosi, juga detak jantung yang mulai berulah.

"Hey, kok melamun." Bryan mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajahku.

"O-oh, mas Raihan sedang keluar. Silahkan kembali nanti kalau ada keperluan," balasku, sedikit takut-takut.

Kepingan kejadian kala itu membuat traumaku kembali muncul. Dan orang yang paling kuhindari itu tiba-tiba mencengkeram kedua bahuku yang bergetar, lalu mendorong punggungku masuk ke arah tembok ruang tamu.

Brugh.

Sakit di punggung tak kurasa saat bibirnya yang hangat sudah menempel di bibirku dan membuat beberapa gerakan kecil dengan lidahnya.

Tubuhku serasa dipatri di tempat. Kaku, tak ada respon, juga balasan atas aksinya yang kurang ajar.

Tiba-tiba air asin berlinang melewati pipi, lalu turun di bibir, meski aku masih membuka lebar kedua mataku. Seolah menjadi tembok penghalang di antara bibir kami, Bryan langsung melepas pagutan bibirnya, lalu menyeka air mataku yang semakin deras tanpa isakan.

"Assalamu'alai—" salam dari mas Raihan terjeda. Hal itu sukses membuatku dan Bryan tersentak kaget. Bahkan tidak ada dari kami yang mendengar suara kendaraannya saat memasuki pekarangan tadi.

"Apa yang kalian lakukan?" Suara mas Raihan terdengar bergetar. Sepertinya dia tak kalah terkejutnya dari kami.

Lututku serasa lemas bagai tak bertulang, hampir saja aku terjatuh jika Bryan tak menahan berat tubuhku. Dibimbingnya aku untuk duduk di atas sofa. Jangankan berdiri, berbicara saja aku sudah tak mampu. Semuanya terjadi begitu cepat.

Hingga kini pandanganku sudah memburam, semakin lama semuanya nampak semu, lalu gelap. Pun dengan pendengaranku yang tak dapat mendengar apapun lagi.

...----------------...

Tangan dingin yang menyentuh jemari membuatku berangsur pulih dari tidur panjang. Terlihat samar wajah Yati yang tersenyum ke arahku.

"Ya ... ti .... " lirihku dengan suara yang masih serak.

"Dek? Kamu udah sadar?"

Mengerjap-ngerjapkan mata beberapa kali untuk menangkap perwujudan sosok di depanku. Wajah Yati kini sudah berubah menjadi wajah teduh mas Raihan yang memenuhi pengelihatanku.

"M-mas .... "

"Alhamdulilah, kamu sudah sadar, Dek," ucap syukur mas Raihan bersamaan dengan mataku yang sudah terbuka sempurna.

"Yati dimana, Mas?"

"Sadar, Via. Yati udah gak ada. Kamu lupa?"

"Astaghfirullah ... Maaf, Mas. Tadi gak sengaja keinget aja," kilahku, agar mas Raihan tak terlalu khawatir dengan kondisiku. Aku yakin, Yati tadi ada sini.

Aku belum bisa bercerita padanya, jika kini mata batinku telah terbuka. Berdosanya aku. Banyak sekali fakta yang kusembunyikan dari suamiku sendiri. Ya, Allah ... Tolong ampunilah dosa-dosa hamba ....

Terpopuler

Comments

Author yang kece dong

Author yang kece dong

Lanjut othor 💪😍

2022-07-01

1

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!