Bab 13 - Cintaku Tiba!

Di sudut toko donat itu, Dara sedang menyeruput secangkir long black, ditemani sepotong donat dengan gula halus. Ia begitu menikmati saat-saat itu meski punggungnya sudah semakin tak bisa berlama-lama duduk tegak, menahan beban perut yang sudah semakin turun ke bawah.

Dara baru saja selesai menjalani pemeriksaan rutin bagi kehamilannya. Menurut dokternya, dalam beberapa hari kedepan, ia akan segera bertemu bayinya. Semangatnya membara, dan sedikit pun tidak merasa takut dengan proses yang akan ia jalani.

Dari beberapa artikel, dan juga pengalaman orang-orang yang ia dengar, melahirkan akan membuat banyak perubahan dalam hidupnya. Kendati demikian, perempuan itu bertekad besar melahirkan bayinya secara normal.

Di pagi hari sepanjang kehamilannya, Dara mengisi waktu satu sampai dua jam berjalan kaki dan melakukan olahraga ringan untuk membiasakan tubuhnya bergerak sebelum persalinan nanti.

Tomi sendiri, meski sudah memiliki tiga orang anak, ia belum pernah sekali pun hadir dalam sesi persalinan mana pun dari anak-anaknya. Farah menjalani operasi untuk menghadirkan buah hati mereka ke dunia. Menurut cerita Tomi, istri pertamanya itu tidak tahan dengan rasa sakit yang menghampiri sebelum kelahiran, sehingga memilih untuk operasi saja.

Dara ingat betul sosok ibunya. Ibunya itu melahirkannya secara normal. Itulah salah satu alasan Dara ingin sekali melahirkan secara normal.

Tomi sibuk dengan ponsel di tangannya. Sesekali melihat istri mudanya yang begitu senang menggigit donat kesukaannya. Dara bukan perempuan yang bodoh dan ia tahu suaminya itu sedang bertukar pesan dengan istri pertamanya, akan tetapi menjelang persalinan ini, ia tak mau menaikkan tekanan darah karena hal semacam itu.

“Bagaimana perasaan kamu? Nervous?” tiba-tiba Tomi memulai percakapan. Tangannya menyimpan ponsel di saku celananya.

Dara tersenyum. Ia membersihkan tangannya dari gula donat yang menempel, lalu berkata, “Nervous. Iya. Karena mau ketemu bayi. He he,”

“Kamu yakin mau normal?” Tomi tampak serius kali ini. Tubuh Dara yang begitu mungil tentu membuatnya kuatir apakah istrinya ini bisa menghadapi proses yang tak singkat.

“Apakah kita punya dana untuk operasi? Enggak ‘kan?” sekakmat! Dara membalikkan bola panas di tangan suaminya.

“Hmm. Benar. Dana yang ada sudah aku pakai di Indonesia kemarin. Sekarang cukup untuk melahirkan normal saja. Aku yakin kamu bisa.” Ujarnya menyemangati wanitanya, sambil mengusap pelan perut buncit itu.

Indonesia ... Liburan ... Dengan Farah ... Ah sudahlah! Dara membatin, ia tidak ingin menghancurkan momen menuju kebahagiaan hanya karena hal ini. Lagi pula, suaminya itu sudah kembali bersamanya.

“Apa kamu tahu, hanya kamu yang aku temani nanti saat persalinan. Kamu juga yang aku temani saat makan donat seperti ini,” kata Tomi, sambil tersenyum geli. Entah apa yang ia ingat-ingat, tapi hal itu membuatnya tersenyum.

“Oh ya? Maksudku ... Aku tahu kamu enggak menemani Farah, tapi kenapa?”

“Hmm. Saat anak pertama dan kedua, aku di luar kota. Anak ketiga, aku di dalam bui,” jawab Tomi singkat dan melepaskan kacamatanya.

“Kamu tahu kan aku di dalam penjara? Aku masuk penjara saat dia hamil anak ketiga. Lahir ketika aku dalam penjara, dan ketika hari aku keluar dari sana, dia pergi bersama anak-anak ke rumah orang tuanya,” Dara sudah pernah mendengar bahwa suaminya itu pernah terlibat kasus hukum. Akan tetapi ia tidak pernah mengorek-ngorek lebih jauh lagi tentang masa lalunya itu.

“Aku sama sekali enggak punya perasaan apa pun ke dia, sampai dua anak. Saat anak ketiga lahir, aku baru mencoba sedikit membuka hati. Lalu ... Aku ketemu kamu,” sambungnya lagi.

Inikah mengapa ia tak membalas pesan ‘I Love You’ dari istri pertamanya? Tapi ia jelas sekali memperlakukan wanita itu seperti ratu ... Mengikuti semua permintaannya, dan juga membawanya berlibur ke tempat yang bagus.

“Bagaimana dengan aku?” Dara bertanya dengan nada yang serius.

“Aku enggak akan maju sejauh ini kalau aku enggak punya perasaan sama kamu. Aku enggak tahu apa ini, tapi begitu nyaman sama kamu. Jujur ... Aku enggak paham cinta itu yang seperti apa,” Tomi menjawab dengan wajah yang datar. Sebuah momen yang sangat jarang bagi mereka untuk membicarakan hal-hal serius seperti ini. Apa lagi setelah beberapa skenario KDRT yang terjadi, dan sifat Tomi yang sering meledak-ledak.

Punggung Dara terasa pegal seketika. Ia mengelus-ngelus pinggangnya, dan berusaha melegakan rasa pegal itu.

“Boleh kita pulang? Punggungku sakit.” Dara sedikit meringis. Suaminya beranjak membayar tagihan mereka lalu menggenggam tangannya menuju apartemen mereka.

Dara bisa merasakan sakit yang cukup aneh. Ia biasa merasakan pegal pada tulang belakangnya, namun ini sangat berbeda.

Semalaman itu, rasa sakit itu kian merambat ke area kaki, dan panggulnya. Kemudian sebuah nyeri yang sudah lama ia tak rasakan, muncul pada perutnya. Dara memutuskan untuk mandi air hangat. Berdiri di bawah pancuran air hangat mungkin bisa membantunya.

“Apa ini?” katanya terheran ketika menanggalkan pakaiannya. Tak salah lagi! Sebercak darah dengan jelas bisa ia lihat di sana. Ia teringat pesan yang disampaikan oleh dokternya, bahwa sebuah tanda persalinan adalah munculnya bercak darah.

Dara terlihat girang, ia segera mandi, dan berkeramas. Dengan perasaan penuh bahagia itu, ia mengeringkan rambutnya, lalu menghampiri suaminya yang sedang bersantai di depan televisi.

“Bi. Aku sudah dapat tandanya. Kio sebentar lagi lahir!” perasaan bahagianya begitu meluap dan tampak di raut wajahnya.

Tomi tampak tegang seketika, lalu beranjak dari kursinya, dan meraih tas ransel yang sudah mereka siapkan.

“Haruskah kita pergi sekarang?” ujarnya.

“Belum. Aku tanya mama dulu,” jawab Dara dengan santai, lalu melakukan panggilan kepada ibunya.

Ibunya juga sama ... Bahagia mendengar anak perempuannya akan segera melahirkan cucunya.

“Kata mama nanti saja jika sudah dekat jarak sakitnya,” katanya menjelaskan kepada suaminya yang sudah menenteng tas.

“Kalau begitu ... Aku harus tidur. Siapa tahu kamu akan melahirkan besok, aku jadi bisa begadang menemani,” Tomi mematikan televisi dan bergegas pergi tidur.

Sakit yang Dara rasakan itu belum terlalu intens, akan tetapi memang mulai menguat dari waktu ke waktu.

Di malam itu, ia masih bisa tidur dengan nyenyak hingga esok hari ia masih mengizinkan suaminya untuk pergi bekerja, meninggalkan dirinya sendiri di rumah. Ia banyak bergerak di rumah, dan pergi ke apartemen teman kerjanya yang sedang mendapatkan jatah libur hari itu. Perempuan hamil itu mencari-cari aktivitas di tempat tinggal teman-temannya yang bujang itu. Ia membersihkan setiap sudut, melakukan semua pekerjaan rumah tangga agar Kio bisa lebih cepat bertemu dirinya.

Sakit itu, makin bertambah waktu, makin terasa. Dara memang gigih. Ia terus saja berjalan-jalan untuk menambah dekatnya persalinan.

