Bab baru dimulai. Siapa sangka dengan terkuaknya hasil tes narkoba itu, Tomi menjadi jinak. Tampaknya alam membalikan semua saat ini, dan untuk beberapa saat setelah mereka mengunjungi tempat rehabilitasi itu untuk mendaftarkan suaminya, Dara bisa sedikit bersantai dan mengangkat dagu. Dalam beberapa minggu kedepan ... atau ... entahlah, mungkin hingga Tomi menyelesaikan rehabilitasinya, Dara akan memegang kendali. Ia akan menjadi satu-satunya sumber penghasilan. Itu tentunya bukan hal yang baik, tetapi menguntungkannya untuk mencegah Tomi berlaku kasar kepadanya.
Tempat rehabilitasi itu rupanya bukan tempat sembarangan. Para pasien rehab adalah orang-orang berduit dengan profesi yang bukan main-main. Tak hanya untuk mengatasi kecanduan atas narkoba, tetapi juga terhadap candu lain, seperti alkohol, perjudian, dan prostitusi.
Tomi memang orang yang pandai mengambil hati dalam pergaulan. Baru beberapa hari saja, ia sudah mendapat banyak teman dalam kelompok rehab itu. Beberapa orang yang begitu dekat dengannya, kadang mengantarnya pulang. Mereka mengendarai mobil-mobil mewah, dengan harga yang bukan main-main. Beberapa dari mereka adalah kolektor fashion, mulai dari baju bermerek, hingga sepatu-sepatu jenis Jordan yang tak mampu dibeli orang awam di pasaran.
Belakangan ini dalam dua minggu rehabilitasi, Tomi akan pulang dan singgah ke kantor mereka. Ia harus menemui Dara, dan mengambil Kio dari wanita karier itu. Seperti apa yang mereka bahas, dana yang tak cukup untuk semua kebutuhan akhirnya membuat Dara tidak lagi menggunakan pengasuh anak, namun membawa Kio bersamanya di kantor.
Kio berada bersama Tomi sepanjang hari setelah ia pulang dari rehabilitasinya. Dengan menggunakan kereta MRT, Tomi akan sampai di kantor sekitar pukul 12 siang, dan membawa Kio pulang bersama dirinya.
Membawa seorang bayi ke kantor, bukan hal yang mudah. Dara harus berkonsentrasi pada pekerjaannya, sembari menengok anaknya sesekali dalam kereta bayinya. Sebuah hal yang baik, teman-teman satu timnya kelihatan sekali paham akan apa yang sedang mereka hadapi. Orang-orang baik itu seringkali bergantian menggendong Kio ketika menangis, juga membawa bocah itu berjalan-jalan ke Mall yang ada satu gedung dengan kantor mereka. Tak hanya itu, izin membawa bayi ini datang dari manajer operasional di kantor mereka, sehingga semua orang dapat menerima kehadiran Kio di sana.
Beberapa hari sebelum Tomi masuk rehabilitasi, Kio biasanya berada seharian hingga jam pulang kantor. Namun, setelah ia berada di rehabilitasi, Kio bisa pulang dengannya lebih awal.
Pegal sekali rasanya sore itu. Karena harus membawa Kio, Dara jadi bangun lebih awal daripada biasanya. Ia harus menyiapkan diri, juga anak yang akan ia bawa. Dara bergegas merapikan mejanya. Ia akan segera pulang untuk menemui keluarga kecilnya di rumah.
“Mama pulang!” suara Tomi mengagetkan Dara yang baru saja hendak membuka pintu. Ia menggendong Kio dan membukakan pintu untuk Dara.
“Hai. Anak mama, apa sudah ma-“
“Sudah ... sudah kenyang, mandi, dan jalan-jalan ke taman,” Tomi menyela pertanyaan Dara yang belum selesai. Bak seorang profesional, Kio sudah terlihat rapi, dan aroma yang enak pada rambutnya. Bayi itu terlihat segar, dan perutnya terasa telah terisi penuh.
‘Ah. Pas sekali, aku sedang sakit punggung’ pikir Dara dalam hatinya. Ia meletakkan tasnya, lalu berbaring di lantai meluruskan tulang punggungnya yang mungkin sudah morat marit.
Sejak Kio lahir, badan Dara kian mengurus. Tulang rusuknya terlihat dengan jelas ketika ia bergerak, dan tulang selangkanya begitu mencolok. Tentu saja ia tampak lelah;mengurus bayi bukan sebuah perkara yang mudah. Dara tidak pernah berlatih sebelumnya. Ini kali pertama ia memiliki bayi, dan merawat bayi. Namun dengan alami, ia tahu apa yang harus dilakukan setiap hari, dan sadar dengan tanggung jawabnya.
“Mau es teh? Aku buat es teh tadi,” sebuah pertanyaan langka, keluar dari mulut Tomi. Dara setengah terenyuh. Biasanya lelaki itu akan memakinya, namun kali ini menawarkannya minuman setelah ia lelah bekerja di kantor.
“Boleh,” jawabnya sembari duduk bersandar pada sofa. Tomi menggendong Kio, dan mengambil segelas es teh dengan es batu yang banyak. Ia tahu Dara gemar sekali mengunyah es batu untuk menghilangkan stresnya, dan kali ini ia seperti sangat peduli kepada istrinya itu.
Dara meneguk es tehnya yang segar. Di Filipina, cuaca sore hari tetaplah hangat, dan terkadang membuat gerah. Dara tidak bisa menyalakan pendingin ruangan terus menerus, mereka harus berhemat dalam penggunaan listrik. Selagi Kio tidak kegerahan, mereka berdua akan berusaha untuk tidak menyalakan pendingin ruangan. Alat itu hanya akan dinyalakan ketika Kio kegerahan.
“Bagaimana rehab hari ini? Apa ada tes urine?”
“Iya, ada. Belum negatif tentunya. Dengar-dengar sih ada yang sampai 2 bulan belum negatif. Bersabar saja, ya sayang.” Tomi betul-betul berperilaku baik hari ini kepada Dara.
Jawaban itu seperti plus dan minus untuk Dara. Entahlah ... Tetapi beberapa minggu ini Tomi bersikap baik kepadanya.
“Ra. Aku perlu uang pas gajian nanti. Farah mau bayar beberapa hal di sana. Jadi aku har-“
“Iya aku tahu.” Dara menyela omongan suaminya itu. Ia sudah tahu ini akan terjadi. Ia akan menjadi ATM untuk Farah selagi Tomi tidak mendapatkan gaji di masa rehabilitasi.
“Berapa banyak?” sambung Dara.
“Lima juta. Ada kan segitu?” jawab Tomi sambil menimang-nimang bayinya.
“Itu terlalu banyak. Aku juga harus bayar sewa apartemen, dan cicilan apartemen kita di Indonesia. Mana cukup? Aku enggak bisa kasih banyak. Kio juga harus imunisasi,” Dara merincikan kebutuhan mereka.
“Jadi ada berapa?” ujar Tomi. Nada bicaranya tak seperti biasanya. Tetap tenang, dan santun dari tadi.
“Tiga juta. Itu saja yang bisa aku kasih,” Dara mematok.
“Oke. Itu pas,” kali ini Tomi mengikuti apa yang Dara katakan.
Dalam beberapa minggu selama rehabilitasi ... hubungan mereka membaik. Bukan tak mungkin hal ini akan berlanjut. Labu saja punya hati, begitu kata pepatah. Mungkin si bengis akan berubah lebih baik kepada wanitanya.
...****************...
“Hai sayang! Aku sudah dikereta. Makan siang bareng, yuk?” suara Tomi di telepon membuat Dara bahagia. Suaminya itu berubah menjadi baik kepadanya, seperti pertama kali mereka bertemu dulu. Tak hanya berbicara dengan baik, ia juga lebih sering menghabiskan waktu bersama Dara menonton bersama, beberapa kali pergi ke bioskop, dan mengerjakan beberapa pekerjaan rumah bersama.
Tomi tak punya pilihan ... atau mungkin memang telah sadar ... Peduli setan! Yang penting ia berlaku baik.
Mereka memilih makan siang bersama di sebuah restoran cepat saji yang cukup terkenal di sana. Tempat itu adalah favorit Dara untuk makan ayam goreng krispi. Sebelum fase ini, Dara sering menghabiskan waktunya di restoran itu sendiri, mengunyah ayam krispinya dengan air mata yang berderai dan luka bekas pukulan yang masih segar. Sudut restoran itu menjadi tempat langganan Dara mengadukan nasibnya kepada gelas-gelas minuman bersoda, dan mangkuk saji penuh dengan sup krim.
“Suka?” Tomi bertanya kepada istrinya yang begitu lahap memakan ayam gorengnya. Seperti orang kelaparan, Dara sudah menghabiskan empat potong ayam dengan saus gravy yang gurih. Ia mendekatkan gelas berisi pepsi kepada istrinya, sembari tersenyum.
“Maafin aku, ya ...” ucapannya itu menghentikan Dara yang sedang mengunyah.
“Aku tahu, aku keterlaluan selama ini. Caraku enggak baik dengan kamu. Selama ini kamu pasti tersiksa karena aku,” seperti tersambar petir, Dara baru saja mendengar kalimat yang tak ia sangka.
Dara menahan air matanya sekuat tenaga, dan tenggorokannya mulai sakit karena itu. Bagaimana pun caranya, ia tak mau menangis. Ia berusaha keras menyerap kembali air matanya, lalu meneguk cola dingin dari gelas. Menjadi wanita yang mudah meneteskan air mata, bukan hal yang tepat saat ini.
“Sudah. Yang lalu, sudah lalu. Sekarang kita harus baik-baik membesarkan Kio, Bi,” berhasil! Dara sama sekali tidak menitikkan air mata.
“Thank you, ya. Aku janji akan lebih baik lagi. Aku sudah jarang komunikasi dengan Farah. Permintaannya mulai tak masuk akal. Buat biaya susu saja, lumayan besar,” ujar Tomi.
“Namanya juga perempuan. Kalau enggak kerja, mau dari mana lagi dapat uang selain minta?” jawab Dara santai. Kali ini ia betul-betul memenangkan percakapan, dan berhasil menunjukkan kelebihannya.
Ia begitu berbeda ... Tomi ... Lelaki itu berubah seakan malaikat baru saja menghampirinya. Sesekali ia masih suka pergi minum alkohol, namun Dara tentunya tidak ingin memicu pertikaian karena hal itu. Selagi suaminya itu pulang ke rumah, dan berada bersamanya, ia tak mengungkit banyak hal.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments
Sri Ayudesrisya46
pintar akting si tomi hhhh kenapa dara terlalu dungu
2022-10-06
0