Ruangan pantry tampak masih sepi. Ya! Sangat sepi, hingga suara sendok yang mengenai sisi-sisi cangkir terdengar jelas ketika Dara mengaduk kopi instannya. Ia hadir lebih pagi seperti biasa. Di dalam bangunan hotel yang sudah 85% rampung, dan akan segera diresmikan beberapa bulan lagi, Dara menjadi pencatat rekor setiap hari karena datang paling awal.
Tak seperti biasanya, kali ini ia terlihat berbalut busana serba tertutup. Sweater abu-abu dengan mode kancing di depan, membuatnya tampak anggun. Wajahnya sedikit lebih pucat, dan matanya sedikit sendu.
Ia sendiri sadar bahwa dirinya sedang tidak begitu sehat, tapi si keras kepala tetap saja berusaha memecahkan rekor lagi.
Seiring menyeruput kopinya yang masih hangat, Dara bisa merasakan kepalanya yang sedikit terasa pusing. Kakinya juga menjadi sedikit lemah seketika, dan pandangannya mulai tidak jelas. Ia mengambil langkah aman, menyimpan cangkirnya dan bergegas menuju ruangan kerjanya yang berada tepat di depan pantry.
Seketika itu, ujung jemari tangannya terasa begitu dingin, dan penglihatannya menjadi kian gelap. Ia mulai berhenti melawan tubuhnya, dan duduk sambil merebahkan kepala di atas meja kerjanya. Ia merasa begitu lemah kali ini. Bisa jadi karena sudah beberapa hari ia kesulitan tidur di malam hari.
Kakinya terasa melayang, namun sebenarnya sedang menapak di lantai, dan ia bisa merasakan seseorang menyentuh kepalanya.
“Dara? Kamu kenapa? Sakit?” itu Bima yang datang menghampirinya. Namun tak disangka, tubuhnya terlalu hebat mengalahkan keinginan Dara untuk bekerja. Ia terjatuh begitu saja, terkulai lemah dengan pandangan yang masih buram.
Bima tak pernah merasakan kepanikan seperti ini. Dia segera meletakan tasnya di meja dan mengangkat tubuh Dara yang terasa begitu dingin. Pintu ruangan kerja terbuka, dan ternyata orang-orang di tim Dara baru saja serempak datang. Bima tak berpanjang kata, dan mereka pun tahu apa yang harus dilakukan.
...****************...
“Kalau sakit di rumah. Mama sudah bilang, di rumah. Jangan pergi kerja. Kasihan kan orang kantor jadi repot,” meski belum sepenuhnya sadar, Dara tahu itu suara ibunya. Suara khas serak yang sering mengomeli dirinya karena bekerja hingga larut malam.
Ia berusaha membuka matanya, terlihat perlengkapan ruangan itu serba putih, dan sebuah selang infus yang telah terpasang di tangan kanannya. Tak seperti tadi pagi, kali ini badannya terasa sangat panas.
Di tengah ketidaksadarannya tadi, Dara tahu siapa saja yang membawanya keluar dari kantor. Suara yang paling dekat dengannya adalah Bima. Lelaki itu mungkin saja telah menggendongnya kesana kemari hingga terbaring di rumah sakit ini, pikirnya.
Dara meraih ponselnya sambil berusaha tidak terjatuh dari tempat tidur rumah sakit yang tinggi.
Kriiet! Bunyi pintu tua itu terbuka.
“Sudah bangun? Bu, maaf saya tadi pergi sebentar,” Bima terlihat senang mengetahui Dara sudah bangun dari tidurnya. Ia terlihat gagah seperti biasanya, dan parfum khas yang selalu ia pakai langsung menyinggahi penciuman Dara.
Bima menghampiri sebuah nakas kecil di samping kepala Dara dan meletakan beberapa kantong belanjaannya di situ. Dara tak bereaksi melihat atasannya itu sibuk kesana kemari seakan-akan mengurus putrinya yang sakit.
“Makasih pak,” hanya itu yang paling tepat diucapkan oleh Dara saat ini. Ia memandangi bosnya itu dengan wajah yang masih pucat pasi.
Bima menghampiri dan menepuk punggung tangan Dara dengan perlahan, “Jangan pikirin kerja. Sehat dulu ya, nanti masuk kerja lagi. Kali ini jangan keras kepala. Dengerin saja apa kata mama.”
Sepertinya sejak dirinya tidur, Bima sudah berbincang banyak dengan ibu Dara. Mata wanita tua itu tak bisa berbohong bahwa ia menyukai lelaki muda ini berada di samping putrinya.
“I .. iya pak.” Dara sedikit memalingkan pandangannya agar tidak melihat mata Bima yang sedari tadi tertuju kepadanya.
“Bu, saya pulang dulu, ya. Dar, istirahat ya, aku pulang dulu” Bima berdiri dan berpamitan singkat kepada ibu dan anak itu.
Aku? Ia biasa menyebut dirinya ‘saya’ ketika berbicara dengan pegawai di tempat kerja. Bima terlihat jelas sedang menunjukkan ketertarikan dan perhatiannya kepada Dara.
Ia meninggalkan kamar VIP itu, dan tersenyum begitu lebar.
Dara merasakan sesuatu yang lain. Lelaki itu jelas sekali terlalu detil memerhatikannya. Tentu saja ia adalah lelaki ideal yang Dara idam-idamkan selama ini. Gagah, tampan, karier yang bagus, dan begitu perhatian; sudah pasti ibunya akan dengan mudah memberikan lampu hijau.
Tapi ... Dara bukan sosok yang berani mengambil risiko berkencan dengan sesama rekan kerja, meskipun Bima memiliki jabatan tertinggi di Savana.
“Itu baik orangnya, Nak. Mama suka kamu bergaul dengan yang baik seperti itu. Sopan, dan halus bicara ke orang tua,” sesuai perkiraan, ibunya langsung menanggapi kehadiran Bima dengan positif.
Dara terlihat sedikit kikuk. Ia menarik selimut menutupi badannya, “Itu bos, mah. Enggak mungkin sering-sering berteman dengan Dara,”
Ya Tuhan ... Dara memang sangat ulung menutupi rasa sukanya. Ia jelas-jelas tertarik dengan atasannya itu.
Ponselnya bergetar berkali-kali. Dara segera mengangkat panggilan itu.
“Ingat tidur. Jangan angkat telepon lagi, Dar. See you soon!” lagi-lagi Bima kembali mengingatkannya.
Untuk beberapa hari kedepan, ia tak akan bisa bertemu Bima. Thypus bukan penyakit yang mudah untuk disembuhkan dalam semalam. Kali ini ia harus sedikit bersabar agar bisa pulih total dan bertemu lagi dengan rekan-rekan kerjanya, dan tentunya Bima.
Dengan beberapa kali pergi makan siang dengan Bima, Dara bisa menangkap kesimpulan dengan cepat bahwa lelaki itu bisa ia jadikan seseorang yang disukai. Ditambah lagi dengan aksinya menyelamatkan Dara ketika tumbang di kantor, ia makin melekat saja dalam pikiran.
...****************...
Bima memang seorang pria yang tidak bisa mengendalikan perasaannya. Meskipun sedang berada di lingkungan kerja, ia terus saja memperlakukan Dara dengan spesial. Beruntungnya, tidak ada satu pun wanita di Savana yang terlihat keberatan dengan hal itu, karena jika dipikir-pikir Bima bisa saja menjadi idola setiap karyawati di sana.
Ia menjadi lebih sering datang awal di kantor untuk berpapasan dengan Dara ketika kantor belum begitu ramai. Tentu saja Dara melakukan hal yang sama, dan tak berusaha membatasi Bima untuk bertemu di sela waktu membuat kopi di pagi hari.
Dara takkan berusaha munafik kepada diri sendiri. Seandainya Bima mengajaknya untuk sebuah makan malam berdua, ia pasti akan menjawab ‘ya’ dengan mudahnya. Sejauh ini lelaki itu terlihat sangat santun meski rasa sukanya terlihat begitu mencolok di mata Dara.
Siang itu begitu panas, dan beruntung sekali Dara memiliki kantor dengan pendingin ruangan yang sangat baik. Dara dan timnya sedang berusaha membereskan beberapa hal untuk merampungkan pekerjaan mereka sebelum hotel di resmikan. Dara bekerja lembur sudah empat hari berturut-turut, begitu juga dengan timnya.
Kring! Kring! Telepon di mejanya berbunyi.