Tomi memutuskan membawanya ke rumah sakit satu hari setelahnya. Di sana, ia menunggu pada ruang gawat darurat. Seorang perawat memakaikannya selimut, lalu memanggil seorang asisten dokter untuk memeriksanya. Asisten dokter ini adalah dokter yang membantu dokter spesialis Dara. Laki-laki muda bertubuh tegap, berkulit putih bersih, dan berkacamata. Dara memerhatikan name tak yang terpasang pada jas dokter itu. Rizal Siahaan? Itu nama orang Indonesia.

“Dokter orang Indonesia?” ia membuat dokter itu berhenti sesaat, dan terkejut mendengar Dara.

“Kamu orang Indonesia juga? Iya. Saya orang Indonesia. Kami ada empat orang dokter Indonesia di sini. Kami semua sedang belajar spesialis. Dokter kamu itu, pembimbing kami,” lelaki itu begitu ramah. Dara merasa sedikit lega, dan lebih bersemangat lagi karena dokter-dokter yang akan membantunya nanti, juga orang Indonesia.

“Kamu baru dua sentimeter. Mungkin besok kalau sakitnya sudah parah, kamu bisa kembali lagi, Dar. Aku besok libur. Jangan kuatir, ada dokter Andre, dokter Helen, dan dokter Rian yang masuk besok. Mereka akan menangani semua pasien dokter pembimbing sampai ia datang,” dokter itu mengemas seluruh peralatannya, lalu berpamitan kepada Dara dan suaminya.

Dara tak habis akal. Bagaimana bisa ia baru berada di dua sentimeter padahal sudah hampir dua hari ia merasakan sakit. Sepulang dari rumah sakit itu, ia mengambil waktu untuk berenang di apartemennya. Ia masih membiarkan Tomi pergi ke kantor, keesokan harinya.

Pagi itu, Dara bangun sedikit telat daripada biasanya. Suaminya sudah pergi kerja, sejak pukul enam pagi. Dara tak ingin menghabiskan waktu. Rasa sakit di perutnya itu masih sama saja. Ia segera menyantap sarapannya lalu menuju kolam renang.

Beberapa kali, ia berbicara dengan bayi yang ada di perutnya, dan meminta agar hadir secepat mungkin. Wanita itu begitu bersemangat menghabiskan dua jam utuh berada di kolam renang untuk merangsang proses persalinannya.

Dara kembali ke unit apartemennya. Di dalam elevator, ia bisa merasakan sakit yang lebih kuat. Akhirnya usahanya berbuah hasil juga. Ia bergegas mandi, lalu mengganti bajunya. Rambutnya yang basah, dikeringkannya dengan hairdryer.

Dara terdiam seketika. Sebuah rasa sakit yang belum pernah ia rasakan, melilit di sekitar perutnya. Ia cepat-cepat menyelesaikan apa yang ia lakukan, lalu duduk setengah berbaring di sofa. Tangannya membuka aplikasi penghitung kontraksi.

Ia bisa merasakan, perutnya itu mengeras beberapa saat bersamaan dengan rasa sakit yang menguat ketika hal itu terjadi. Kontraksi! Tidak salah lagi, ini dia!

Simtom itu makin teratur, dengan durasi yang lebih lama, dan jarak yang konsisten. Dara bisa merasakan sedikit kewalahan mengatur nafasnya. Ia pun memutuskan untuk menelepon suaminya agar pulang.

Tomi terdengar bersemangat, sekaligus kaget ketika mendapat panggilan telepon itu. Bersamaan, Dara bisa mendengar sebagian besar penghuni kantor itu ikut bersemangat mendengarnya mendapatkan kontraksi.

Mereka bergegas menuju rumah sakit. Di sana, dokter Rian sudah menunggu bersama dokter Helen. Dara sudah menuju pembukaan ke 3. Ini berarti pembukaannya mengalami progres.

Anehnya, rasa sakit itu makin kuat saja setibanya mereka di rumah sakit. Akhirnya Dara mulai meringis. Rasa sakit ini belum pernah ia rasakan seumur hidupnya. Rasanya tak mungkin bisa ia menelan air putih pun.

Seorang perawat terus berbincang dengannya sambil memasangkan infus di tangan kirinya. Setelah itu Dara di bawa pergi dari ruang gawat darurat menuju bangsal persalinan. Sayang sekali, karena peraturan yang ketat, Tomi tidak diperkenankan ikut menemani. Ia hanya boleh menemani Dara nanti setelah persalinannya usai, dan Dara dibawa ke kamarnya.

Tomi tentu saja merasa cemas. Apalagi ketika dokter mengembalikan ponsel Dara kepadanya karena pasien tidak diperbolehkan menggunakan ponsel. Hal itu bisa mengganggu fokus mereka, dan mereka jadi tidak bisa beristirahat.

Dara sendiri di dalam bangsal persalinan itu. Dari tiga tempat tidur yang tersedia, hanya satu yang terisi, yaitu yang ia tempati. Dokter telah memasang alat pencatat kontraksi pada perutnya. Makin bertambah waktu, kontraksi itu makin menjadi-jadi. Dara kehilangan kekuatan untuk menahannya. Sesekali dokter pergi memeriksa. Di pukul tiga pagi, Dara sudah berada di pembukaan empat.

Ia merintih kesakitan. Pembukaan yang masih kecil itu terasa seperti sakit yang begitu hebat, dan ia masih harus menunggu enam tahap lagi. Sakit itu makin parah, dan dokter pun dapat melihatnya melalui catatan kontraksi yang keluar dari mesin. Kontraksi-kontraksi kuat dengan jarak yang dekat.

Sudahlah ... Dara akhirnya menyerah. Antara menahan sakit, kantuk, dan mulutnya yang dengan refleks berteriak ketika kontraksi datang. Ia baru mengalami kegilaan ini. Berteriak seperti orang kerasukan pada dini hari karena sakit yang teramat parah.

Dokter Helen, dan Rian akhirnya menawarinya menggunakan bius yang dimasukan melalui tulang belakangnya. Ini dapat membantu meringankan sakit, agar Dara dapat berhenti berteriak, dan ia bisa beristirahat.

Prosedur bius itu bukan hal biasa. Ia diminta untuk melengkungkan badannya bak bayi berada dalam kandungan. Seorang dokter anestesi menjalankan prosedur itu pada tulang belakangnya, dan bagai sihir, rasa sakit itu menjadi sangat ringan.

Dara menarik dan menghembuskan nafasnya. Ia kini bisa tidur dengan tenang untuk mengumpulkan tenaganya.

Ia terbangun di pukul sembilan pagi, ketika efek bius itu sudah hilang, dan menurut dokter ia tidak bisa lagi ditambahkan dosis bius, karena akan mengancam keselamatan bayinya. Apa boleh buat? Dara berpasrah. Ia hanya bisa berteriak kesakitan seperti orang yang disiksa. Dokter Andre beberapa kali datang untuk menenangkannya, dan sesekali mengusap perutnya agar ia merasa lebih baik.

Dokter itu juga berkata, ia akan membawa Tomi ke dalam bangsal untuk menemuinya sebentar saja.

Tomi masuk ke ruangan itu. Ia bisa merasakan dinginnya hawa dalam ruangan itu, akan tetapi istrinya berkeringat seperti orang yang selesai berolahraga. Beberapa kali, istrinya berteriak memegangi perutnya. Tampaknya Dara tidak memiliki semangat untuk mengobrol dengan Tomi. Lelaki itu mengusap rambut istrinya. Jelas sekali wanita itu kesakitan.

“Kamu bisa ... Aku enggak bisa menemani kamu, karena peraturan. Tapi ... Aku ada di luar. Tadi dokter Andre bilang, dia akan foto bayi kita nanti segera setelah kamu lahirkan,” Tomi berbicara dengan suara yang bergetar. Ia sebenarnya bingung harus apa. Ini kali pertamanya melihat seorang wanita berada dalam fase persalinan normal.

Beberapa jam setelah Tomi meninggalkan ruangan itu, Dara bisa merasakan sesuatu yang hangat mengalir di tempat tidurnya dan membasahi seluruh pakaiannya. Ia meminta dokter untuk memeriksanya. Pada saat itu juga, bertepatan dengan dokter spesialisnya yang baru saja tiba. Dokter senior itu mengenakan gaun medisnya, dan sepasang sarung tangan, lalu mengecek kondisi Dara.

“It’s the time. You are complete. Ready to push,” perasaan Dara begitu lega mendengar kata-kata itu dari dokternya. Pembukaannya sudah lengkap. Ia segera dipindahkan menuju ruang tindakan.

Dalam ruangan itu, seorang dokter anestesi, dokter Rian, dokter Helen, dokter senior mereka, dan dua orang perawat lainnya, berada di sekelilingnya, memandunya dalam persalinan. Dara terlihat sangat kuat. Kedua dokter dari Indonesia itu menyemangatinya dalam bahasa Indonesia, dan dokter senior itu terus memandunya. Tampaknya bayi ini kekeh ingin ibunya mendorong lebih kuat. Dara bisa merasakan kepalanya yang mulai pusing, matanya tiba-tiba menjadi gelap, dan ia hilang seketika. Ia bisa merasakan tangan dingin seseorang menepuk pipinya, dan suara-suara yang menyuruhnya untuk bangun. Pingsan sesaat itu, memberinya tenaga, dan dengan dua kali dorongan, tangisan bayi yang melengking pecah dalam ruangan itu.

“Anakku ...” Dara terisak melihat seorang bayi laki-laki dengan kulit yang putih, dan rambut hitam lebat, telah berada di atas tubuhnya. Dokter Andre menepati janjinya, ia mengambil beberapa gambar bayi itu, kemudian memperlihatkan pesannya  kepada Tomi. Dara berkali-kali mengucapkan terima kasih. Berkat bantuan orang-orang hebat ini, Kio sudah datang ... Anaknya yang ia tunggu-tunggu, sudah berada di sampingnya, setelah perjuangan yang melelahkan ...

Terpopuler

Comments

Pringles Ijo

Pringles Ijo

Cannot wait

2022-07-05

0

Anonymous

Anonymous

next😍😍😍

2022-07-05

0

lihat semua
Episodes
1 Bab 1 - Bandung
2 Bab 2 - Dara dan Savana
3 Bab 3 - Namanya Bima
4 Bab 4 - Ia Pergi dari Savana
5 Bab 5 - Separuh Lengan Dara
6 Bab 6 - Pemain Pengganti
7 Bab 7 - Menjadi yang Kedua
8 Bab 8 - Menjadi Anak Durhaka Kepada Ibu
9 Bab 9 - Aku Harus Bertahan
10 Bab 10 - Bukan Menantu Idaman
11 Bab 11 - Tak Mau Kalah!
12 Bab 12 - Yang Tak Terduga
13 Bab 13 - Cintaku Tiba!
14 Bab 14 - Langkahi Dulu Aku!
15 Bab 15 - Yang Tak Terduga 2
16 Bab 16 - Memegang Kendali!
17 Bab 17 - Kabar Baik atau Buruk?
18 Bab 18 - Yang Tak Dinantikan
19 Bab 19 - Bangkai Yang Ditemukan
20 Bab 20 - Selamat Datang, Anggota Baru!
21 Bab 21 Tak Akur
22 Bab 22 - Langkah Yang Terhenti
23 Bab 23 - Cerita Lampau Tomi
24 Bab 24 - Rencana Tersembunyi
25 Bab 25 - Pergi Ke Puncak
26 Bab 26 - Mengantar Anak-Anak
27 Bab 27 - Pelukan Mama
28 Bab 28 - Harus Memilih
29 Bab 29 - Gelagat Aneh
30 Bab 30 - Hari-hari Terakhir
31 Bab 31 - Memulai Lagi
32 Bab 32 - Anna dan Mereka
33 Bab 33 - Pengganti Cecil
34 Bab 34 - Tim Baru
35 Bab 35 - Terjadi Lagi
36 Bab 36 - Kesempatan Yang Kesekian
37 Bab 37 - Edisi Baru
38 Bab 38 - Ibu Dua Anak
39 Bab 39 - Tempat Baru Kio & Kayla
40 Bab 40 - Ingat Kata Ibu!
41 Bab 41 - Melewati Batas
42 Bab 42 - Buru-buru!
43 Bab 43- Pengaduan Pertama
44 Bab 44 - Akhirnya Dara Membara
45 Bab 45 - Terima Kasih Ummi!
46 Bab 46 - Aku Punya Ide!
47 Bab 47 - Harmonis
48 Bab 48 - Empat Mata
49 Bab 49 – Selangkah Lagi
50 Bab 50 - Meeting Dadakan
51 Bab 51 - Kehidupan Baru
52 Bab 52 - Tuntutan Seorang Ibu
53 Bab 53 - Prasangka Mertua
54 Bab 54 - Tak Peduli Lagi!
55 Bab 55 - Tempat Curhat Baru
56 Bab 56 - Ini Salahku
57 Bab 57 - Pasti Salahku!
58 Bab 58 - Perang DIngin
59 Bab 59 - Ultimatum Pertama
60 Bab 60 - Reyhan Lagi
61 Bab 61 - K's Berjaya
62 Bab 62 - Tomi Mencoba Lagi
63 Bab 63 - Pelajaran Pertama
64 Bab 64 - Senjata Andalan
65 Bab 65 - Teguh
66 Bab 66 - Melangkah
67 Bab 67 - Maafkan Mama, Kay ...
68 Dariku, Dara
Episodes

Updated 68 Episodes

1
Bab 1 - Bandung
2
Bab 2 - Dara dan Savana
3
Bab 3 - Namanya Bima
4
Bab 4 - Ia Pergi dari Savana
5
Bab 5 - Separuh Lengan Dara
6
Bab 6 - Pemain Pengganti
7
Bab 7 - Menjadi yang Kedua
8
Bab 8 - Menjadi Anak Durhaka Kepada Ibu
9
Bab 9 - Aku Harus Bertahan
10
Bab 10 - Bukan Menantu Idaman
11
Bab 11 - Tak Mau Kalah!
12
Bab 12 - Yang Tak Terduga
13
Bab 13 - Cintaku Tiba!
14
Bab 14 - Langkahi Dulu Aku!
15
Bab 15 - Yang Tak Terduga 2
16
Bab 16 - Memegang Kendali!
17
Bab 17 - Kabar Baik atau Buruk?
18
Bab 18 - Yang Tak Dinantikan
19
Bab 19 - Bangkai Yang Ditemukan
20
Bab 20 - Selamat Datang, Anggota Baru!
21
Bab 21 Tak Akur
22
Bab 22 - Langkah Yang Terhenti
23
Bab 23 - Cerita Lampau Tomi
24
Bab 24 - Rencana Tersembunyi
25
Bab 25 - Pergi Ke Puncak
26
Bab 26 - Mengantar Anak-Anak
27
Bab 27 - Pelukan Mama
28
Bab 28 - Harus Memilih
29
Bab 29 - Gelagat Aneh
30
Bab 30 - Hari-hari Terakhir
31
Bab 31 - Memulai Lagi
32
Bab 32 - Anna dan Mereka
33
Bab 33 - Pengganti Cecil
34
Bab 34 - Tim Baru
35
Bab 35 - Terjadi Lagi
36
Bab 36 - Kesempatan Yang Kesekian
37
Bab 37 - Edisi Baru
38
Bab 38 - Ibu Dua Anak
39
Bab 39 - Tempat Baru Kio & Kayla
40
Bab 40 - Ingat Kata Ibu!
41
Bab 41 - Melewati Batas
42
Bab 42 - Buru-buru!
43
Bab 43- Pengaduan Pertama
44
Bab 44 - Akhirnya Dara Membara
45
Bab 45 - Terima Kasih Ummi!
46
Bab 46 - Aku Punya Ide!
47
Bab 47 - Harmonis
48
Bab 48 - Empat Mata
49
Bab 49 – Selangkah Lagi
50
Bab 50 - Meeting Dadakan
51
Bab 51 - Kehidupan Baru
52
Bab 52 - Tuntutan Seorang Ibu
53
Bab 53 - Prasangka Mertua
54
Bab 54 - Tak Peduli Lagi!
55
Bab 55 - Tempat Curhat Baru
56
Bab 56 - Ini Salahku
57
Bab 57 - Pasti Salahku!
58
Bab 58 - Perang DIngin
59
Bab 59 - Ultimatum Pertama
60
Bab 60 - Reyhan Lagi
61
Bab 61 - K's Berjaya
62
Bab 62 - Tomi Mencoba Lagi
63
Bab 63 - Pelajaran Pertama
64
Bab 64 - Senjata Andalan
65
Bab 65 - Teguh
66
Bab 66 - Melangkah
67
Bab 67 - Maafkan Mama, Kay ...
68
Dariku, Dara

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!