“Dari mana uang sebanyak itu? Kamu gila?” Tomi menyambar permintaan Dara, seperti kilat.
Dara tak punya pilihan lain. Tak mungkin ia membiarkan ibunya kesulitan mencari dana sebanyak itu.
“Tolonglah, Bi. Mama perlu. Lagian, sisa gaji aku masih lebih dari cukup.” Sungguh sesuatu yang aneh ketika pemilik meminta ijin untuk sesuatu miliknya sendiri. Tapi, ini bukan waktunya mempertahankan ego.
“Kenapa banyak sekali? Memang ke mana saudara-saudara mamamu?”
“Mama bukan orang seperti itu, bi. Dia pasti sangat tidak nyaman meminta tolong saudara-saudaranya. Lagian itu nominal yang sedikit untuk sewa rumah satu tahun.” Dara bersikukuh.
Tomi mengusap wajahnya, dan menggelengkan kepalanya. Jangankan untuk dana sebanyak itu, ia sering kali menolak permintaan Dara untuk membeli sepatu yang tidak seberapa dibanding penghasilannya.
“Aku sudah punya rencana ingin membelikan sepeda untuk anak-anak. Jangan dadakan begini dong!” ia terdengar sangat kesal dengan permintaan Dara itu.
“Tapi mamaku berhak atas gajiku, Bi. Aku sudah menopang mereka selama bertahun-tahun. Ini sebabnya, aku sudah bilang waktu itu kamu tidak perlu berhenti kerja untuk ikut denganku. Aku tidak bisa membiarkan mamaku sendiri sulit,” Dara kehilangan kesabarannya dalam negosiasi kali ini. Ia sungguh akan melakukan apa saja untuk mengatasi kesulitan ibunya kali ini. Uang lima juta bukan jumlah yang sedikit, dan ia tahu ibunya dalam kendala yang besar saat ini.
Entah kenapa sangat sulit bagi Tomi untuk membiarkan Dara menjadi anak yang menolong ibu kandungnya sendiri. Dara sendiri tahu, 5 juta itu hampir setara dengan jatah bulanan yang diberikan Tomi kepada Farah sejak mereka berpindah negara, dengan penghasilan Dara yang berkali lipat lebih besar.
“Tolonglah aku. Please ...” Dara memohon sembari memegang tangan suaminya itu.
Tomi tampaknya sedikit luluh. Ia menggelengkan kepala lagi, dan menatap istrinya itu.
“Aku harus bicara dulu dengan Farah. Aku sudah janji soal sepeda anak-anak. Kasih aku waktu beberapa menit untuk menelepon dia,” sungguh membingungkan. Entah mengapa hasil kerja keras Dara harus dikontrol oleh sepasang suami istri ini.
Tomi beranjak keluar kamar, sambil melakukan panggilan telepon. Dara bisa mendengar jelas suaminya itu berusaha menenangkan Farah yang melengking suaranya di dalam telepon. Sepertinya rencana membeli sepeda itu sangat penting, padahal beberapa hari lalu Tomi baru saja mengirimkan jatah bulanannya.
Brak!
Pintu dibuka dengan kasar dari luar. Dara menanti-nanti sepatah kata dari suaminya yang terliat tidak senang dengan percakapan di telepon tadi. Sekarang, ia merasa sedikit bersalah menempatkan suaminya dalam perasaan kesal.
“Ayo siap-siap. Kita pergi kirim uang ini untuk mamamu. Tapi ingat ...” akhirnya Tomi mengabulkan permintaan Dara.
“Thanks. Ingat apa, Bi?”
“Aku enggak mau hal seperti ini kejadian lagi. Farah marah sekali karena rencananya ditunda,” sambungnya.
‘Farah marah? Wanita itu ... Mengapa ia merasa memiliki hak atas jerih payahku di sini? Aku tidak sudi ia menikmati hasil kerjaku’ batin Dara mulai terusik dengan kata-kata Tomi. Tapi setidaknya ia bisa mengirimkan dana yang dibutuhkan oleh ibunya. Peduli setan jika Farah senang atau pun tidak!
...****************...
“Mah. Sudah Dara kirimkan.” Ada perasaan lega ketika ia menginfokan hal itu kepada ibunya.
“Terima kasih, Nak. Kamu apakah makannya cukup di sana?” ibu mana pun ternyata memiliki pertanyaan yang mirip, dan terkadang sama persis.
“Iya, Mah. Mama enggak usah kuatir. Aku baik-baik di sini ...” bukan hanya menjadi lebih diam, Dara juga kini bisa membohongi ibunya.
Dengan cuaca sepanas itu, nasi dan daging kaleng ukuran kecil tentu saja kurang untuknya. Namun tak banyak yang bisa ia katakan kepada ‘tuannya’ yang mengatur perbelanjaan mereka. Ia terus harus mengikuti kemauan suaminya itu untuk berhemat.
“Mama sehat, ya. Nanti kalau tabungan Dara sudah cukup, Dara pulang ...” satu lagi kebohongannya ia lontarkan untuk menenangkan hati ibunya.
Panggilan itu begitu singkat bagi Dara. Ia tentu sengaja agar ibunya tidak banyak bertanya mengenai kehidupannya. Mulai sekarang, ia harus berusaha bersembunyi dari kenyataan, dan mengajarkan diri sendiri untuk lebih keras bertahan.
Tit! Tit!
Sebuah pesan masuk di ponselnya, menyadarkan Dara dari lamunannya.
Farah: [ Apa mau kamu sebenarnya? ]
‘ Ya Tuhan ... Apa lagi ini?’ pikirnya sesaat setelah membaca pesan hardikan itu.
Dara: [ Apa maksudnya, mbak? Saya enggak paham ... ]
Farah: [ Kamu sudah hasut suami saya untuk pergi dari Indonesia! Sekarang kamu juga hasut dia untuk menunda-nunda maunya anak-anak saya! Sekarang kamu juga mau menguasai hartanya! ]
Dara seketika menjadi marah pada perempuan ini. Ia selalu berusaha untuk tidak menjadi sorotan, bahkan merahasiakan pernikahannya dengan Tomi dari beberapa orang. Dalam hampir setahun pernikahannya ini, ia bahkan tidak mem-posting momen bahagianya itu karena ia takut akan menyakiti Farah. Namun, dengan pesan dari Farah ini, ia langsung menancapkan bendera perangnya juga.
Dara: [ Menghasut? Saya enggak pernah menghasut Tomi, mbak. Saya sudah minta dia untuk tetap di situ, saya bisa berangkat sendiri ke sini. Tetapi dia bersikeras mau ikut. Saya juga tahu risiko dia datang ke sini, mbak. Saya tahu dia akan kehilangan pekerjaan, dan jauh dari mbak dan anak-anak. Tolong jangan tuduh saya seperti itu. ]
Farah: [ Kehilangan pekerjaan? Apa maksud kamu? Jangan mengada-ngada ]
Baiklah ... Ternyata perempuan ini tidak tahu apapun selain nominal yang ia terima tiap bulannya. Entah apa yang direncanakan suaminya, Dara sudah tidak peduli. Ia memutuskan melanjutkan semua ini.
Dara: [ Memangnya Tomi enggak bilang? Dia sudah empat bulan nganggur, mbak. Hanya saya yang kerja di sini. Awal pergi ke sini, karena saya yang mendapat tawaran kerja, bukan Tomi. Semua yang Tomi kirimkan itu dari mana lagi kalau bukan dari gaji saya? Tapi saya enggak berusaha menghentikan dia, mbak karena saya tahu mbak butuh. Kali ini saya juga butuh dengan penghasilan saya karena ada yang harus saya bantu. Tolong berpikir lagi sebelum menuduh orang! ]
Ia kembali menanti layar ponselnya. Semua kebenaran sudah ia katakan kepada wanita itu.
Farah: [ Saya akan bicara dengan suami saya. Saya tidak sudi makan uang kamu. ]
Dara kehabisan energi untuk melawan perempuan dengan gengsi semacam Farah. Hari itu terasa begitu melelahkan baginya, dan terus melawan wanita ini melalui obrolan pesan singkat, hanya akan mengurangi waktu tidurnya.
“Dara! Dara!” teriak Tomi dari ruang tamu memanggil istrinya seperti sedang terjadi kebakaran.
Dara bangun dari tidurnya dan bergegas menghampiri. Sedikit banyak, ia sudah tahu apa yang akan terjadi, namun berusaha agar tenang menghadapi apa pun itu.
“Ada apa, Bi?” Dara seakan tak tahu apa yang membuat suaminya itu begitu lantang memanggilnya.
“Kenapa kamu bilang ke Farah soal aku menganggur? Kamu tahu apa akibatnya?” sesuai dugaan, itu masalahnya.
“Dia terus mojokin aku, Bi. Aku harus apa? Sampai kapan aku harus diam dengan tuduhan dia bahwa aku menghasut kamu ikut ke sini, dan aku mengatur keuangan kamu. Kamu sendiri tahu, semua itu kebalikannya ...” sebisa mungkin ia membela dirinya agar tidak disalahkan sepihak oleh Tomi.
Tomi memijat keningnya sebentar. Ini terlihat seperti masalah besar baginya hingga ia begitu mempermasalakan obrolan kedua istrinya.
“Aku akan cari pekerjaan. Sampai nanti aku punya pekerjaan, berhenti mengobrol atau pun membalas pesan Farah. Tolong jangan tambah beban dia. Kamu sudah punya aku di sini, dan dia kehilangan aku di sana ...” Tomi lagi-lagi tak berpihak kepada Dara.
Apa? Kehilangan Tomi? Sedangkan selama ini, Dara-lah yang merasa kehilangan sosok Tomi. Ia bukan lagi Tomi yang dikenal sebelum terbentuknya rumah tangga ini. Semua menjadi lebih konyol sejak mereka pindah ke Filipina ... Tomi lebih memilih menghabiskan waktu bermesraan di telepon dengan Farah, bercanda dengan putra-putrinya, dan terkadang pergi keluar menghabiskan dua botor bir ataupun Whiskey.
“Aku juga rasanya tinggal sendiri di sini, Bi ... Kau bisa sekalian kembali ke sana dengan dia, daripada membiarkan aku bisu, dan kamu asyik menelepon dia pas aku pulang kerja ...” air mata membasahi wajah Dara sembari ia mengucapkan kalimat-kalimat itu.
“Aku menelepon dia karena hanya itu yang aku bisa ...” Tomi menjawab singkat.
Dara mengepalkan tangannya. Laki-laki ini telah berpaling dari omongannya sendiri, dan tingkah lakunya membuat hati Dara hangus terbakar cemburu.
“Kamu ingat dulu kamu bilang apa? Kamu enggak ada perasaan dengan dia. Kenapa sekarang malah terbalik? Aku capek pergi kerja, dan pulang hanya untuk dengerin kamu mesra-mesraan dengan Farah di telepon?” semua kekesalan Dara ia semburkan begitu saja, tanpa berpikir apa yang akan dilakukan oleh Tomi.
“Dar. Kamu terlalu banyak meminta. Aku sudah ikuti kemauan kamu untuk kirim dana mamamu. Apa lagi ini? Aku sudah ikut kamu ke sini, aku tinggalkan Farah!” tak bisa dipercaya, Tomi masih saja mengungkit sesuatu yang dilakukan oleh Dara sepantasnya anak kepada ibunya.
“Ikut aku? Aku enggak pernah minta kamu kemari. Aku suruh kamu di sana. Kamu yang bersikeras mau ikut aku ke sini. Kenapa seolah-olah aku berhutang budi sama kamu?” amarah Dara masih dengan liar menyembur dalam kalimatnya.
Tomi tampaknya habis kesabaran untuk berbalas kata dengan Dara. Ia masuk ke dalam kamar dan membuka lemari pakaian mereka. Dara memperhatikan apa yang akan dilakukan suaminya itu. Di tangannya ia memegang buku nikah mereka.
“Ini ... aku bisa saja akhiri ini kapanpun. Jangan pikir aku enggak berani!” Tomi mengancam sambil menunjukkan buku nikah yang ada di tangannya.
“Kamu mau jadi seperti mama kamu? Begitu? Kenapa susah sekali mengalah, Dara? Aku ini suami kamu!” tambahnya.
“Lalu aku harus diam diremehkan Farah? Aku bukan perempuan seperti dia. Kenapa bisa dia menuduh aku mengatur uang kamu? Itu uang aku. Itu hak aku. Kamu bisa sampaikan seperti itu ke dia, Bi.” Dara menjawab dengan argumennya. Ia tak sudi jika ia harus terus dipojokkan oleh Farah.
“Kalau begitu, haruskah aku tinggalin di sini? Kamu lebih memilih jadi seperti mama kamu?”
Dara tertegun sesaat ... Trauma paling hebat hingga saat ini yaitu mengingat masa kecilnya dengan ibunya yang susah payah membesarkannya dengan kondisi yang mendekati miskin melarat. Memang benar kata pakar ... Seorang perempuan yang besar tanpa seorang ayah, akan lebih cenderung takut kehilangan sosok laki-laki dalam hidupnya. Akurat! Itulah yang dirasakan oleh Dara. Sejauh ini, ia tetap ingin mempertahankan pernikahannya yang penuh perdebatan.
Mengalah? Baiklah ... Lagi-lagi ia memutuskan mengalah dalam perdebatan itu, dan sekali lagi perempuan itu tidur membawa hati yang terluka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments
Sri Ayudesrisya46
bodohnya dara sadar.donk kamu hanya dijadikan sapi perah oleh tomy dan farah
2022-10-06
0