Bab 14 - Langkahi Dulu Aku!

Dunia terasa berputar begitu cepat dengan seorang bayi yang baru lahir. Menjadi seorang ibu baru di negara orang, tanpa sanak saudara, tanpa bantuan orang tua ... Dara memang tangguh. Di hari ketiga setelah persalinannya, ia diperbolehkan untuk keluar dari rumah sakit, membawa Kio bersamanya. Bayi itu mengalihkan seluruh dunia Dara. Seakan masih di dalam alam mimpi, Dara terkadang terbangun memandangi bayinya yang terlelap. Bayi itu tampak begitu sempurna. Ia memiliki hidung, kulit, mata, dan rambut seperti Dara.

Hari terasa cepat sekali bagi mereka. Semua kelelahan dapat sirna dengan mudah ketika ibu baru itu meliat bayinya yang berubah wajah, dan bentuk badannya dari hari ke hari. Tiba-tiba saja, ia tahu apa yang harus dilakukan, bagaimana cara melakukan semua aktivitas dengan bayi yang baru lahir itu. Dara tahu, ia tak bisa terlalu mengharapkan Tomi dalam hal ini. Laki-laki itu sudah pernah memiliki anak sebelum Kio. Kio bukan menjadi hal baru baginya.

“Apa kamu sudah mengurus pencairan?” sambil menekan tombol pada remote televisi, Tomi bertanya kepada Dara yang sedang menyusui bayinya. Bayi itu terlelap, dan ia pasti tak mendengar lagi apa yang ditanyakan ayahnya.

“Pencairan? Pencairan apa?” banyak sekali yang dipikirkan oleh Dara hingga, ia sudah lupa apa yang dimaksudkan oleh Tomi. Ia menutup bajunya, lalu menimang Kio agar tetap tertidur.

“Asuransi. Bukankah ada pencairan dana cash untuk persalinan normal?” ah! Itu rupanya maksud Tomi.

Jauh-jauh hari sebelum persalinannya, Dara sudah berkonsultasi dengan beberapa staf personalia di kantornya itu. Sebagai salah satu perusahaan ternama, kantor itu menyediakan layanan personalia yang sangat baik bagi karyawannya, tak terkecuali karyawati yang akan segera melakukan persalinan.

Dara menarik kembali ingatannya. Ia ingat jelas, orang pada bagian personalia itu menjelaskan bahwa asuransi kesehatan dari pemerintah itu biasanya dapat mencairkan sejumlah dana, namun tidak besar. Dengan dana itu, orang seperti Dara rasanya tidak perlu repot-repot, karena jarak ke tempat pengurusan yang lumayan jauh. Lagi pula, itu membuang waktunya, dan ia harus mengurus bayi.

“Ah, itu ... Aku sudah bicara dengan Shirley. Katanya sih kecil sekali nominalnya, enggak akan sebanding dengan biaya transportasi.” Dara menyampaikan dengan lugas saja, apa yang ia dapatkan dari staf personalia itu.

“Iyakah? Apa kamu sedang mengada-ada? Mana bisa asuransi pemerintah kasi nominal yang kecil?” tabiatnya kembali lagi muncul dalam percakapan ini. Membicarakan sesuatu yang berhubungan dengan uang, bukan sebuah kegemaran bagi Dara, apalagi jika Tomi adalah lawan bicaranya.

“Untuk apa aku mengada-ada?” Dara menjawab sedikit kesal. Nada bicara suaminya tadi sungguh penuh ejekan, atau entahlah apa itu.

“Ya bisa  saja. Kamu ‘kan malas mengurusi hal seperti ini. Bagaimana jika ternyata dana yang dicairkan itu besar? Apa kamu enggak merasa rugi?” sekali lagi, Tomi kembali menggunakan nada yang membuat Dara kesal.

Ibu baru itu kekurangan tidur sejak ia memiliki bayi. Bukan hanya itu, ia tetap harus mengurus suaminya yang berlagak pula seperti bayi. Menyiapkan makanan, membersihkan rumah, hingga mencuci. Belum lagi jika suaminya menyuruhnya menerjemahkan beberapa materi dari pelatihan atau diskusi singkat di kantor.

“Malas? Apa kamu pikir selama ini ada sekali saja aku berusaha bermalas-malasan? Aku enggak merasa rugi. Anakku sudah di sini. Lagian, tempatnya jauh. Bagaimana dengan Kio nanti?” Dara mengelak tuduhan suaminya itu.

“Kamu itu banyak beralasan supaya tidak dibilang malas. Kamu tidak pergi naik kuda, kan? Kamu bisa bawa Kio. Gendong dia,” lelaki ini memang suka menganggap enteng semua hal, itulah yang ditangkap Dara.

“Apa maksud kamu? Kamu rela Kio ikut mengantri di antara kerumunan orang? Dia bayi baru lahir, Bi,”

“Ckck. Alasan lagi, alasan lagi. Kamu sudah pernah lihat ‘kan? Banyak sekali orang bolak balik mengurus pencairan itu, mana mungkin kecil nominalnya? Kamu itu suka membuat alasan untuk semua hal!” nada bicara Tomi mulai meninggi kepada istrinya yang baru tidur selama 3 jam semalam.

“Memang, banyak. Tapi itu penduduk lokal. Rata-rata mereka yang menengah ke bawah. Uang itu pasti besar untuk ukuran mereka. Namun untuk kita? Mungkin tidak sampai 10% dari biaya yang sudah kita keluarkan di rumah sakit. Kenapa sih? Apa masalahnya sampai ributkan pencairan?” Dara kehilangan kesabarannya. Baginya apa yang dibicarakan suaminya itu sungguh tidak masuk akal. Ia jelas sekali mengingat penjelasan dari bagian personalia. Lagi pula, ia sudah pernah melihat kerumunan manusia yang amat banyak di kantor asuransi kesehatan milik pemerintah. Bagaimana mungkin ia membawa Kio ke sana?

“Justru karena itu, kenapa kamu tidak coba pergi saja? Kamu pikir biaya yang dikeluarkan di rumah sakit itu sedikit?” nada Tomi makin tinggi saja. Ia berdiri dari sofa dan bercekak pinggang di depan Dara.

“Apa? Tentu saja itu sedikit. Kita pergi ke rumah sakit yang harganya setengah dari pilihanku. Lagian itu semua sudah aku siapkan dari gaji aku. Kamu tahu itu! Aku sudah siapkan dana yang cukup untuk rumah sakit pilihanku, lalu kamu seenaknya mengubah rencana karena kamu pergi berlibur bersama Farah,” semua omongan Tomi itu betul-betul memancing emosi Dara. Ia masih tak paham bagaimana bisa suaminya itu terus mempermasalahkan dana persalinan yang Dara sendiri telah kumpulkan dari gajinya.

“Apa kamu ini orang kaya? Sudah bagus aku kasih kamu melahirkan di rumah sakit. Tahu begitu, kamu bisa pergi ke klinik umum pemerintah yang ada di sini. Yang seperti puskesmas itu. Banyak orang yang melahirkan di situ,”

“Apa? Aku bukan orang kaya. Aku bukan warga sini, peraturannya jelas. Klinik di tiap barangay itu hanya menerima penduduk lokal. Kenapa kamu mempermasalahkan sesuatu yang sudah aku bayar dengan hasilku? Apa kamu sebegitu tidak adilnya? Bukankah kamu bilang Farah operasi caesar di rumah sakit mewah?” nada Dara ikut meninggi. Baginya omongan suaminya itu sudah tidak masuk akal. Dara jelas-jelas mengumpulkan sendiri dana persalinannya, lalu mengapa suaminya ini menyuruhnya mencari fasilitas persalinan yang gratis atau minim biaya seperti itu? Padahal mereka sama-sama tahu, kenyamanan di sana tidak direkomendasikan, dan hanya untuk penduduk lokal saja.

Tomi terlihat berang. Ia menuju meja dapur, mengambil sebilah pisau dapur, dan dengan cepat menghampiri Dara. Dengan tidak beraturan, ia berusaha menyerang Dara dengan pisau itu, sambil memaki, “Apa katamu? Wanita ******! Memang kenapa kalau aku mau kamu melahirkan di sana? Apa itu sulit untuk kamu?”

Dara mundur, ia menatap Tomi yang terlihat begitu sangar dengan pisau di tangannya. Pintu apartemen mereka tertutup rapat, tak mungkin ada orang yang akan mendengarnya minta tolong.

“Apa salah aku? Kenapa jadi panjang pembahasannya? Aku enggak mau pergi mengurusi pencairan dan mengambil risiko untuk bayiku. Apa itu salah?” Dara membela diri.

“Kau wanita yang suka buat alasan! Menyusahkan orang!” Tomi dengan kasar menarik rambut Dara, dan berusaha memotong rambut itu dengan pisau dapur yang ia pegang. Dara berusaha menghindar dan melepaskan dirinya.

Kemudian ... “Kyaaaaa!” suara tangis Kio pecah. Gerakan Dara untuk menghindar entah bagaimana membuat pisau yang dipegang oleh Tomi, menggores dahi bayinya itu.

Untuk pertama kalinya, Dara seakan berubah menjadi monster yang ganas. Ia selama ini selalu diam ketika dirinya disakiti, namun ketika matanya melihat sebuah goresan merah di dahi anaknya ...

Dara berteriak marah, dengan satu tangan menggendong bayinya itu, ia berusaha mendorong Tomi hingga terjatuh.

Tomi tersungkur, dan pisau itu terlepas dari tangannya. Dara memungut pisau itu dengan cepat. Air mata yang begitu deras, dan emosi yang begitu membumbung di kepalanya, ia tak bisa menahan ini semua. Dara mengarahkan pisau itu kepada Tomi dengan amarahnya.

“Bangsat! Jangan sakiti anakku!” ia terus mengarahkan pisau itu. Tomi tampak kaget. Ia melihat sebuah goresan di dahi anaknya itu.

Dara mundur perlahan, ia meraih ponsel, dan sebuah tas bayi yang selalu ia siapkan untuk bepergian. Perempuan itu membuka pintu apartemen, lalu pergi setelah membuang pisau dapur itu ke arah suaminya.

Dara menyeka air matanya. Ia memeluk bayinya itu, dan turun ke lobby dengan elevator. Tangannya memencet layar pada ponselnya, melakukan panggilan kepada Joe.

...****************...

Tok! Tok!

Dara mengetuk sebuah unit apartemen sederhana, yang berada paling pojok. Seseorang membuka pintu. Bukan Joe ternyata, melainkan Stevi. Ia juga teman sekantor Dara. Stevi kira-kira seumuran dengan Dara. Lelaki itu mengambil tas pada pundak Dara, dan menuntunnya masuk.

Joe di sana ... Ia sedang duduk bersama Leo, menghabiskan semangkuk mi hangat. Leo adalah salah satu orang yang dekat bergaul dengan Tomi. Ia sering pergi minum-minum bersama Tomi.

“Ada apa, Dar?” Leo menyingkirkan mangkuk mi miliknya dan menghampiri Dara. Matanya terbelalak ketika melihat dahi Kio tergores.

“Ya ampun! Ini kenapa?” sambungnya, sembari bergegas mengambil PPPK, dan dibarengi Joe yang kaget dan menghampiri Kio.

Leo bukan sembarang orang. Ia dulunya seorang perawat laki-laki, dan ia cukup lama tinggal di Filipina untuk studinya. Ia juga seorang ayah dari dua anak.

“Ini perbuatan siapa? It’s okay. Aku obati dulu, mumpung anaknya tidur,” Leo segera memberikan perawatan pada goresan di dahi Kio.

“Tomi ... Kami berdebat,”

“Soal?” Joe berceletuk ingin tahu.

“Asuransi pemerintah. Dia bilang aku harus pergi mencairkan dana persalinan itu. Aku harus bisa gendong Kio dan dibawa ke sana mengantri. Dia bilang, persalinanku ini memakan biaya ...” suara Dara bergetar seiring air mata yang tumpah begitu deras.

“Apa? Itu gila!” Joe mengerutkan dahinya.

“Iya sis, itu gila! Kita tahu nominal asuransi pemerintah itu kecil banget. Transportasi ke sana mungkin juga sama dengan nominal itu,” Stevi kali ini buka suara. Anak muda ini tahu banyak hal tentang hal-hal seperti ini. Ia dekat dengan salah satu staf personalia, dan mendapatkan banyak informasi.

“Maaf ya, Dara. Tapi apakah kalian sedang sulit uang?” Leo memandangi Dara dengan wajah prihatin. Meski ia seorang yang dekat dengan Leo, ia tetap seorang ayah yang tak sanggup melihat bayi terluka.

“Aku enggak tahu, kak. Aku enggak pernah tahu soal keuangan. Yang aku tahu, aku sudah mengumpulkan lebih dari cukup untuk persalinan aku di Saint Claire. Tapi kemudian Tomi mengubah rumah sakit pilihan aku ke yang jauh lebih murah,” Dara menangis tersedu menceritakan garis besar.

“Lalu? Harusnya kalian enggak punya masalah dengan uang. Ada apa dengan dia? Gila orang itu!” timpal Joe kesal. Ia sudah menganggap Dara seperti adiknya, apalagi ketika tahu Dara merupakan tulang punggung keluarga, dan beberapa kali kerap disulitkan oleh suaminya sendiri.

Leo menutup dahi Kio dengan sebuah plester anti air. Bayi itu ia gendong, dan diayun sebentar agar tidak terbangun.

“Aku tahu Tomi dalam pergaulan. Tapi ini keterlaluan. Maaf, Dar. Kita semua tahu dia seperti apa. Kami mungkin enggak akan bisa frontal membela kamu. Tapi kalau ada apa-apa, lari ke sini. Keselamatan kamu penting,” tutur Leo sambil menimang Kio.

Drrt! Ponsel Joe berdering. Itu panggilan dari Tomi.

Joe memutuskan menjawab panggilan telepon itu. Ini untuk menjaga keamanan Dara juga, agar Tomi tak memfitnah istrinya itu dengan anggapan yang bukan-bukan.

“Halo?”

“Dara di situ?” suara Tomi dari seberang terdengar jelas oleh Joe.

“Iya ... Baru saja sampai. Mau bicara?” Joe memang seorang aktor yang baik.

Joe menyodorkan ponsel itu kepada Dara yang sedang menahan isak tangisnya.

“Apa? Mau apa kamu setelah dahi anak saya kamu gores?” tangisnya pecah menjawab telepon dari Tomi.

“Turun ke bawah, saya jemput. Tidak baik menyelesaikan masalah dengan cara seperti ini.” Seperti tak ada yang terjadi, Tomi begitu santai bicara.

Leo, dan Joe menatap Dara, mengangguk. Mereka memberi isyarat kepada Dara untuk mengikuti apa kata Tomi, agar tidak menjadi besar masalah ini, walaupun sebenarnya ini adalah masalah yang sudah besar. Ada anak bayi yang tersakiti di sini ... Ini masalah yang sudah bisa jadi besar.

Telepon itu terputus. Dara tak yakin apa ia harus turun ke lobby menemui Tomi, dan pulang. Ataukah lari saja ke tempat lain bersama bayinya.

“Pulang dulu, Dar. Tapi ...” ujar Leo.

“Tapi apa, kak Leo?” Dara tahu Leo bisa memberikan langkah yang tepat. Ia tahu seperti apa dekatnya Leo dan Tomi.

“Tapi, begitu kamu turun di lobby nanti, telepon ke nomor Joe. Jangan matikan panggilan itu, sampai kamu sampai, selesai bicara dengannya, dan dia tidur dahulu ...” bahkan Leo yang dekat dengan Tomi pun mengantisipasi hal buruk yang bisa dilakukan temannya itu.

“Iya, Dar. Itu buat keamanan kamu.” timpal Joe meyakinkan Dara. Ia juga diberitahukan oleh ketika rekan kerjanya itu, agar bersikap tenang, dan mereka pun akan berpura-pura tak tahu apa-apa mengenai perdebatan Dara dan Tomi sebelum ini.

Dara menyetujuinya. Ketiga orang temannya ini, ternyata sudah sering memerhatikan sikap Dara yang sering terlihat berada dalam tekanan.

...****************...

Tomi memang sungguh dingin. Semua perdebatan, dan goresan pada dahi bayinya seakan bukan apa-apa untuknya. Ia menggandeng tangan istrinya itu, lalu membawanya serta bayi mereka pulang ke apartemen. Bagian paling tak masuk akal, ia merangkul Dara ketika sampai di lobby apartemen, dan menyapa petugas keamanan di sana dengan senyum dan gurauan, seakan semuanya baik saja.

Hal itu, juga sering ia lakukan di kantor. Ia akan terlihat sebagai sosok suami siaga dan penyayang di depan sanjungan rekan kerjanya, dan Dara harus bisa mengimbangi itu.

“Mana aku lihat dahinya ...” Tomi menyodorkan tangannya meminta Kio dari tangan Dara. Dara memeluk anaknya lalu mundur. Amarahnya belum padam. Seorang ibu tidak begitu saja memaafkan seseorang yang melukai anak yang ia lahirkan susah payah.

“Mau apa kamu?” nada Dara jelas sekali menampakkan keberaniannya melawan.

“Maafin aku. Aku enggak tahu itu sampai melukai Kio ...” Tomi seperti seorang pembunuh berdarah dingin pada film-film, yang dengan mudahnya mengucapkan maaf kepada seseorang yang disakiti.

“Kamu! Jangan coba-coba kamu sakiti anakku. Aku enggak akan tinggal diam! Langkahi mayatku, baru sakiti anakku! Aku enggak akan segan habisi kamu kalau ini sampai terjadi lagi! Ingat!” keberanian itu dengan alami datang kepada Dara. Naluri seorang ibu untuk melindungi anaknya, sudah lekat sekali pada dirinya. Tomi tertegun melihat Dara yang begitu penuh kebencian. Ini kali pertamanya wanita muda itu menunjuknya dengan jari telunjuk, dan wajah yang begitu penuh dendam. Dara ... Ia kini sudah menjadi ... seorang ibu.

Terpopuler

Comments

Gee

Gee

inhale... exhale..

2022-07-08

0

Pringles Ijo

Pringles Ijo

Kasian Baby Kio.. tp Dara jadi makin strong. mixed feelings about this ep.

2022-07-08

0

Anonymous

Anonymous

kok mau aja si dara ditindas trs,kabur kan bisa😈😈

2022-07-06

0

lihat semua
Episodes
1 Bab 1 - Bandung
2 Bab 2 - Dara dan Savana
3 Bab 3 - Namanya Bima
4 Bab 4 - Ia Pergi dari Savana
5 Bab 5 - Separuh Lengan Dara
6 Bab 6 - Pemain Pengganti
7 Bab 7 - Menjadi yang Kedua
8 Bab 8 - Menjadi Anak Durhaka Kepada Ibu
9 Bab 9 - Aku Harus Bertahan
10 Bab 10 - Bukan Menantu Idaman
11 Bab 11 - Tak Mau Kalah!
12 Bab 12 - Yang Tak Terduga
13 Bab 13 - Cintaku Tiba!
14 Bab 14 - Langkahi Dulu Aku!
15 Bab 15 - Yang Tak Terduga 2
16 Bab 16 - Memegang Kendali!
17 Bab 17 - Kabar Baik atau Buruk?
18 Bab 18 - Yang Tak Dinantikan
19 Bab 19 - Bangkai Yang Ditemukan
20 Bab 20 - Selamat Datang, Anggota Baru!
21 Bab 21 Tak Akur
22 Bab 22 - Langkah Yang Terhenti
23 Bab 23 - Cerita Lampau Tomi
24 Bab 24 - Rencana Tersembunyi
25 Bab 25 - Pergi Ke Puncak
26 Bab 26 - Mengantar Anak-Anak
27 Bab 27 - Pelukan Mama
28 Bab 28 - Harus Memilih
29 Bab 29 - Gelagat Aneh
30 Bab 30 - Hari-hari Terakhir
31 Bab 31 - Memulai Lagi
32 Bab 32 - Anna dan Mereka
33 Bab 33 - Pengganti Cecil
34 Bab 34 - Tim Baru
35 Bab 35 - Terjadi Lagi
36 Bab 36 - Kesempatan Yang Kesekian
37 Bab 37 - Edisi Baru
38 Bab 38 - Ibu Dua Anak
39 Bab 39 - Tempat Baru Kio & Kayla
40 Bab 40 - Ingat Kata Ibu!
41 Bab 41 - Melewati Batas
42 Bab 42 - Buru-buru!
43 Bab 43- Pengaduan Pertama
44 Bab 44 - Akhirnya Dara Membara
45 Bab 45 - Terima Kasih Ummi!
46 Bab 46 - Aku Punya Ide!
47 Bab 47 - Harmonis
48 Bab 48 - Empat Mata
49 Bab 49 – Selangkah Lagi
50 Bab 50 - Meeting Dadakan
51 Bab 51 - Kehidupan Baru
52 Bab 52 - Tuntutan Seorang Ibu
53 Bab 53 - Prasangka Mertua
54 Bab 54 - Tak Peduli Lagi!
55 Bab 55 - Tempat Curhat Baru
56 Bab 56 - Ini Salahku
57 Bab 57 - Pasti Salahku!
58 Bab 58 - Perang DIngin
59 Bab 59 - Ultimatum Pertama
60 Bab 60 - Reyhan Lagi
61 Bab 61 - K's Berjaya
62 Bab 62 - Tomi Mencoba Lagi
63 Bab 63 - Pelajaran Pertama
64 Bab 64 - Senjata Andalan
65 Bab 65 - Teguh
66 Bab 66 - Melangkah
67 Bab 67 - Maafkan Mama, Kay ...
68 Dariku, Dara
Episodes

Updated 68 Episodes

1
Bab 1 - Bandung
2
Bab 2 - Dara dan Savana
3
Bab 3 - Namanya Bima
4
Bab 4 - Ia Pergi dari Savana
5
Bab 5 - Separuh Lengan Dara
6
Bab 6 - Pemain Pengganti
7
Bab 7 - Menjadi yang Kedua
8
Bab 8 - Menjadi Anak Durhaka Kepada Ibu
9
Bab 9 - Aku Harus Bertahan
10
Bab 10 - Bukan Menantu Idaman
11
Bab 11 - Tak Mau Kalah!
12
Bab 12 - Yang Tak Terduga
13
Bab 13 - Cintaku Tiba!
14
Bab 14 - Langkahi Dulu Aku!
15
Bab 15 - Yang Tak Terduga 2
16
Bab 16 - Memegang Kendali!
17
Bab 17 - Kabar Baik atau Buruk?
18
Bab 18 - Yang Tak Dinantikan
19
Bab 19 - Bangkai Yang Ditemukan
20
Bab 20 - Selamat Datang, Anggota Baru!
21
Bab 21 Tak Akur
22
Bab 22 - Langkah Yang Terhenti
23
Bab 23 - Cerita Lampau Tomi
24
Bab 24 - Rencana Tersembunyi
25
Bab 25 - Pergi Ke Puncak
26
Bab 26 - Mengantar Anak-Anak
27
Bab 27 - Pelukan Mama
28
Bab 28 - Harus Memilih
29
Bab 29 - Gelagat Aneh
30
Bab 30 - Hari-hari Terakhir
31
Bab 31 - Memulai Lagi
32
Bab 32 - Anna dan Mereka
33
Bab 33 - Pengganti Cecil
34
Bab 34 - Tim Baru
35
Bab 35 - Terjadi Lagi
36
Bab 36 - Kesempatan Yang Kesekian
37
Bab 37 - Edisi Baru
38
Bab 38 - Ibu Dua Anak
39
Bab 39 - Tempat Baru Kio & Kayla
40
Bab 40 - Ingat Kata Ibu!
41
Bab 41 - Melewati Batas
42
Bab 42 - Buru-buru!
43
Bab 43- Pengaduan Pertama
44
Bab 44 - Akhirnya Dara Membara
45
Bab 45 - Terima Kasih Ummi!
46
Bab 46 - Aku Punya Ide!
47
Bab 47 - Harmonis
48
Bab 48 - Empat Mata
49
Bab 49 – Selangkah Lagi
50
Bab 50 - Meeting Dadakan
51
Bab 51 - Kehidupan Baru
52
Bab 52 - Tuntutan Seorang Ibu
53
Bab 53 - Prasangka Mertua
54
Bab 54 - Tak Peduli Lagi!
55
Bab 55 - Tempat Curhat Baru
56
Bab 56 - Ini Salahku
57
Bab 57 - Pasti Salahku!
58
Bab 58 - Perang DIngin
59
Bab 59 - Ultimatum Pertama
60
Bab 60 - Reyhan Lagi
61
Bab 61 - K's Berjaya
62
Bab 62 - Tomi Mencoba Lagi
63
Bab 63 - Pelajaran Pertama
64
Bab 64 - Senjata Andalan
65
Bab 65 - Teguh
66
Bab 66 - Melangkah
67
Bab 67 - Maafkan Mama, Kay ...
68
Dariku, Dara

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!