Part *7

Tora kini malah tertawa terbahak-bahak sambil terus memperhatikan wajah takut Nining.

"Perempuan kampungan, dengar baik-baik ya. Tidak perlu setakut itu padaku. Karena aku tidak akan pernah sudi menyentuhmu. Aku tidak tertarik dengan ******. Tenang saja," ucap Tora sambil beranjak menjauh kembali ke atas ranjang.

Tora kembali berbaring di atas ranjangnya. Sementara Nining, dia diam sambil menahan rasa sakit yang dia rasakan. Kata-kata kasar itu masih terasa menyakitkan walau sudah seringkali dia dengar.

"Hei! Tunggu apa lagi? Cepat ke sini! Aku ingin kamu segera memijat kaki ku."

"Iy--iya. Baiklah."

Sebisa mungkin Nining bersikap biasa saja. Dia memilih duduk di samping ranjang, lalu melakukan apa yang Tora perintahkan padanya.

"Pijat yang keras. Jangan lemah seperti orang yang tidak makan selama beberapa hari."

Mendengar kata-kata itu, Nining langsung mengerahkan semua tenaga yang dia miliki untuk memijat kaki dan betis Tora. Seluruh tenaga yang muncul bersama emosi yang perempuan miliki. Bayangkan saja bagaimana kuatnya. Sangking kuat, Tora sampai meringis kesakitan.

"Agh ... kamu sudah gila ya? Sakit tahu gak?"

"Sakit? Katanya minta aku pijit yang keras. Bilang aku lemah kayak orang gak makan selama beberapa hari. Lalu ... kenapa ngeluh sakit?"

Tora mendengus kesal. Dia menatap Nining dengan tatapan tajam.

"Pijat yang sedang-sedang saja. Jangan bikin aku kehilangan kesabaran. Aku ingin istirahat dengan kamu yang terus memijat kakiku."

"Kamu ingin istirahat, lalu aku?"

"Setelah aku tidur, kamu bisa pergi dari kamarku secepatnya. Jangan banyak tanya karena aku sudah bosan mendengar suaramu bicara sejak tadi."

"Baiklah." Nining terus melakukan tugasnya dengan setengah hati. Rasanya, ingin sekali dia pukul wajah pemuda yang ada di hadapannya sekarang. Tapi sayangnya, tidak bisa.

Baru juga Tora menutup mata sebentar, tapi dia malah membuka lagi matanya. Hal itu membuat Nining semakin kesal saja.

"Oh ya, sebenarnya ada yang ingin aku ceritakan padamu, Tami. Semoga saja kamu tidak merasa sakit hati."

"Aku tidak akan sakit hati. Karena aku sudah puas merasa sakit hati selama tinggal bersama kamu." Nining berucap dengan nada yang sangat pelan. Tapi, Tora bisa mendengar dengan sangat baik apa yang Nining katakan.

"Apa yang kamu katakan barusan?"

"Eh, tidak ada. Aku tidak ada mengatakan apa-apa. Lanjutkan apa yang ingin kamu katakan."

Tora tidak langsung menjawab. Dia memberikan tatapan tidak suka saja pada Nining selama beberapa saat.

"Kau tahu, kekasih yang sangat kamu cintai itu sekarang sudah tidak tinggal di tanah air lagi. Dia sudah pindah keluar negeri bersama semua keluarga besarnya."

Sontak saja, kabar itu membuat Nining langsung menghentikan pijatannya pada kaki Tora. Dia tertegun selama beberapa detik. Hal itu membuat Tora merasa bahagia.

"Kasihan sekali kamu perempuan. Orang yang kamu bela habis-habisan dengan rela mengorbankan diri sendiri itu ternyata tidak peduli dengan kamu sama sekali. Benar-benar malang."

"Yang lebih kasihan itu sebenarnya kamu, Tora. Tidak punya cinta dalam hidup. Hanya suka mengambil barang bekas milik orang lain. Siapa yang lebih kasihan lagi coba? Aku, atau kamu?"

"Diam! Aku tidak gila seperti kamu, Tami. Demi melihat laki-laki bejat seperti Dicky bahagia, kamu rela mengorbankan hidupmu sendiri. Andai saja kamu sedikit lebih waras malam itu, kita pasti sudah sama-sama bahagia sekarang."

"Kamu salah, Tora. Bahagia itu sebenarnya bukan dengan memiliki apa yang seharusnya tidak kita miliki. Tapi, bahagia itu dengan melihat orang yang kita cintai bahagia. Itulah kenyataan sesungguhnya tentang cinta."

"Itu menurut pikiranmu yang tidak waras ini, iyakan? Tapi tidak dengan aku yang waras. Jika mencintai, ya harus memiliki. Itu baru pikiran yang normal."

"Mm ... susah bicara dengan orang seperti kamu, Tora. Ternyata apa yang perempuan itu katakan ada benarnya. Kamu tidak akan bisa diajak bicara baik-baik. Kamu tidak akan bisa mengerti karena kamu sudah tidak punya rasa, alias, kamu mati rasa."

"Tami! Sialan. Kamu benar-benar mengikis kesabaran ku yang memang hanya ada sedikit. Pergi kamu dari kamarku sekarang juga! Aku sangat muak melihat wajahmu sekarang."

____

Sejak kejadian siang itu, Tora tidak lagi bicara dengan Nining. Apapun yang dia ingin Nining lakukan, dia minta bi Siah yang menyampaikan setiap pesannya.

Seperti sengaja menjaga jarak, Tora tidak pernah berhadapan dengan Nining lagi. Entah apa yang ada dalam pikiran Tora sebenarnya. Namun, semua perubahan itu sangat bagus menurut Nining. Tidak lagi bicara, maka tidak ada lagi kata sakit hati karena kata-kata pedas yang Tora ucapkan.

Tapi, dari satu sisi hati Nining, dia tiba-tiba merasa kesepian ketika perubahan itu terjadi. Dia merasa, hari-harinya tidak lagi berwarna. Hampa bagai sedang berada di tengah padang pasir yang gersang.

Waktu ternyata berjalan begitu cepat. Usia pernikahan enam bulan sudah mereka lewati begitu saja. Bagai air lalu di atas daun keladi. Tidak meninggalkan bekas sedikitpun.

Enam bulan berlalu, hubungan mereka masih sama saja. Jarak antara keduanya bak sungai yang memisah kedua sisi tebing. Terasa begitu tidak mungkin untuk menyatu.

Sore ini, saat Nining sedang menikmati buliran hujan yang jatuh di teras rumah. Tora tiba-tiba melihat pemandangan yang cukup langka.

Tora melihat Nining yang sedang tersenyum sambil melihat buliran hujan yang jatuh dari langit. Kedua tangan perempuan itu menampung air yang sedang jatuh dari atas.

Tora terdiam melihat pemandangan yang cukup langka baginya.

Sebenarnya, ini bukan yang pertama kali dia memperhatikan Nining ketika perempuan itu sendirian. Ini sudah yang kesekian kalinya. Dia memperhatikan setiap tingkah laku perempuan itu dengan seksama.

'Manis. Sangat manis. Tapi kenapa dia tidak pernah senyum seperti itu saat berhadapan dengan aku? Apakah aku tidak pantas mendapat senyum itu?'

Sebuah pertanyaan tiba-tiba muncul dalam hati Tora. Entah apa sebabnya, dia merasa sedikit perih saat pertanyaan itu muncul. Dengan cepat, dia menggelengkan kepala untuk menyadarkan diri.

Sementara itu, Nining yang sedang menikmati buliran hujan, tiba-tiba menghentikan kegiatannya.

"Ya Ampun. Bajuku jadi ikutan basah. Oh tidak. Aku tidak punya baju kering lagi sekarang. Uh ... gimana ini?" Nining bergumam sendirian sambil terus mengibas-ngibas bajunya yang sudah basah itu dengan tangan.

Mendengar ucapan itu, Tora langsung beranjak menuju kamar bi Siah. Entah dapat perintah dari mana, dia tiba-tiba begitu perhatian dengan Nining. Dia meminta bi Siah meminjamkan baju yang waktu itu Nining pakai.

"Baik, den Tora."

Meski merasa tak percaya dengan perubahan sikap Tora akhir-akhir, bi Siah tetap melakukan apa yang majikannya perintahkan. Tanpa bertanya, dia langsung menyetujui apa yang Tora minta.

Ini memang bukan yang pertama kali Tora menaruh perhatian secara diam-diam buat Nining. Mulai dari meminta bi Siah membantu Nining melakukan pekerjaan rumah, hingga membantu Nining berbelanja kebutuhan harian.

Bukan hanya itu saja, Tora juga meminta bi Siah memindahkan Nining ke kamar tamu dengan dalih ingin merenovasi kamar pembantu yang sedang Nining tinggali kemarin. Tapi sayangnya, perhatian dalam diam itu sama sekali tidak pernah Nining sadari.

Terpopuler

Comments

Nurliana Saragih

Nurliana Saragih

Kalo Nining senyum sama kamu kayak gitu,itu edan namanya?!
Emang ada orang senyum sama orang yang di bencinya?!
Dasar laki2 egois kamu Tora!!!

2023-03-11

0

Erna Fadhilah

Erna Fadhilah

sedikit sedikit tora mulai ada rasa sama nining,,,, nanti kalau sudah bucin ke nining hempaskan aja ning😁😁😁😁😁

2022-12-20

0

мєσωzα

мєσωzα

kamu berharap dia senyum tulus sama kamu, tapi perlakuan kamu kaya setan.. 🙄

2022-10-31

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!