Ia bisa mendengar Bima berbicara di telepon, dan menyuruhnya pergi ke kantor GM.
‘Apalagi kali ini?’ pikirnya dalam hati.
Ia menarik turun roknya sedikit dan merapikan rambutnya dengan jari sebelum berjalan menuju kantor Bima. Ia bisa melihat Bima telah menunggunya di sana. Dengan hati-hati ia membuka pintu kaca itu lalu menutupnya kembali dan duduk kursi di depan Bima.
“Mmm... Ini bukan soal pekerjaan. Boleh kita keluar sebentar malam? Saya yang jemput, supaya minta izin ke mama kamu,” Bima berbicara dengan suara pelan, tak seperti biasanya. Tentu saja. Ia berusaha agar pembicaraannya tidak didengar oleh sekretarisnya yang duduk tepat di luar pintu ruangannya.
“Ke mana, Pak?” Dara berusaha tetap tenang menjawab dan menyembunyikan kegirangannya.
“Cari udara segar, mungkin dinner? Berdua? Ini enggak memaksa, Dar. Say-“
“Jam 7. Saya tunggu jam 7 ya, pak” Dara memotong Bima yang mulai berusaha menjelaskan panjang lebar.
Bima tersenyum kepada gadis itu. Ia tentunya sangat bahagia karena setelah berbulan-bulan, ia berani mengajak Dara keluar berdua di malam hari.
“Tolong nanti panggil saya, Bima saja. Mmmm aku, bukan saya,” Bima berusaha membuat Dara agar lebih santai saat berbicara dengannya. Dengan tertawa kecil, Dara menanggapi ujaran Bima tadi.
Hari itu berlalu begitu saja. Biasanya jam berada di tempat kerja seakan begitu panjang. Namun kali ini, waktu berputar begitu cepat hingga Bima menjemput Dara di rumahnya.
Dengan kaos polos putih, dan celana jeans panjang berwarna biru gelap, ia sudah menunggu Dara beberapa menit di depan rumah Dara. Rumah itu tampak begitu rapi terurus dan dipenuhi dengan pot bunga dengan berbagai jenis. Rima, ibu dari Dara memang sangat gemar bertanam. Ia seorang ibu tunggal yang ditinggal oleh suami entah kemana. Sudah belasan tahun kini ia membesarkan putra-putrinya seorang diri. Ia bukan seorang wanita dengan pekerjaan dan gaji yang tetap. Ia dilarang bekerja ketika suaminya masih ada, dan di umur yang sudah tidak muda lagi saat lelaki itu pergi, Rima tidak dapat mendapatkan pekerjaan di mana pun. Akan tetapi kegigihannya berhasil membuatnya membesarkan Dara dan adik-adiknya, dan membeli sebuah rumah kecil sederhana cukup untuk berlindung dari panas matahari dan hujan.
Bima bisa melihat Dara yang sedang memakai sepatu di depan pintu rumahnya. Seperti biasa, gadis itu tampak begitu segar dan cantik. Meski di malam hari, ia terlihat sangat memesona. Dara dengan mudah menarik perhatian Bima, meski ia bukan tipikal perempuan pada umunya yang senang mengikuti tren fashion, atau memakai barang-barang mewah untuk menunjang penampilan.
Rima tampak mengantarkan Dara keluar dari pintu rumah. Wanita tua itu tersenyum dan melambaikan tangan kepada Bima yang telah menunggu di dalam mobil. Mereka harus cepat pergi karena jalan kompleks rumah itu tidak akan muat untuk dua mobil jika saling berpapasan.
Dara menyemprotkan parfumnya sebelum membuka pintu mobil. Bima tersenyum melihatnya masuk, dan membantu memakaikan sabuk pengaman. Mereka pun berlalu pergi, menuju tempat yang sudah ditentukan.
“Jadi ke mana, Bim?” Dara berusaha agar tidak terdengar seperti berbicara kepada atasannya. Bima tersenyum puas, karena kini Dara sudah bisa memanggilnya dengan lebih santai.
“Makan? Ya? Aku lapar. Hehe” ia mengusap perutnya sebentar memberi isyarat. Dara mengangguk.
Mereka menyusuri jalanan kota yang masih cukup ramai di malam itu. Hening sekali di dalam mobil. Baik Bima maupun Dara saling canggung memulai percakapan, namun sesekali saling berpandang dan tertawa kecil.
“Kamu pernah bicara sama Tomi?” pertanyaan Bima membuat Dara sedikit kaget. Ia memang akhir-akhir ini sering bertukar cerita dengan Tomi, dan beberapa kali pergi makan siang bersama. Ia sudah lumayan tahu banyak tentang Tomi, dan lebih santai gaya bicara mereka.
“Pak Tomi? Iya. Beberapa kali. Ada apa?” Dara berharap tidak ada hal aneh sebagai buntut dari kedekatannya di dunia maya dengan Tomi.
“Eng ... enggak. Hanya saja, aku mau kamu tahu dari sekarang. Tomi itu sudah menikah. Dia punya anak yang masih kecil-kecil. Mereka tinggal di kota lain,” kali ini apa yang dikatakan oleh Bima, membuat dada Dara seperti sedang melewati lomba lari. Ini topik yang menarik, dan sepertinya Bima tahu banyak tentang siapa Tomi.
Dara terdiam sejenak. Ia ingat betul, Tomi berkata bahwa dirinya adalah seorang duda yang memiliki anak.
“Istri? Dia bukan duda?” ia bertanya untuk memastikan.
Bima tersenyum kecil, “Tomi itu orangnya tertutup soal percintaan. Tapi selalu terbuka untuk wanita lain. Kamu paham maksudku, Dar? Dia menarik bukan, untuk laki-laki seumurannya? Kita enggak pernah tahu apa betul dia duda, atau masih status suami orang.”
Dara tak tahu bagaimana harus bereaksi. Tomi jelas-jelas mengatakan bahwa dirinya adalah seorang Duda. Ia mengabaikan rasa penasarannya itu, dan kembali berbincang dengan Bima dengan topik lainnya.
Bima tahu dan sudah menduga Tomi akan mendekati Dara. Dara sudah pasti seorang wanita polos yang sangat menarik untuk lelaki liar seperti Tomi. Seandainya Bima tidak tertarik pada Dara, ia bisa saja membiarkan Tomi. Kali ini ia betul telah jatuh hati kepada gadis ini. Ini bukan saat yang tepat untuk menyia-nyiakan kesempatan mendapatkan gadis baik hati seperti Dara.
Bima sudah mendengar banyak mengenai Dara. Ia juga mengetahui posisi Dara sebagai tulang punggung keluarganya. Dara menurutnya seorang aktris yang pandai berakting karena tidak pernah terlihat penuh beban di tempat kerja. Ia seorang karyawati yang menyenangkan, dan ramah terhadap siapa saja.
Bima memarkir mobil di depan kafe yang sudah tak asing. Itu adalah tempat pertemuannya dengan Dara pertama kali. Wanita muda itu tersenyum lembut lalu turun dari mobil.
Dada Bima terasa terhujam dengan detak jantung yang begitu cepat. Ia menimbang apakah ia perlu menggenggam tangan pujaannya itu ketika mereka masuk ke kafe.
‘Jangan sekarang!’ pikirnya dalam hati dan mengikuti Dara yang telah berjalan dahulu. Kafe itu sedang memutar musik instrumental yang begitu menenangkan. Aroma kopi yang kuat bisa tercium seketika mereka duduk di kursi paling pojok dekat dengan kolam ikan. Seorang pelayan menghampiri dan mencatat semua pesanan mereka, kemudian meninggalkan lagi meja itu.
“Dar ... Pertanyaan yang sama. Waktu itu di sini saya pernah tanya apa rencana kamu. Sekarang apa sudah ada rencana yang lain?” Bima sangat berharap Dara memikirkan untuk memiliki pacar, atau sekedar teman dekat saja.
“Mmm ... Jawaban yang sama, Bim ... Aku masih mau bekerja ... Tapi mungkin perlu love life juga. Teman-teman seangkatan rata-rata sudah bawa gandengan. Hehe” sesuai harapan, Dara sudah memikirkan apa yang Bima pikirkan.
“Aku bisa digandeng kok.” Bima menjawab dengan nada bergurau dan disambut dengan tawa ringan dari Dara.
“Aku tahu kamu bisa digandeng, Bim. Tapi kelas kita terpaut jauh. Kamu tahu maksudku kan?”
“Hmm ... Aku belum terlalu tua, Dar ...” Bima pura-pura tak paham dengan apa yang disampaikan Dara.
“Bukan, Bim. Kamu itu atasan di tempat aku bekerja. Kita enggak bisa gandengan semudah itu.”
Bima menatap Dara dengan penuh kagum. Sebenarnya apa yang dikatakan Dara itu benar. Pegawai lainnya bisa saja berdesas-desus yang tidak-tidak tentang hubungan mereka dan mengait-ngaitkannya dengan pekerjaan di kantor. Dengan hubungan yang mereka inginkan, Dara bisa saja berubah status menjadi ‘pegawai beruntung’ dan bukan seorang pekerja keras di mata pegawai lain.
“Aku tahu. Sebenarnya, aku akan segera pindah dari Savana, begitu hotel itu diresmikan. Aku sudah punya project lain. Atau kamu juga bisa bergabung dengan project lain. Kalau seperti itu, apa kita bisa jadi teman dekat?” Bima begitu berharap dapat menjadikan Dara orang yang spesial dalam hidupnya.
Beberapa bulan ini, ia tentu sudah memikirkan semua risikonya. Bima sudah pada umur yang cukup untuk menjalankan sebuah hubungan serius. Mendapatkan gadis cantik, dan cerdas seperti Dara adalah sebuah hal yang baik untuknya. Bukan hanya itu, ia juga baik hati, dan masih muda. Itu akan menjadi sebuah kombo. Gadis seperti Dara jelas-jelas tipe idaman ibu dan ayahnya, sehingga Bima sangat yakin mendekatkan dirinya kepada Dara.
“Ya, tentu saja. Tapi aku enggak bisa janji untuk serius saat ini. Aku masih ada tanggungan, Bim. Juga aku punya beberapa orang yang mau aku kenali lebih dekat.” Jawaban dara memberi rasa lega di hati Bima. Setidaknya ia tidak mengatakan bahwa ia sudah punya teman lelaki atau pacar.
“Tomi? Apa kamu dekat dengan Tomi?” Bima merasa ia sering melihat Dara dan Tomi pulang kerja bersama. Mereka juga lebih sering menyapa ketika bertemu di rapat. Meskipun mungkin gadis seperti Dara akan berpikir seribu kali untuk menjadi wanita bagi Tomi, namun tetap saja semua yang ia lihat begitu mengganggu.
“Aku enggak sedekat itu dengan Tomi. Tapi kami bertukar cerita,” Dara tersenyum. Ia bisa melihat sebuah rasa penasaran tersirat di wajah Bima.
“Kamu masih muda, Dar. Aku pasti suport kamu dengan tujuan karier kamu.” Bima terdengar serius kali ini. Hal itu membuat Dara merasa sedikit canggung. Akan tetapi, ia merasa bahagia karena tahu Bima menyukainya.
Keduanya begitu serasi duduk berhadapan. Bak sepasang yang memang sudah lama berdua, mereka terlihat begitu nyaman satu sama lain, dan bercengkerama menghabiskan waktu di sudut kafe yang masih ramai.
Bima tak banyak menjalin hubungan dengan wanita. Ia beberapa kali telah gagal sebelum bisa menjalin hubungan yang lebih serius. Di kafe yang penuh aroma kopi itu, ia menceritakan beberapa pengalaman konyol ketika didekati wanita yang hanya mengincar materinya saja. Selain itu, beberapa wanita lain yang berusaha mendekatinya, tahu betul Bima adalah anak lelaki satu-satunya dengan orang tua yang cukup mampu dalam perekonomian.
Wanita-wanita itu dengan mudah ditendang oleh takdir dari hidup Bima. Sejak terakhir kali ia ditipu oleh seorang wanita yang mengencani pria lain di belakangnya, Bima mulai merasa tidak percaya pada wanita metropolitan. Ia langsung jatuh hati kepada Dara. Gadis itu tidak berasal dari kota besar. Ia berasal dari kota kecil dengan pesisir, dan atraksi wisata yang memukau. Ia terlihat begitu mandiri, dan tidak sedikit pun berusaha mendekati Bima dengan cara yang dilakukan wanita lain.
Sempurna ... Yang terpenting malam ini, Bima sudah bisa menyatakan dengan jujur apa yang ia rasakan terhadap Dara.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments