2. Sendang Wangi

Belum pernah aku merasakan air sesegar ini. Biasanya air di tempat kami tinggal dulu cenderung hangat dan berbau karat.

Sungai ini pun berbau wangi. Seperti aroma berbagai macam bunga. Perasaanku saja, atau memang tubuhku terasa seperti melayang. Tubuh ini bagai kehilangan bobotnya. Yah, meski berat tubuhku tak seberat itu juga, sih.

Hampir saja aku tertidur karena suasana yang begitu tenang dan asri. Hingga teriakan yang sangat kukenal menggangu me time berhargaku.

"Mama ... !"

Ku lihat di atas sana Althaf sedang celingukan sambil memanggil-manggilku.

"Mama di sini, Nak!" Aku balas berteriak.

Namun, Althaf seperti tak mendengar. Padahal aku sudah mengeluarkan suara auman singaku. Terdengar suara Althaf yang terus memanggil membuatku risih juga.

Aku segera menyudahi pekerjaanku meski ada sedikit rasa tidak rela. Mengenakan pakaian yang kuletakkan di atas sebuah batu besar, lalu naik ke tempat anakku berada.

"Ada apa, Al?" tanyaku, sambil menepuk bahu Althaf dari belakang.

"Astaga!!" Althaf terlonjak.

"Mama?! Bikin kaget aja." Ia reflek memegangi dadanya sembari berbalik ke arahku.

"Kok kaget gitu? Gak lihat tadi Mama dari sana," sahutku, menunjuk ke arah sungai di bawah sana.

"Masa? Kok Al gak lihat, ya?"

Tampak anakku berpikir keras.

"Alah paling kamu gak lihat karena tertutup pohon. Yuk pulang."

Menggaet tangan Althaf yang masih berdiri mematung, lalu kami berjalan melewati jalan setapak untuk kembali. Namun ekspresi anehnya sedikit menggangguku.

"Kenapa, Al?"

"Eh, enggak, Ma. Tapi tadi Al yakin gak ada siapa-siapa di sungai. Al udah cek kok, bener-bener."

"Kamu mungkin kurang teliti, Al. Sudahlah. Sudah waktunya makan siang. Emang kamu gak laper?"

"Masa iya? Apa Al kurang teliti tadi? Mungkin efek laper juga. Hihi."

Althaf akhirnya mengangguk setuju. Kami pun menuju rumah semrawut itu. Semoga mas Raihan sudah selesai beberes. Biarin aku tidak ikut membantunya bersih-bersih dan menata rumah. Kalau kondisinya sekotor itu, jujur aku tidak sanggup.

Bibirku kembali melengkung saat melihat penampakan rumah itu dari kejauhan masih nampak sama seperti ketika aku datang tadi. Dengan langkah yang sedikit dipercepat, aku menghampirinya dan langsung masuk ke dalam rumah.

Althaf yang tangannya aku gandeng nampak terseok-seok mengikuti langkahku yang terlampau lebar.

"Mas?!"

"Salam dulu, kek, kalau masuk rumah," cibir mas Raihan yang sedang duduk santai di ruang tamu. Peluh bercucuran dari dahinya. Pasti baru selesai bersih-bersih. Kasihan juga sih.

"Assalamu'alaikum... !" seru Althaf dengan suara menggelegarnya yang membuat telingaku sedikit berdengung.

"Wa'alaikumussalam ... " jawab mas Raihan menahan senyum.

Aku menyapu setiap sudut rumah itu dengan mata nyalang. Hmm, lumayan juga. Tidak terlalu buruk. Meski dindingnya terbuat dari kayu, tapi ini terlihat rapi. Sungguh berbeda ketika aku melihat bangunan dari luar. Benar sekali istilah jangan lihat rumah dari luarnya. Hehe.

Hanya sedikit aura aneh yang aku rasakan saat memasukinya tadi. Tapi aku anggap itu hal biasa. Namanya juga kesan pertama.

"Bagaimana?" tanya mas Raihan dengan senyuman puas terukir di wajahnya yang tampan.

"Lumayan."

"Ha? Cuma lumayan? Mas yang bersih-bersih sampai kembang kempis lho ini."

"Hehe. Makan, yuk, Mas? Lauk yang tadi kita bawa dari rumah mana?"

"Ada di dapur."

Aku langsung saja mencari dimana letak dapurnya. Setelah berenang, cacing-cacing di perut ini tak bisa di ajak kompromi lagi.

"Kyaaaa!" pekikku saat baru saja sampai di dapur.

Dua langkah kaki langsung menghampiri ke arahku.

"Ada apa, Ma?"

"I-itu ... A-ada kepala ... " balasku yang sudah menangkup wajah dengan kedua tangan, sambil mengatur jantung yang hampir saja lompat dari posisinya.

"Kepala?" Althaf ikut nimbrung.

"Mama ni kalo bercanda yang bagus dikit, kek. Pastilah ada kepala. Orang lauk kita aja ikan tongkol. Maksud Mama kepala ikan 'kan?" Tuduhan suami yang mengira aku bercanda membuatku geram.

"Kalo gak percaya, cek sendiri aja, Pa. Orang serius dibilang bercanda."

"Terus dimana kepalanya? Di kotak makan?" Suamiku terus saja mengolok-olok.

"Di dekat tas itu lho. Masa gak lihat, sih? Orang jelas gitu. Hii ... Mama gak berani lihat."

Suami dan anakku masuk ke dapur lalu mengecek setiap sudutnya. Aku yang masih syok berdiri di ambang pintu dengan membelakangi mereka.

"Mana, Ma? Mama salah lihat kali."

Suara mas Raihan membuatku berbalik. Aneh juga, tadi letaknya ada di dekat barang bawaan. Kepala anak kecil dengan mata melotot menatap kearahku. Membayangkannya saja aku tak sanggup.

"Loh? Mana?" tanyaku heran, saat sudah berbalik dan melihat ke tempat kepala itu berada.

"Mama halu kali. Atau kurang teliti." Althaf menirukan ucapanku padanya tadi.

Aku mencebik. Lalu segera menyiapkan makanan dibantu dengan mas Raihan. Cobaan apa lagi ini, Tuhan? Apa ini bentuk perkenalan penghuni lain di rumah ini?

Terpopuler

Comments

Iwan Gunawan

Iwan Gunawan

seruuuu author...lanjut

2022-07-18

2

Ika Oktafiana

Ika Oktafiana

teratur banget alurnya😍.

2022-06-28

2

Ika Oktafiana

Ika Oktafiana

merinding......

2022-06-28

1

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!