4. Gangguan

Aku benar-benar tidak habis pikir dengan mas Raihan. Bisa-bisanya dia terpengaruh dengan bujukan pak Kades untuk tidak mengusik makam itu. Bukankah tanah ini sudah kita beli? Dan tanah itu otomatis sudah menjadi pekarangan rumah kita. Kenapa orang lain main ikut campur saja?

Terserah mau kita apakan tanah yang sudah kita beli. Dan makan itu tidak berhak menempati tanah kami. Meski aku sudah berdebat dengan mas Raihan. Dia tetap saja kekeuh untuk mempertahankan makam itu.

Dia pun tidak bisa memberikan alasan yang rasional untuk menguatkan tindakannya. Ayolah, kenapa suamiku juga termakan mitos bodoh tentang desa ini?

"Dek? Udah dong, jangan marah," bujuk mas Raihan memelukku dari belakang.

Kami saat ini sudah ada di atas ranjang dan bersiap untuk tidur. Aku memunggungi mas Raihan karena kesal dengan keputusannya yang tidak bisa diganggu gugat.

"Pokoknya Mas harus suruh orang yang berwenang untuk pindahin makam itu."

"Ayolah, Dek. Mas gak bisa. Itu udah larangan di desa ini, untuk tidak mengusik makam tersebut. Atau seluruh warga desa akan mendapat bencana. Termasuk kita."

Aku berbalik. Menatap wajah tampan suamiku dengan berang.

"Mas takut dengan mitos gak masuk akal itu?" tantangku.

"Dek, dengar. Kita harus menghormati kepercayaan dan aturan maupun larangan di manapun kita tinggal. Tidak boleh seenaknya jika kita tidak tahu asal usulnya. Dan jangan coba mencari tahu jika tidak ingin sesuatu yang buruk akan menimpa kita."

"Alah, Mas. Bilang aja takut," cibirku.

"Adek boleh deh minta apa aja. Asal jangan yang satu itu." Mas Raihan mengeluarkan jurus puppy eyes-nya.

Mana bisa aku menolak pesona suamiku jika sudah seperti ini. Wajah cutenya seperti candu bagiku.

"Beneran boleh minta apa aja?" Tapi aku tak boleh lengah begitu saja.

"Tentu. Asal .... " Mas Raihan menaikturunkan alisnya.

Terkekeh pelan saat paham apa yang dia mau. Aku pun terus mengamati pergerakannya saat dia turun dari ranjang, lalu mematikan saklar lampu. Kamar yang kami tempati pun seketika gelap. Menyisakan sedikit cahaya remang dari ventilasi pintu dan jendela.

Oh, sepertinya aku lupa mematikan lampu ruang tengah. Biarlah, saat ini aku tengah terlena dengan permainan mas Raihan yang sudah pro untuk memanjakanku. Hingga tubuh ini serasa terbang ke awang-awang. Melupakan sejenak permasalahan tentang rumah baru kami.

...----------------...

Malam ini aku bisa tertidur cukup lelap jika saja hasrat untuk ke kamar mandi yang begitu mendesak tak menggangguku. Dengan malas, aku bangkit dari ranjang menuju kamar mandi yang ada di sebelah dapur.

"Ah... Lega."

Saat hendak kembali ke kamar, ekor mataku menangkap bayangan yang sedang melihat ke luar jendela di ruang tengah.

Klik.

Aku menyentuh saklar lampu yang belum sempat kunyalakan tadi.

"Althaf?"

Bayangan itu terlihat jelas saat cahaya lampu memenuhi ruangan. Bukankah aku lupa mematikan lampu sebelum tidur tadi?

Ah, sudahlah. Mungkin Althaf yang sudah mematikannya. Anak rajin.

"Kok belum tidur? Lagi liatin apa?" tanyaku sambil mengusap rambut Althaf ke belakang.

Althaf hanya diam sambil memandang ke luar. Aku pun mengikuti arah pandangannya.

Terlihat dari tempat kami berdiri, lewat kaca jendela—yang entah sejak kapan tirainya tersibak—beberapa warga sedang melakukan aktivitasnya.

Ada yang menjemur pakaian. Ada pula yang mengobrol di halaman rumah atau hanya sekedar bertegur sapa. Di luar nampak ramai orang berlalu lalang, seolah hari sudah terang.

Aneh sekali. Jika siang mereka tak menampakkan batang hidungnya sama sekali. Saat hari masih gelap seperti ini mereka malah keluar rumah.

Aku menolehkan kepala untuk melihat jam dinding di ruangan sebelah.

Jam 3 pagi.

Hmm, masih wajar kali ya untuk ukuran orang desa, beraktivitas di pagi-pagi buta seperti ini.

"Al? Loh? Kok udah ilang aja?!"

Saat menoleh ke depan aku celingukan mencari Althaf yang entah sejak kapan pergi dari sisiku. Bahkan langkah kakinya tak terdengar sama sekali. Aku pun bergegas mengecek kamarnya.

Ceklek.

Melongokkan kepala ke dalam kamar untuk melihat apa Althaf ada di sana. Dan benar saja, dia sudah ada di atas ranjang dengan selimut yang sudah acak-acakan di kaki ranjang.

Kebiasaan, anak mama.

Aku pun masuk, berniat membenarkan selimutnya.

Sreekk ... Sreekkk ....

Eh? Apa itu?

Ada suara dari luar. Tepatnya dari arah jendela. Setelah menyelimuti tubuh Althaf, aku bergerak menuju asal suara. Siapa tahu itu kucing yang baru saja mendapat santapannya. Oh, awas saja jika kucing itu berani menginjakkan kaki ke dapur untuk mencuri lauk.

Entah kenapa tiba-tiba perasaanku jadi tidak enak. Udara di sini pun mulai membuatku merinding. Ayolah, mungkin aku belum terbiasa dengan udara di desa terpencil seperti ini.

Melangkahkan kaki dengan sedikit ragu. Semakin dekat dengan jendela jantungku terasa semakin bertalu-talu. Nafas mulai memburu. Meski tangan sudah sedikit gemetar, tapi aku tak akan gentar.

Suara aneh itu semakin terdengar menjauh. Mungkin kucing itu sudah pergi. Huftt ... Aku bernafas lega. Ku urungkan untuk membuka tirai, kemudian berbalik.

Dan ....

"Kyaaaa ... !"

Gubrak!

Terpopuler

Comments

Bintang Laut

Bintang Laut

Btw aku baru nyicil bab awal ya kak, udah aku tambah ke favorit
Mampir di novelku juga ya, judul Crazy Rich Daddy
Mari saling dukung😇😇

2022-08-04

2

Bintang Laut

Bintang Laut

Jam tiga pagi dan udah beraktivitas 😭😭 aku yang jam segitu baru tidur cuman bisa mengelus dada😭😭

2022-08-04

1

Bisikan_H@ti

Bisikan_H@ti

Merinding aku Thor, apa nggak di ruqyah aja tu rumah Thor, biar penghuni alias makhluk halus di sana pada ngacirrrr

2022-07-22

2

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!