Cuaca di Bandung sering kali tak bersahabat dengan Dara. Ia hampir menyelesaikan cuciannya yang sedikit. Di usia demikian, Kio senang sekali mencoba hal-hal baru dan meninggalkan bekas noda pada seragamnya. Dara menjadi lebih sering mencuci dengan tangan agar seragam bocah itu kembali menjadi putih. Dinginnya air yang hampir sama dengan air dalam kulkasnya, mulai membuat kebas telapak tangan. Punggungnya mulai sedikit pegal menggendong bayinya.
Dengan langkah cepat, Dara menuju tempat menjemur di halaman belakang rumah dan menggantung seragam sekolah yang sudah kembali putih. Ia masuk kembali ke dalam rumah, dan mengelus kepala putrinya yang sedang asyik memakan roti berisi irisan keju dan selai kacang.
Bayinya yang sudah tertidur pulas, dibaringkan pada kasur yang sudah rapi, dan bersih. Dara meraih botol lotion pelembab di atas mejanya. Kulitnya menjadi sangat kering ketika udara begitu dingin. Ia bisa menggambar di atas kulitnya yang meninggalkan guratan putih jika digaruk, karena sangat kering.
Seperti biasa, ia mengusap beberapa bekas guratan di sekujur setengah lengan kirinya. Beberapa datang dari luka guratan yang akhirnya sembuh sendiri seiring waktu. Beberapa lagi, bekas jahitan pada daging dan kulit tangannya, dan meninggalkan bekas yang amat jelas.
Di beberapa tahun ini, ia selalu mengenakan baju dengan lengan yang panjang menutupi pergelangan tangan. Di situ, ia memiliki 3 bekas sayatan tepat pada garis pergelangan tangan, dan 6 lainnya di sekujur lengan, dengan arah yang morat-marit. Melihat dari keloid pada luka itu, orang sudah bisa tahu, luka-luka itu cukup serius ketika ditangani, dan pastinya teramat dalam.
Dara selalu teringat lagi, dan lagi pada hari-hari itu. Di mana, ia hanya memiliki dua pilihan dalam hidupnya, yaitu menjadi bulan-bulanan di dalam apartemennya ataukah mengakhiri hidupnya dengan menyayat pergelangan tangan hingga kehabisan darah.
Setelah pernikahan dadakannya, ia pindah bersama mantan suaminya ke Filipina. Dara memang bernasib baik, ia ditawari sebuah pekerjaan dengan gaji yang jauh lebih banyak daripada di negaranya sendiri. Tak bisa dipungkiri, perekrut akan tertarik dengan gaya bicara bahasa Inggrisnya yang begitu lancar.
Bulan Agustus 2015 menjadi saat terberat dalam kesehatannya. Di bulan itu, ia tengah mengandung anak pertamanya, beberapa minggu. Dara tidak menyangka, badannya akhirnya dipercayakan menjadi tempat awal mula mulainya sebuah kehidupan baru.
Sudah satu minggu lamanya, Dara diperbolehkan pulang lebih awal oleh atasannya, seorang direktur berkebangsaan India. Siang itu, ia merasa begitu kewalahan dengan perutnya yang terus saja memaksanya memuntahkan semua sisa makanan dan entah apa pun yang ada di dalamnya.
Menunggu dalam elevator apartemennya, terasa begitu lama, padahal hanya di lantai 9. Dara menengok jam tangannya, sudah jam empat sore. Harusnya suaminya sudah berada di rumah. Mereka bekerja di satu kantor, dan duduk berdampingan. Hanya saja, dengan jabatan yang berbeda, keduanya tidak bisa selamanya berada pada jadwal kerja yang sama.
Dara tertatih pergi ke dalam apartemennya. Ia bisa mendengar dengan jelas suara beberapa lelaki tertawa dengan riuh. Di depan pintu apartemen, berserakan beberapa sepatu lelaki dan sepasang sepatu perempuan.
Bukan pemandangan yang baru untuk Dara. Ia sudah biasa melihat suaminya mengajak beberapa teman untuk bersantai-santai di unit apartemennya. Suaminya menjadi seorang pecandu alkohol yang makin parah, setelah mereka pindah ke negara ini. Sebuah negara non diskriminasi, yang harusnya bisa dimanfaatkan dengan baik oleh orang-orang dengan tujuan baik. Namun, suaminya bukan orang itu.
Dara masuk ke dalam apartemennya. Enam orang laki-laki dan seorang perempuan sedang duduk membentuk lingkaran, dengan sebotol Whiskey di tengahnya. Botol berkapasitas satu liter itu sudah hampir menyentuh ambang batas bawahnya ... sudah hampir kosong.
Dara menjadi sensitif penciumannya seperti anjing polisi, belakangan ini. Ia bisa mencium aroma alkohol yang begitu kuat. Satu-satunya perempuan yang duduk dalam lingkaran itu terlihat tidak semberawut. Ia terlihat rapi, dan masih segar. Ia adalah Nancy, seorang simpanan berkebangsaan Filipina, yang berpacaran dengan Leo, seorang teman kerja Dara yang telah beristri. Nancy terlihat bersandar pada pundak Leo yang sudah merah pipinya karena mabuk.
“Hai. Sudah pulang?” suaminya menyapa ketika melihat perempuan hamil itu berada di belakangnya. Dara menyapa sekedarnya saja dan menuju ke kamarnya. Ini adalah hal yang paling ia benci, yaitu melihat suaminya lagi-lagi menghabiskan waktu untuk ‘minum’ seolah ia menyetujui hal itu. Ini adalah sesuatu yang sudah lama ia bahas dengan suaminya itu, akan tetapi sepertinya lelaki tersebut masih ingin menikmati masa mudanya. Padahal ia sebenarnya sudah tidak muda lagi dan memiliki beberapa helai uban di kepalanya.
Kriet ...
Pintu kamar tiba-tiba terbuka. Dara sedang merapikan bajunya yang baru saja ia ganti dengan sepasang piama katun yang jauh lebih nyaman.
Suaminya datang menghampiri lemari, dan mengambil jaket. Ia sebenarnya sudah tahu apa yang akan dilakukan laki-laki itu setelah ini. Namun, Dara berusaha mencari topik dan bertanya seolah tak tahu.
“Mau ke mana, Bi?” ia bertanya dengan wajah menahan mual yang menyerangnya tak henti. ‘Bi’ sebuah singkatan nama kesayangan yang ia berikan kepada lelaki itu.
“Keluar” jawab lelaki itu singkat dan bahkan tak menatap istrinya.
“Aku lapar. Mungkin kita bisa makan di fast food seberang?” Dara memang sedari tadi menahan laparnya. Ia ingin merasa begitu lapar agar bisa makan dengan lahap dan tidak menghiraukan rasa mualnya.
“Aku tinggalkan kamu uang. Pergi saja sendiri. Aku harus pergi dengan teman-temanku,” cuek jawab suaminya yang sedang menyisir rambutnya. Mulutnya beraroma alkohol tajam, dan matanya setengah sayu.
Dara mengepalkan tangannya menahan kesal. Ini bukan pertama kalinya. Sepanjang ia menikah beberapa bulan ini, ia selalu berada di urutan kesekian untuk suaminya itu.
“Aku pusing. Aku enggak bisa jalan sendiri keluar. Takut jatuh di jalan,” Dara setengah menahan kesalnya, dan berusaha tenang.
Lelaki itu berbalik badan dan bercekak pinggang. Ia menatap Dara dengan wajahnya yang sangat kelihatan mabuk, dan menghampiri perempuan hamil itu.
Kini, ia mengangkat jari telunjuknya dan menaruh ujung jarinya tepat pada dahi Dara dan sedikit menekannya.
“Kamu sudah besar, bukan anak kecil. Yang kayak begini jangan sampai buat penghalang silaturahmi saya dengan teman-teman saya!” ia sedikit membentak.
Dara menahan air mata yang sudah mulai bergerak dari kelopak. Ia bukan orang yang pandai membuat alasan. Kali ini yang ia katakan memang benar adanya. Kehamilan ini membuat Dara kesulitan beraktifitas karena pusing seharian yang ia rasakan.
Dara terdiam, dan tak mampu menjawab kata-kata suaminya itu. Ia terdiam menunduk hingga lelaki itu pergi dari dalam kamar, meninggalkan aroma alkohol, dan ruang tamu yang begitu berantakan dengan botol-botol minuman dan puntung rokok.
Bukan kali pertama ... suaminya memangsering kali bersikap kasar dan tak santun kepadanya. Namun, Dara selalu berusaha menjadi wanita tersabar di dunia hingga saat itu.
Dara bergegas keluar kamar setelah apartemen itu sepi. Ia membuka semua jendela dan pintu, membiarkan udara terganti dan membawa aroma tidak sedap yang memicu mualnya.
Tangannya dengan cepat membersihkan kaleng-kaleng dan botol bekas minuman keras yang sudah kosong. Ia mengambil sapu dan membersihkan semua sampah makanan ringan dan puntung rokok yang berserakan hampir di mana-mana.
Di saat seperti ini, ia terpaksa menjadi keras kepada sisi dirinya yang sebenarnya sedang sakit. Ia tentunya tak mau membiarkan janinnya ikut menghirup bau alkohol yang pekat.
Dara dengan cepat mengepel seluruh lantai, dan menyemprotkan pewangi ruangan beraroma buah pinus. Ia menuju dapur apartemen yang terhubung dengan ruang tamu. Tidak ada makanan di sana. Di atas meja dapur, ia melihat dua lembar uang pecahan 50 pesso yang ditinggalkan oleh suaminya. Dengan 100 pesso itu ia bisa membeli nasi, seekor ikan goreng yang sedap, dan semacam sayur. Ah! Sudahlah. Ia terlalu lelah untuk pergi keluar. Ia mungkin saja tumbang di perjalanan sebelum mendapatkan makanan lezat itu.
Sekarang, ia tak punya pilihan lain. Perutnya yang lapar harus di isi. Ia bisa saja memesan makanan pesan antar, namun 100 pesso itu tak cukup baginya. Dara mendidihkan air di panci kecilnya, dan memasak sebungkus mie instan. Ia mengelus-elus perutnya yang belum begitu kentara di usia 3 bulan kehamilan.
“Enggak apa-apa, ya. Malam ini makan mie dulu,” ia berusaha berkomunikasi dengan bayi dalam kandungannya. Ia menipu rasa kuatirnya. Jelas sekali dokter yang menangani check up-nya selalu mengingatkan agar mengonsumsi makanan-makanan sehat saja, dan mengurangi asupan gula serta makanan instan.
Laparnya memang telah menjadi-jadi. Dalam beberapa menit saja, Dara menghabiskan semangkuk mie itu hingga tak bersisa setetes pun. Ia meminum air dingin dari gelas tingginya, dan duduk di lantai, bersandar pada tembok dapurnya. Apartemen itu begitu hening. Ini bukan sesuatu yang aneh.
Dara mengelus lagi perutnya itu, lalu menyeka matanya yang basah oleh rembesan air mata. Ia menangis sebentar tanpa mengeluarkan suara isakan sedikit pun.
...****************...
Brak!
Terdengar pintu apartemen sedang berusaha digebrak oleh tenaga yang cukup kuat. Dara terbangun dari tidurnya. Kelelahannya membuat ia pulas tertidur di lantai dapur setelah semangkuk mie yang ia habiskan.
Dara bergegas ke pintu, dan melihat dari lubang kaca pengintai, suaminya berdiri di sana sempoyongan dan memaki-maki pintu yang tak kunjung dibukakan.
Dara membuka pintu. Lelaki itu berdiri menatapnya seakan penuh kebencian kemudian tersenyum sesaat, lalu masuk seenaknya menghempaskan sepatunya ke mana-mana.
“Makan apa tadi? Ada makanan?” pria itu berbaring di sofa sambil menutup matanya.
