Ini terbilang gila ... Dara bukan saja cantik, dan menarik. Ia juga tahu, ada begitu banyak lelaki yang menunggunya, termasuk Bima. Di penghujung bulan setelah ia mengajukan pengunduran diri dari Savana, Bima masih terus berusaha berkomunikasi dengannya.
Beberapa kali mereka tidak berkomunikasi selama beberapa hari. Bima tentunya menjadi sangat sibuk karena pembukaan hotel yang sudah tinggal hitungan hari.
Di satu sisi, saat itu Dara sedang mencoba beradaptasi dengan kehidupan di kota baru itu. Ia berusaha agar terlihat kuat, meskipun rasanya bercampur aduk pergi merantau meninggalkan ibu dan keluarga yang ia cintai.
Meskipun sudah lewat beberapa bulan, Dara tidak pernah menanyakan apa yang diributkan oleh Bima dan Tomi sehingga lelaki itu memutuskan pergi dari Savana.
Di kota barunya, hanya Tomi orang yang sudah cukup lama ia kenal. Tomi berhasil membawa gadis ini ikut dengannya. Ia tahu Dara seorang wanita dengan pendirian yang teguh, ia tidak mudah didekati oleh sembarangan orang.
Keadaan, dan jarak membuat mereka semakin dekat satu sama lain. Dara sudah bisa lebih santai kepada Tomi, dan lelaki itu terlihat menyenangkan. Ia terlihat begitu memperhatikan Dara, dan setiap akhir pekan mengajaknya pergi berjalan-jalan keliling kota.
Meskipun begitu, ia tidak pernah lupa dengan pesan dari Bima mengenai Tomi.
Dara terlibat dalam percakapan yang cukup serius dengan Tomi di suatu saat. Tomi memperlihatkan sebuah foto dengan tiga orang anak kecil yang sedang bermain di teras sebuah rumah. Jadi ini, anak Tomi yang pernah diceritakan Bima kepadanya.
Tomi juga menunjukkan foto seorang wanita berkulit gelap, dengan bibir berwarna gelap, dan jerawat pada sekujur wajahnya. Namanya Farah.
Tomi akhirnya menceritakan bahwa Farah dengannya secara hukum masih menjadi suami istri, namun ia beberapa kali telah mentalaknya.
Ia begitu lugas dan gamblang bercerita mengenai Farah. Farah dulunya adalah pegawai biasa di sebuah cafe tempatnya juga menjadi orang penting di sana. Mereka tidak pernah berpacaran, dan tidak pernah mengenal satu sama lain.
Di sebuah pesta akhir tahun, Tomi melakukan kesalahan dengan menidurinya ketika mabuk. Beberapa minggu kemudian, wanita itu menghampiri Tomi di ruang kerja, dan membawa sebuah alat tes kehamilan positif.
Sisi baik dari Tomi, ia tetap menikahi Farah meskipun ia tak merasakan sedikit suka kepada wanita itu.
“Dia bukan tipeku. Dia bukan perempuan dengan paras yang bisa memikat,” itu yang diterangkan Tomi kepada Dara.
Wanita bernama Farah itu tidak bekerja. Menurut Tomi, ia tidak begitu bisa mengerjakan banyak hal dengan pengetauannya yang pas-pasan. Apalagi setelah anak pertama mereka lahir, bayi prematur itu sering kali menangis beram-jam.
Itu bukan satu-satunya hal yang Tomi benci tentang Farah. Ia bercerita, keluarga Farah menetapkan mahar adat yang terlampau tinggi untuk gaji Tomi yang tak seberapa saat itu. Ia harus bersusah payah memenuhi hal itu agar bisa menikahi gadis yang tidak ia cintai itu.
Sepanjang pernikahannya dengan Farah, mereka hanya bertahan berada di satu rumah selama dua tahun saja. Selebihnya, Farah kembali ke rumah orang tuanya membawa serta anak-anaknya. Ia tinggal menunggu Tomi untuk mengirimkan jatah uang bulanan, setidaknya 75% dari gaji Tomi.