“Mie instan. Aku enggak masak tadi. Kepalaku lagi pusing.” Dara menjawab seperlunya saja.
Lelaki itu membuka mata dan duduk tegak menatap Dara yang sedang membereskan jaket dan sepatunya yang terlempar kesana kemari.
“Kenapa makan mie? Beli enggak bisa?” ia bertanya lagi sambil terus memandangi istrinya.
“Enggak apa-apa. Aku sudah lapar banget tadi. Enggak akan kuat harus pergi beli makanan sendirian,” jujur, Dara menjawab.
Lelaki itu tertawa sinis, sambil melepaskan jam tangannya.
“Terserah mau makan apa. Yang pasti kalau sakit jangan sampai mengeluh,” ia tampak tak terbeban sedikitpun berkata demikian kepada perempuan yang tengah hamil. Dara mengepalkan tangannya, hingga kukunya mengenai telapak tangan. Ia berbalik ke arah suaminya.
“Aku berusaha makan yang sehat. Aku enggak kamu berikan akses ke kartu ATM aku sendiri. Aku enggak bisa belanja bahan makanan kecuali pergi dengan kamu, Bi. Hari ini kamu malah mabuk, bagaimana aku bisa pergi cari makanan yang sehat?” Dara tampak tidak bisa lagi menyembunyikan kekesalannya. Ia telah bekerja lelah seharian, namun pulang mendapati rumah dengan minuman alkohol, kemudian ditinggal pergi begitu saja.
“Jadi maksud kamu? Kamu pikir teman-teman saya enggak penting? Saya tinggalin uang, bukan? Harusnya kamu punya otak untuk beli sesuatu untuk di makan!” suaminya kali ini berbicara dengan nada yang betul-betul membentak.
Dara meneteskan air matanya. Di hampir setahun pernikahannya ini, suaminya kian hari kian menjadi dingin dan kasar kepadanya. Setidaknya bukan kali pertama, dahi Dara ditoyor dengan jari suaminya itu. Ia juga sering risih jika jalan bersampingan dengan Dara. Beberapa kali, Dara harus terpisah kereta, karena ditinggal lebih dulu oleh suaminya itu ketika bepergian ke suatu tempat.
“Aku sabar selama ini. Aku berusaha jadi apa kata orang, ‘istri adalah tempatnya sabar’. Aku kira setelah aku hamil, kamu bisa berubah, Bi. Setidaknya anggap aku ada di sini, dan rubah nada bicara kamu,”
“Hah? Berubah? Apanya? Nada bicara? Kenapa? Apa yang salah?!!” lelaki itu tampaknya mulai emosi dan bangkit dari duduknya.
“Hanya karena saya pergi dengan teman-teman, dan kamu makan mie instan, kamu pikir bisa mencari-cari kesalahan?” sambungnya.
Dara terdiam dengan air mata yang semakin deras. Oh tidak! Ini terjadi lagi. Suaminya yang sering lepas kendali setelah menenggak alkohol.
“Dar! Saya juga sudah punya anak. Saya enggak pernah memaksa kamu untuk hamil. Gampang jika itu terus kamu ungkit, kamu bisa pergi untuk minta doktermu menggagalkan kehamilan itu!” lelaki itu menjawab tanpa berpikir panjang.
Dara tetap berdiri, terdiam kaku, dan air mata terus merembes hingga tak bisa dikontrol. Bagaimana bisa ada seorang suami yang tega mengatakan hal semacam itu kepada istrinya yang belum genap setahun dinikahinya?
“Kamu selalu begitu, Tom! Aku seperti enggak ada di sini. Kamu selalu ungkit lagi anak-anakmu! Kamu selalu mengungkit Farah! Kenapa kamu harus ikut aku ke sini? Kalau tahu begitu, kamu bisa tinggal di sana dengan mereka!” Dara meluapkan kekesalannya kepada suaminya, Tomi ... Ya, Tomi ...
Lelaki yang sedang mabuk itu terlihat mendengus. Ia menghampiri Dara, dan menatapnya dengan wajah penuh amarah. Ia meraih sebuah gelas kaca di atas meja dapur dan dilemparkan melayang ke arah televisi.
Prang!!!
Gelas itu hancur berkeping-keping terhempas di lantai, dan layar TV seketika penuh dengan retakan.
Dara menjadi takut, dan terus menangis dengan suara kecil.
Tomi meraih belakang leher perempuan itu, dan menempelkan dahi mereka.
“Saya ... tinggalkan anak-anak saya, dan Farah, untuk kamu. Paham?” ia berbicara dengan nada penuh amarah namun suara yang pelan.
Dara terdiam tak menjawab. Tomi memundurkan sedikit kepalanya dan membenturkan dahinya pada dahi Dara dengan kencang.
Perempuan itu menahan sakit, dan menangis. Kini rambutnya berada dalam genggaman Tomi.
“Saya mau pergi, kek. Saya mau datang, kek. Terserah saya. Saya bisa tinggalkan kamu kapan saja!” ia mencengkeram rambut Dara lebih kuat lagi dan menghempaskan perempuan itu ke lantai.
Dara menahan sakit pada kulit kepalanya. Wajahnya telah basah dengan air mata yang mengalir deras. Amarahnya kali ini tak bisa ia biarkan padam begitu saja.
“Kalau memang begitu, kenapa kamu nikahi saya? Hanya untuk manfaatkan apa yang saya punya?” ia kali ini berani membalikan ujung tombak pada Tomi.
Tomi semakin menjadi-jadi. Ia pergi menghampiri perempuan yang masih terkapar di lantai itu, dan menaruh telapak kakinya tepat pada wajah istrinya.
“Diam kamu, bajingan!” ia menghardik wanita hamil itu sambil menekan telapak kakinya pada wajahnya.
Dara bisa merasakan sakit yang luar biasa pada tulang pipinya yang tertekan pada ubin. Ia berusaha mendorong kaki Tomi agar terlepas dari pipinya. Lelaki itu ternyata begitu kuat ketika menyiksanya.
Dara berteriak dan menangis kesakitan. Di apartemen dengan ruangan setengah kedap suara, tak ada yang akan mendengarnya. Seperti biasa, ia hanya bisa berteriak sekuat tenaga. Lagi pula, semua orang pasti sudah tertidur pulas, dan Dara tidak kenal baik dengan penghuni lain di lantai itu.
Tomi mengangkat kakinya, dan menendang punggung Dara. Ia seakan tak punya perasaan apa pun dengan melakukan hal itu. Ia juga seakan lupa bahwa istrinya ini sedang mengandung.
Dengan penuh amarah, ia membanting apa pun yang ada di atas meja dapur, sambil memaki-maki istrinya.
Dara merasa begitu takut. Ia meringkukkan badannya di lantai dan melindungi perutnya.
“Cuih!” Tomi kelihatan begitu bengis dan meludahi istrinya yang berbadan dua.
Dara sudah terlihat seperti bayi dalam kandungan, dengan badan yang menutupi wajah dan perut.
Brak!
Pintu ditutup dengan bantingan kuat dari Tomi yang melangkah pergi.
...****************...
Dara meluruskan kakinya yang sedari tadi menutupi perutnya. Untuk sejenak, ia tak bisa berpikir, dan tak merasakan hal lain selain kesedihan yang begitu parah.
Ia tidak menyangka hal ini akhirnya terjadi pada dirinya, dan suaminya yang mabuk itu seolah tak sedikit pun menginginkannya dan bayi yang dikandung.
Dara tertegun dengan air mata yang terus mengalir. Kepalanya mulai bercakap-cakap dengan diri sendiri.
Mengapa ini terjadi padaku? Mengapa aku? Mengapa dia?
Ia terus saja berdebat dengan batinnya sendiri. Begitu banyak suara yang muncul saat ini di kepalanya.
Dalam hidupnya ia banyak mengalami kejadian yang pilu, namun penolakan yang nyata ini benar-benar mengiris habis hatinya.
Dara mendekati barang-barang yang berserakan. Tangannya menghampiri pecahan gelas yang begitu tajam. Ia seperti sudah setengah tidak waras, dan tak merasakan apa pun.
“Kamu, enggak boleh menderita seperti mama,” ujarnya sambil menancapkan pecahan gelas pada lengannya berkali-kali, dan menyayat hampir seluruh pergelangan tangannya. Ia berhenti ketika setengah lengannya itu sudah penuh dengan darah yang mengalir.
Dara terbaring di atas benda-benda yang berserakan. Dengan air mata yang terus membanjiri wajahnya, dan suara-suara yang terus berbicara dalam pikirannya, ia menyaksikan tangannya dengan empat luka sayatan dalam, dengan daging yang kelihatan. Darah mengucur dengan deras dari luka-luka itu, dan ia seakan tak peduli apa yang terjadi. Yang ia pikirkan saat ini ... yaitu menghabiskan darah dalam tubuhnya, agar anaknya tak perlu hidup dan mengalami banyak hal pilu.
Tomi bukan tipikal suami dengan perangai romantis. Ia juga cenderung bersikap kasar kepada Dara. Ini bukan kali pertama ia melakukan kekerasan. Sejak hari pertama setelah mereka menikah, ia terus mendoktrin Dara agar menjadi istri yang mengikuti kemauan suami, dan jangan banyak permintaan.
...****************...
“ Are you okay?” samar-samar terdengar suara lelaki, dan harum obat-obatan yang begitu semerbak ke penciuman Dara.
Dara berusaha membuka matanya, berharap ia sudah berpindah alam. Ia bisa melihat seorang pria berjubah dokter dan stetoskop melingkar di lehernya. Ia menoleh pada lengan kirinya yang telah dibalut. Dokter itu tidak memaksanya bicara. Ia mengatakan, mereka telah membersihkan luka-luka Dara dan memberikan banyak jahitan untuk menutup lukanya. Dara tertegun. Dokter ini mungkin saja telah memberikannya banyak obat-obatan dan anestesi, sedangkan ia sedang mengandung.
Dara tetap berusaha tenang. Ia memberi isyarat kepada dokter itu bahwa ia baik-baik saja. Ia bisa merasakan bius yang masih baru di lengannya yang telah dibalut.
Dokter itu pergi meninggalkan ruangan. Jam dinding menunjukkan pukul 03.00 pagi. Seseorang telah membawanya ke sini. Seseorang membawanya ke rumah sakit ini. Dara melihat sekeliling kamar itu. Ia terperanjat melihat Tomi yang tidur pada sofa di sudut ruangan. Bunyi tempat tidurnya, membangunkan lelaki itu.
Tomi terbangun dari tidurnya dan melihat dara yang setengah duduk di tempat tidur. Ia menghampiri wanita itu, dan mengelus ubun-ubunnya.
“Kenapa harus seperti itu? Kamu terluka di mana-mana,” pertanyaannya membuat Dara tahu, ia sudah sedikit sadar dari mabuk.
“Kenapa kamu bawa aku ke sini?” Dara kali ini merasakan kebencian yang amat mendalam pada lelaki itu.
Tomi menggenggam tangan istrinya itu, meletakkannya pada perut hamilnya, dan berkata, “Ingat yang di sini. Jangan egois. Maafin aku. Aku mabuk.”
Ya! Memang semudah itu. Setiap kali ia mabuk dan merendahkan istrinya, ia akan datang dengan mudahnya meminta maaf. Perubahan hormon dalam kehamilan ini, tampaknya membuat Dara tak cukup tegar untuk menahan kesedihan yang sudah biasa ia terima, dan memutuskan menyayat setengah lengannya.
...****************...
Dara tersadar dari lamunannya dengan suara Jeje yang memanggilnya untuk membuatkan satu lagi roti lapis. Ia segera menyimpan botol lotion dan merapihkan lengan bajunya lagi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments
ss
semangat Dara, ingat 3 bocah yg masih butuh kamu 🤍
2022-06-28
0
Meymey
gila bisa-bisanya nikah sama Tomi😭
2022-06-28
0
Raly Amnifu
damn
2022-06-28
0