Tak heran, Tomi sering kali mentertawakan dompetnya yang hampir kosong, kepada Dara. Dara menganggap itu sesuatu lucu. Seorang suami yang keuangannya takluk di bawah kuasa istri, memang benar-benar ada di dunia nyata.
Bagi beberapa orang yang telah mengenal Tomi, sebuah hal biasa ketika melihatnya sering bepergian bersama dengan Dara. Mereka bahkan sering membuat lelucon jika Tomi akan menikahi Dara.
Dara ternyata hanya sebuah spons tebal. Lambat laun ia menyerap semua perasaan dan perhatian yang diberikan oleh Tomi. Namun, ia tentu tahu semua akan menjadi kesalahan apabila ia meneruskannya. Lelaki ini memiliki seorang wanita yang masih memakai cincin nikah. Pilihannya adalah melupakannya, atau menjauh.
...****************...
Drrt!
Ponsel Dara bergetar di atas meja kerjanya. Rara melihat sebuah pesan singkat dari nomor yang tak dikenalnya.
[ Ini Dara? ]
Pesan itu begitu singkat. Dara mengiyakan dengan balasan singkat.
Ponselnya berdering. Nomor tak dikenal itu melakukan panggilan suara. Dara tanpa ragu menjawabnya dengan nada ramah layaknya ia menjawab telepon lainnya.
“Iya. Ini aku, Farah” suara itu terdengar dengan logat yang tidak biasa.
Farah? Dara tidak yakin apakah ini adalah orang yang sama yang diceritakan oleh Tomi.
“Farah? Maaf, Farah siapa?” ia memastikan.
Wanita dalam panggilan itu diam sejenak, lalu menjawab, “Farah. Aku istri Tomi. Kamu pasti sudah dengar banyak soal aku, Dara ...”
Jantung Dara seketika terasa berhenti. Ada apa? Mengapa tiba-tiba wanita itu meneleponnya.
“Hai. Ada apa?” hanya itu yang bisa Dara katakan kepada Farah. Entah apa yang ada di kepala perempuan itu hingga berani menelepon Dara.
“Aku Farah. Aku istri Tomi. Dia pasti sudah cerita banyak tentang aku dan anak-anakku. Aku tahu kamu dan Tomi, dekat. Dia yang beritahu aku. Enggak apa-apa, dia sudah biasa begini. Kamu pasti sudah dengar, dia dan aku menikah karena apa.” Dara seketika tertegun mendengar kalimat-kalimat yang begitu tepat dari Farah.
“Maaf, mbak. Saya memang dekat dengan Tomi. Tapi, tidak sejauh yang mbak pikirkan ...” sebagai sesama wanita, Dara tidak ingin perempuan ini merasakan kecewa dan menganggapnya tidak tahu diri.
“Enggak apa-apa, Dar. Kamu cantik. Aku lihat beberapa foto kamu. Kamu masih muda, dan bagus dalam karier. Tomi pasti memang sangat senang dekat dengan kamu. Saya tidak masalah tentang itu. Selagi jatah kami di sini tidak diapa-apakan. Maaf, tapi hal seperti itu pernah terjadi,” Farah terdengar seperti seseorang yang sudah biasa mendapatkan kabar suaminya dekat dengan perempuan lain. Ia bukan bagai seekor singa betina yang menjaga teritori. Tampaknya hal seperti ini sudah sering ia bicarakan dengan suaminya.
Memang aneh ... Bagaimana perasaan Dara berpaling dari mengagumi Bima, dan berbalik menyukai Tomi. Mungkin banyak waktu yang dihabiskan bersama, menciptakan rasa nyaman baginya. Entahlah ...
“Maaf mbak. Saya tidak pernah ikut campur tentang itu. Sekali lagi, kami tidak sejauh yang mbak bayangkan.” Hanya itu yang bisa Dara tegaskan kepada Farah yang menggiringnya kepada opini bahwa ia menyetujui kedekatannya dengan Tomi. Bagaimana pun, itu terasa seperti sebuah kesalahan.
“Baik ... Hanya itu pesan saya. Kamu mungkin tidak sejauh itu, tapi suami saya sejauh itu ...” sepertinya perempuan ini mulai meyakinkan Dara bahwa suaminya bermaksud lebih jauh dengannya.
“Saya harus urus anak-anak dulu ... Saya juga tertarik mau tahu kamu lebih jauh ... Kita boleh saling bertukar pesan. Mungkin lewat BBM?” sambungnya kepada Dara.
“I ... iya, saya tidak masalah mbak,” Dara mengiyakan sesuatu yang sebenarnya ingin ia tolak mentah-mentah.
‘Sial!’ umpatnya pada diri sendiri ketika panggilan itu berakhir. Ia harusnya menolak ajakan perempuan itu untuk berteman. Bukankah sebelumnya, ia sudah memikirkan hal ini? Ini tentu bukan hal tepat yang dilakukan.
Dara mengambil ponselnya, dan melakukan panggilan ke nomor Tomi. Hanya satu dering, panggilan itu dijawab oleh Tomi.
“Farah telepon aku. Ada apa?”
“Iya kah? Sudahlah dia Cuma mau kenal kamu. Enggak ada apa-apa. Bisa kita ketemu malam nanti?”
Dara mengiyakan, lalu memutuskan panggilan itu. Ia harus bertemu dengan Tomi untuk mencari tahu apa yang terjadi. Dengan pekerjaan barunya yang lebih sibuk, ia tidak ingin ada hal-hal seperti ini yang kapan saja bisa mengganggu fokusnya.
Dara membuka BBM-nya, terlihat sebuah permintaan dari Farah. Ia menerima permintaan itu, dan sebuah pesan dengan cepat masuk ke daftar kotak masuk.
Farah: [ Kamu cantik. Aku suka fotonya. ]
Dara tidak tahu apa yang harus ia jawab kepada wanita itu. Ia membuka foto profil wanita itu dan memperhatikannya. Tepat sekali seperti yang digambarkan oleh Tomi. Wanita dengan kulit gelap, bibir berwarna gelap, dan jerawat yang bertebaran. Tapi sebagai seorang perempuan muda, Dara tidak pernah berpikir bahwa dirinya lebih baik dari wanita mana pun. Ia malah cenderung tidak percaya diri, meski banyak orang yang menyanjungnya.
Dara: [ Thank You. Kamu juga. ]
Foto profil pada akun BBM itu tiba-tiba berubah. Farah menggantinya dengan foto pernikahannya. Ia terlihat kurus kering dalam foto itu, dan Tomi tidak seberisi sekarang. Sebuah pesan lain masuk dalam daftar kotak masuknya.
Tomi: [ Lihat foto profil aku. ]
Dara membuka foto profil Tomi. Itu adalah fotonya bersama Dara di sebuah pesta di sebuah kelab malam. Dara mulai tidak memahami kedua orang itu.
Dara: [ Oke. Aku harap ini enggak akan menyeret aku ke dalam masalah apa pun, Tom. ]
Tomi: [ Aku yakin dengan kamu. Aku mau menikah dengan kamu, secepatnya. Farah tahu soal ini. ]
Dara terdiam dan sangat kaget membaca pesan itu. Ia sama sekali tidak pernah menyiapkan diri untuk hal semacam ini.
Tidak dapat dipungkiri, ia memang menaruh hati pada Tomi akhir-akhir ini. Namun, menikah dengannya bukan hal yang ia inginkan.
Dara: [ Kamu beristri. Aku tidak mungkin menendang seorang ratu dari singgasananya. ]
Tomi: [ Tapi seorang raja punya singgasana lain untuk selir-selirnya. Agamaku memperbolekan, Dar. Negara kita memperbolehkan. ]
Sekarang, perasaan Dara menjadi bercampur aduk. Ada begitu banyak perubahan yang akan dilakukan jika ia mengiyakan omongan Tomi. Ia harus berpindah agama, menjadi istri kedua, dan ia sama sekali tidak tahu pernikahan macam apa yang akan terjadi dalam sistem poligami.
Ia bahkan tidak tahu apakah semudah itu, ia akan menjalani semuanya. Pikirannya menjadi teramat berat. Mengapa tiba-tiba ia berusaha mempertimbangkan semua ini?
Bagaimana dengan ibunya? Bagaimana dengan kariernya? Masih banyak hal lain yang muncul dalam sepersekian detik ketika membaca pesan dari Tomi.
Banyak sekali yang akan berubah kehidupannya. Tak hanya dirinya, tapi Farah, dan semua orang yang berkaitan dengan mereka.
Dara: [ Ini bukan sebuah hal yang gampang. Aku kurang begitu suka dengan cara istri kamu. Aku bukan perempuan gampangan seperti yang ia kira. Apalagi sampai mengingatkanku agar tidak menyentuh jatah bulanan anak-anak. ]
Tomi: [ Farah memang seperti itu. Dia enggak begitu peduli tentang aku. Yang ia selalu pastikan, gajiku pergi terbang menuju rekeningnya tepat waktu. ]
Dara: [ Tetap saja ... Semua ini enggak bisa kamu gampangin. Aku belum tentu bisa hidup dengan orang yang sudah beristri. Aku tidak sekuat itu. ]
...****************...
Raut wajah Dara tak bisa menipu. Ia berpikir keras tentang apa yang dikatakan oleh Tomi. Kini mereka bertemu untuk meluruskan semuanya.
Tomi telah beberapa kali memperkenalkan sosok Dara kepada Farah. Istrinya itu tampak tak begitu kaget. Beberapa kali, suaminya itu memang dekat dengan wanita lain, namun hanya kali ini ia ingin mempersunting wanita yang didekatinya.
Tomi menatap Dara yang terus menghindari kontak mata dengannya. Perempuan itu jelas terlihat kebingungan.
“Dia mau ke sini nanti. Tolong temui dia, dan bersikaplah biasa saja.” Tomi menyadarkan Dara dari lamunannya yang cukup panjang.
“Apa? Kapan?” Dara sungguh tidak siap dengan apa yang baru saja didengarnya.
“Lusa. Dia bawa anakku yang kedua dan ketiga.” Tomi menjawab dengan entengnya.
Begitu aneh ... Seketika Dara terbakar api cemburu. Ia begitu dekat dengan Tomi, namun kali ini pemilik sah lelaki itu akan datang. Mereka tentunya akan tinggal bersama beberapa hari.
Hati memang bisa membuat pikiran menjadi tidak sejalan. Dara tiba-tiba ingin sekali mencegah Tomi untuk membiarkan istrinya datang.
“Terserah kamu,” Dara menjawab singkat dan tidak dapat menyembunyikan kekesalannya.
“Aku enggak akan sekamar dengan dia. Aku juga harus perhitungkan perasaan kamu ...” sepertinya Tomi membaca apa yang terlintas di pikiran Dara.
“Bu ... bukan itu yang aku pikirkan. Itu enggak masalah. Aku hanya enggak siap untuk ini,” Dara berusaha menutupi rasa cemburunya yang menggebu.
Tomi menggenggam tangan Dara dan mencoba meyakinkannya.
“Tolong pertimbangkan ini. I want you. Aku enggak akan buat kamu kecewa.” Ujarnya.
“Bukan tentang kecewa aku, Tom. Ini tentang kecewa Farah.” Dara merasa begitu berat dengan adanya Farah. Lain cerita jika Farah hanya sekedar mantan istri.
“Dia enggak peduli. Kami hanya berstatus nikah di atas kertas. Kamu tetap akan jadi yang bersama aku seterusnya,” lelaki itu berusaha meyakinkan Dara.
Entahlah ... Dara begitu terjebak dalam perasaannya sendiri. Ia sendiri tidak dapat memilah bagian mana yang harus ia hindari saat ini.
...****************...
Kamar menjadi berbau semerbak dengan semprotan parfum Dara. Gadis itu terlihat begitu cantik dalam balutan dress selutut berwarna peach, dan sepatu tumit rata berwarna kulit.
Kulitnya terlihat begitu cantik dengan balutan bajunya. Riasan tipisnya seperti biasa pada kulit putihnya.
Dara bergegas menaiki mobil yang sudah menunggunya sejak beberapa menit lalu. Mobil itu membawanya pada hotel tempat Tomi bekerja. Tomi sudah menunggunya di lobby.
Tomi menggenggam tangan Dara, lalu memasuki elevator menuju lantai empat. Di depan sebuah kamar, mereka menunggu. Seseorang membuka pintu dari dalam, dan langsung terdengar suara bocah-bocah yang sedang riuh.
Farah berdiri di balik pintu, dan tidak berkata apa pun ketika melihat Tomi datang menggenggam tangan Dara. Ia bergegas memisahkan kedua anaknya yang sedang memperebutkan sebuah makanan ringan.
Dara menarik tangannya dari genggaman Tomi. Tidak seperti di telepon, Farah terlihat tidak peduli dengan kehadiran Dara. Wajahnya tampak tak berekspresi dan tidak mau melihat ke arah Dara.
Dara sekejap menjadi serba salah. Ia seharusnya tidak perlu repot-repot datang menemui wanita itu. Ini bukan ide yang baik.
“Ini Dara. Kamu sudah lihat dia beberapa kali di foto, bukan?” Tomi memecahkan suasana dingin di kamar itu. Bocah-bocah yang sedang bermain itu, tiba-tiba datang menarik-narik ujung dress Dara, dengan riang. Mereka tentunya tidak paham apa yang terjadi. Yang mereka pahami hanya seorang gadis cantik yang mengenakan dress menarik.
“Iya aku sudah tahu. Kita sudah ngobrol beberapa kali lewat chat. Iya kan, Dar?” akhirnya Farah bersuara juga. Suara rendah yang terdengar berat, untuk ukuran perempuan.
“Farah pulang lusa nanti ...” ujar Tomi menambahkan, dan duduk di samping Dara.
Dara tidak berkata sepatah pun. Ia sedang berusaha memperhatikan pasangan itu. Sepertinya tak ada yang patut ia cemburui. Tomi tidak sedekat itu dengan istrinya.
“Anak-anak belum makan. Bisa tolong pesankan makanan di cafe di bawah?” Farah menoleh kepada Tomi. Tanpa basa basi, Tomi meninggalkan kedua perempuan itu sendiri di dalam kamar.
Farah sibuk mengganti baju anaknya. Ia dapat melihat Dara yang duduk, dan parfumnya yang harum.
“Soal kamu dan Tomi ... Aku enggak setuju.” Farah berceletuk. Apa yang dikatakannya kali ini begitu berbeda dengan sikapnya melalui BBM.
“Aku tahu, mbak. Aku juga sudah bilang ke Tomi. Mungkin mbak harus bicara dengan Tomi, karena bukan aku yang memaksa maju.” Entah apa yang ada di otaknya, Dara berusaha melawan wanita itu. Baginya, ia tidak akan membiarkan dirinya dianggap sebagai seseorang yang merangsek maju di dalam pernikahan orang lain.
“Dia itu tidak bisa dikasihtau. Percuma saya omong dengan dia. Tapi kalau dia tetap mau menikahi kamu, selagi dia tidak mengurangi jatah bulanan kami, saya akan setuju,” kini Farah berubah pikiran lagi.
Dara berpikir sejenak. Apakah sedemikian parah hingga wanita ini terus-terusan menegaskan tentang jatah bulanan?
“Saya punya pekerjaan, mbak. Selama ini saya tidak pakai sepeser pun dari Tomi,” Dara mempertahankan harga dirinya.
“Saya akan terus bersama Tomi, jika dia meminta, dan mbak setuju. Saya tahu ini salah,” kali ini Dara sudah hilang akal sehat.
“Saya setuju jika dia terus memaksa. Saya harus sadar diri, dia tidak pernah mau hidup sama saya. Tapi bagaimana pun, saya istri sah menurut hukum.” Ujar Farah menegaskan posisinya.
“Saya tidak tahu, tapi dengar-dengar, ibunya juga tidak setuju soal kalian. Bukankah itu akan sulit untuk kamu?” tambahnya.
Ibunya? Dara tidak pernah melihat seperti apa sosok ibu yang melahirkan Tomi. Yang ia tahu, wanita itu masih bekerja sebagai pengajar hingga sekarang. Tomi pernah bercerita bahwa ibunya juga seorang istri pertama, dan ayahnya pernah menikah lagi dengan perempuan lain dan memiliki anak.
Sifat ini ... seperti sesuatu yang turun temurun.
“Menikahlah. Tomi pasti sangat senang dengan kamu. Lagian dengan pekerjaan kamu, dia bisa punya uang saku,” ujar Farah lagi.
...****************...
Setelah pertemuan itu, Dara benar-benar kehilangan akal sehat. Tiba-tiba saja, nama Tomi itu seakan-akan mengontrol semua perbuatannya. Ia mendapatkan keberanian, berpindah keyakinan. Hal itu lantas membuat ibunya menjadi kecewa, dan memutuskan komunikasi dengannya. Di malam ketika ia memberitahu telah berpindah keyakinan, Dara tidur dengan mata yang bengkak karena menangis selama berjam-jam lamanya.
Ia juga telah memberitahu ibunya bahwa ia akan menikah dengan Tomi. Adik-adiknya bukan orang yang ketinggalan zaman. Mereka dengan mudahnya mendapatkan informasi mengenai Tomi yang sudah beristri.
Semua urusan tampak mulus di tangan Tomi. Tanpa menunggu berbulan-bulan, semua yang dibutuhkan untuk pernikahan mereka, sudah siap. Mereka telah memilih tanggal di penghujung tahun, beberapa hari sebelum tahun itu berakhir.
Farah tampaknya baik-baik saja. Ia terus mengirimkan beberapa pesan kepada Dara. Namun, Dara jarang membalas pesan-pesan itu. Dara tidak bisa fokus kepada hal lain, sedangkan ia merasakan campur aduk yang luar biasa menjelang pernikahannya.
Pagi itu, beberapa teman kerja sibuk menemani Dara. Di kamar suite itu, Dara sedang dirias. Ia terlihat berbeda dari biasanya. Di hari biasa, ia hanya memakai riasan tipis pada wajahnya. Kali ini, di hari pentingnya, ia dirias bak seorang putri raja.
Ia tak bertemu dengan Tomi pagi itu. Hal itu pantang dilakukan bagi pasangan yang akan melangsungkan pernikahan. Tomi akan boleh menemuinya apabila akad sudah dilangsungkan.
Dalam kegundahan, Dara menunggu bersama teman-temannya di kamar itu. Ia beberapa kali harus menyeka telapak tangannya yang berkeringat. Tetap saja, ia memikirkan ibunya. Sampai detik itu, ia memikirkan banyak hal.
Ding dong!
Bel kamar berbunyi. Seorang dari teman Dara bergegas melihat dari kaca pengintip di pintu.
“Dara. Selamat ya, Dar. Kamu dijemput suami, tuh.” Ia memeluk Dara dengan bahagia dan membuka pintu itu.
Tomi dengan jas abu-abu dan rambut yang rapi berdiri di depan pintu. Ia tersenyum kepada Dara, dan Dara membalas senyuman itu.
‘Lelaki ini ... Ia telah menjadi suamiku ... Aku telah menjadi madu wanita itu ...’ pikirnya dalam hati.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments