Tampaknya keputusan menikah dengan Tomi dibuat begitu cepat. Banyak hal lain yang tidak dipikirkan oleh Dara sebelum mengiyakan. Termasuk ... Apakah iya akan terus menjadi tulang punggung.
Ibunya memang sudah memutuskan komunikasi dengan Dara. Kekecewaan mendalam dari seorang ibu yang berharap anaknya akan kembali lagi seperti semula. Meskipun agama adalah hak semua orang, tidak dapat dipungkiri banyak orang tua yang mengharapkan anaknya tetap berada pada kepercayaan yang sama dengan mereka.
Dara masih terus menjalankan perannya ... Ia masih terus mendukung keuangan di dalam rumah ibunya. Ia merasa itulah hal terpenting dalam hidupnya.
Sejak hari pertama setelah pernikahannya, Dara terikat pada Tomi. Dengan beberapa kali pengalamannya menikah, Tomi dengan mudahnya mengontrol istri barunya itu.
Dara membuka dompetnya, sibuk mencari sesuatu di dalam. Ia sedari tari mencari sesuatu hingga mengeluarkan seluruh isi tas.
Tomi keluar dari kamar mandi dengan rambut yang basah dan baju yang sudah terpakai rapi. Di hari kedua pernikahannya itu, ia akan meninggalkan Dara sendiri. Tanpa memikirkan apa pun, atau bahkan memikirkan Dara, ia memutuskan pergi mengunjungi Farah dan anak-anaknya.
Ketika ia menyatakan rencana dadakan itu, Dara menjadi seperti hilang setengah kewarasan. Bagaimana bisa suaminya pergi begitu saja menuju wanita lain, tanpa menikmati waktu-waktu mereka?
Ia tidak bisa berbuat banyak. Beberapa jam setelah pembicaraan mereka itu, ia menghabiskan waktu di balkon tempat kerjanya dan menatap langit dengan pandangan kosong. Jika hal ini ia ceritakan kepada wanita lain di luar sana, mereka dapat dengan instan merasakan kepahitannya. Akan tetapi tak banyak bisa ia lakukan; keputusan ini adalah keinginannya sendiri, meskipun ia tidak banyak berpikir jauh.
“Kamu lihat ATM-ku?” Dara bertanya kepada suaminya sambil terus mencari di sekeliling kamar.
Tomi menjawab dengan santai sambil membereskan tas ranselnya, “Ada di dompetku. Kemarin kamu minta aku untuk menarik uang tunai, bukan?”
“Ah. Iya. Betul. Tinggal saja kartunya di sini, sebelum kamu lupa.” Ujar Dara sambil menyodorkan tangannya.
Tomi berhenti dari aktivitasnya dan mengeluarkan kartu ATM dari dalam dompetnya.
“Aku hanya sisakan beberapa ratus ribu saja di dalam kartumu. Uang kamu yang lain sudah aku pindahkan ke rekeningku. Lebih baik jika keuangan diatur suami. Bukan begitu?” kali ini invasi Tomi sudah merambah kepada keuangan pribadi Dara. Perempuan muda itu tidak begitu paham siapa yang harus mengatur apa, dalam sebuah rumah tangga. Ia tidak bisa serta merta mengiyakan omongan suaminya tadi.
“Tapi beberapa ratus ribu itu tidak akan cukup. Aku harus mengirimkan mama, dan adikku. Ini sudah tanggalnya,” ucap Dara menegaskan.
Tomi berbalik menghadap Dara sambil melipat tangannya. Keduanya saling melihat dengan ekspresi cukup dingin.
“Keuangan lebih baik diatur kepala keluarga. Bukan begitu? Aku tidak melarang kamu mengirimkan mama kamu. Tapi sebagai suami istri, kita juga punya kebutuhan. Kamu tidak bisa lagi menetapkan jatah yang sama. Tolong posisikan diri kamu,” ujar Tomi kepada si tulang punggung itu.
“T ... Tapi, tidak bisa seperti itu ... Mama enggak punya orang lain selain aku,” untuk pertama kali setelah dua hari pernikahannya, Dara membantah suaminya itu.
Tomi mendekati istrinya itu dan memegang kedua pundaknya. Dara berharap agar suaminya itu bisa memahami apa yang ada di kepalanya. Hal ini tentu tidak adil untuk ibu dan adiknya.
“Saat ini ... Keputusanku soal itu adalah tidak. Bukannya ibu kamu sudah tidak peduli lagi kepada kamu? Kirimkan saja semua yang aku sisakan di situ.” Dengan enteng ia menolak bantahan Dara, kemudian meninggalkan kamar menuju taxi yang sudah sampai menunggunya. Dara bahkan tidak sempat berpamitan.
Lelaki itu terlihat begitu ceria dan buru-buru pergi. Ia bilang bahwa ia tidak suka dengan Farah, namun sifatnya ini sangat bertolak belakang.
Dara menggenggam kartu ATMnya. Ia tidak menyangka imbas pernikahannya akan sejauh ini. Air mata mulai menggenangi matanya, dan antara sedih juga bingung, ia menangis sambil duduk merangkul kedua lututnya.
Banyak hal yang muncul di kepalanya. Ia tidak tahu apakah benar keuangan harus diatur oleh suami, dan apakah benar ini hal yang tepat. Tapi yang ia rasakan, ia menjadi durhaka seketika kepada ibunya, dan tidak menepati niatnya untuk bekerja bagi adiknya.
Itulah sebuah permulaan ... Dara telah diambil alih oleh lelaki yang ia pilih.
...****************...
Di sela kunjungan Tomi, Dara berusaha menghubungi suaminya itu. Tak banyak panggilannya yang dijawab oleh Tomi. Di tiga kali panggilan lain, Farah yang menjawab. Dara bisa mendengar tawa Tomi terkekeh bersama anak-anaknya. Ia juga melihat beberapa foto yang di-posting Farah pada media sosialnya. Mereka tampak pergi bermalam di sebuah kamar suite. Foto profil Farah pun dirubah dengan fotonya bersama Tomi, saling menempelkan pipi, di depan sebuah pantai.
Dara seketika terbakar habis oleh cemburunya. Ia tahu hal ini akan terjadi, tetapi tidak pernah membayangkan sakitnya dibakar dengan cara seperti ini.
Dara menanti di kamarnya. Ia setengah termenung. Berharap ini semua hanya mimpi, dan ia akan terbangun.
Tok! Tok!
Pintu rumah kontrakannya itu diketuk. Dara bergegas pergi membuka pintu itu. Tomi tersenyum di depan pintu. Ia pulang dengan tas penuh baju kotor. Entah mengapa, Dara tak ingin mencuci semua itu. Ia meninggalkan tas itu begitu saja dan akan dibawa ke laundry nanti.
Tomi berbaring di tempat tidur. Ia terlihat begitu lelah. Sejak ia sampai, ia bahkan tak mengucapkan salam kepada Dara.
“Aku minta sisa uangku yang kamu pindahin. Aku harus menambah kiriman ke rumah,” ia membuka pembicaraan kepada suaminya yang sedang menutup mata.
Tomi duduk, dan membuka matanya. Ia menoleh ke arah istrinya yang berdiri di depan lemari.
“Apakah separah itu?” ujarnya santai kepada Dara.
“Separah itu? Apa maksud kamu?” Dara mulai tidak suka dengan perkataan suaminya.
Tomi menarik nafas dan menghembuskannya seperti seorang yang tidak tertarik melanjutkan percakapan.
“Iya. Maksudku, apa separah itu keluargamu harus mendapatkan setiap peser dari kamu?”
Dara seperti terbakar lagi. Sebuah hal yang sangat sensitif jika orang berani menanyakan hal semacam itu.
“Itu bukan hal yang parah Itu kewajibanku kepada mamaku, adikku. Mereka sudah sekian lama jadi tanggunganku. Lagian aku hanya punya mereka, dan mereka hanya punya aku. Mamaku tidak punya pekerjaan tetap. Adikku masih sekolah. Itu bukan sesuatu yang parah untukku,” kekesalan begitu gamblang ia siratkan dalam jawabannya kepada Tomi.
Tomi berdiri menghampiri istrinya itu. Ia berdiri tepat di depan Dara dan memerhatikannya.
“Kalau begitu mulai sekarang, kurangi kewajiban itu. Aku bukannya melarang, tapi kita juga punya kebutuhan,” ia menegaskan kemauannya kepada Dara.
“Kebutuhan apa? Kita belum punya anak. Aku juga tidak bertambah kebutuhan pribadi. Kamu juga.” Dara berusaha mengembalikan otoritasnya pada keuangan pribadinya.
“Percuma kamu meminta sekarang. Uang sudah aku pakai di sana. Lagian mulai sekarang tidak ada istilah uangku. Uangmu, uangku juga!” Tomi memang tak mudah berpaling dari argumentasi. Ia akan terus berada pada pendiriannya.
Dara untuk pertama kalinya merasakan kemarahan yang mulai merambat naik ke kepalanya. Air matanya lagi-lagi menggenang.
“Mamaku bukan mau liburan. Itu untuk keperluan makan dan minum mereka, dan untuk sekolah adikku. Tapi uangku malah kamu pakai berlibur dengan istrimu, di kamar mewah, dan berjalan-jalan ke sana kemari meninggalkan perempuan yang baru kamu nikahi dua hari. Apa kamu waras?” kemarahan itu menjadi-jadi dan mendorong kalimat-kalimat itu keluar dari mulut Dara.
Tomi mengerutkan dahinya, dengan enteng ia melayangkan sebuah tamparan di pipi kiri Dara. Tamparan pertama untuk istrinya. Dara tertegun, kaget seakan tersambar petir di siang bolong.
Otaknya terus berusaha memproses kejadian yang singkat itu. Ia mungkin telah masuk ke dalam sebuah lubang yang salah, dan akan menjadi main dalam seiring waktu.
“Kamu harus belajar taat dengan suami. Semua keuangan, aku yang mengatur. Kamu tidak perlu mengatur hal seperti itu. Jika tidak, buat apa berumah tangga?” Tomi berteriak kepadanya dengan amarah yang terpancar jelas di wajahnya.
Permulaan yang kurang baik bagi Dara. Entah apa yang sedang ia jalani. Semua ini berbanding terbalik dengan harapannya pada saat mengiyakan permintaan Tomi untuk menikah.
...****************...
Di bawah kontrol, Dara tidak bisa lagi leluasa mengatur penghasilannya sendiri. Ia begitu takluk pada pernikahan yang mengikatnya, dan tidak bisa melawan meskipun ingin. Sejak ia menjadi bagian pada cinta segitiga itu, ia menjadi sangat jarang mengirimi ibunya. Ibunya memang tidak menagih atau menanyakan, tapi Dara lebih tahu kondisi yang mungkin terjadi di sana.
Seiring waktu, adiknya telah selesai bersekolah. Ia beberapa kali bertukar pesan dengan adiknya, dan menjadi lebih sering ketika mereka pindah ke Filipina.
Dara mendapat tawaran pekerjaan di Filipina dengan gaji yang besar. Seharusnya ia bisa mengirimkan ibunya lebih banyak lagi, dan mempermudah kehidupan mereka. Di empat bulan pertama mereka sampai di negara itu, ia menjadi satu-satunya yang membawa pulang penghasilan. Tomi tidak memiliki pekerjaan selama itu, dan semua tagihannya di Indonesia dibayar dengan gaji Dara. Mereka harus pintar berhemat agar semua tagihan itu terlunasi.
Tapi bukan itu saja ... Dara juga menggunakan penghasilannya untuk mengirimi Farah. Tanpa pikir panjang, Tomi memberikan jatah bulanan yang lebih besar daripada yang ia berikan ketika di Indonesia. Meski ia belum memiliki pekerjaan, beberapa kali ia menelepon ibunya dan istri tuanya menceritakan kehidupannya di Filipina. Ia juga tidak pernah menyinggung siapa yang bekerja. Keluarganya mungkin berpikir, ia telah memiliki pekerjaan. Beberapa bulan itu pula, Dara tidak bisa mengirimkan ibunya uang, karena di bawah kendali Tomi.
Pernikahan ini ... telah membuatnya menjadi anak durhaka.
Semua itu berlanjut bertahun-tahun lamanya. Dara tidak dapat membeli banyak hal untuk dirinya. Tomi akan memberikan persetujuan hal mana yang boleh di beli, dan tidak. Ia juga menentukan berapa besar kiriman, dan ... tidak pernah Farah mendapatkan jatah yang lebih sedikit. Ibu dari Dara selalu menjadi korban lagi. Dara tak dapat berbuat banyak selama itu.
Bahkan setelah beberapa bulan mereka di sana, Tomi menjatah uang saku Dara, padahal itu adalah hasil jeri payahnya sendiri.
Bingung ... Namun, berada dalam kontrol ... Dara tak banyak daya dan upaya ...
Farah sudah sangat jarang menghubungi Dara. Wanita itu tiba-tiba saja berhenti menghubunginya beberapa saat. Beberapa kali ia hanya menelepon menanyakan keberadaan suami mereka. Tepat sekali seperti kata-katanya, ia akan diam jika jatah bulanannya lengkap. Tentu saja ia menjadi lebih diam dengan kenaikan yang diberikan Tomi.
Tomi terbilang pandai ‘mengatur’ keuangan. Ia tidak akan membiarkan pengeluaran yang tidak penting bagi Dara. Hanya saja, beberapa kali di siang bolong ia pergi membeli beberapa botol Whiskey ternama untuk menemaninya menunggu Dara pulang dari kerja.
Tentang botol-botol Whiskey itu, Dara tak banyak bertanya. Ia bisa melihat mutasi dari aplikasi perbankan di ponsel pintarnya. Untuk pergi membeli minuman-minuman itu, lebih mudah bagi Tomi dibandingkah dengan mencarikan pil untuk mengobati diare Dara, beberapa minggu lalu.
Sejak tamparan pertama itu, Dara tak banyak menanyakan ke mana perginya gaji yang tidak pernah ia lihat utuh. Ia hanya mengetahui nominal melalui slip gaji. Ia terus berusaha menjadi istri yang taat seperti kata suaminya.
Bisa saja ia menanyakan setiap transaksi, dan mengkomplen setiap pengeluaran dari penghasilannya. Tapi ternyata, rasa takut akan Tomi dengan mudah membuatnya takluk. Dapat merebahkan punggungnya yang lelah duduk seharian di kantor, dan betis yang pegal karena berjalan pulang dan pergi ke kantor, rasanya lebih baik daripada harus memicu sebuah pertengkaran dengan sisa tenaga yang ia punya.
Di kehidupan sebelum pernikahan ini, Dara mengutamakan penampilannya. Semua kosmetik, wewangian, dan sepatu yang harus terlihat rapi. Semua ini bukan hal yang penting bagi suaminya sehingga pilihannya adalah ia harus menahan keinginan untuk membeli ini dan itu, hingga mungkin suatu saat suaminya menyetujui permintaannya itu, atau tidak membelinya sama sekali.
Beberapa kali ia mendengar percakapan antara Farah dan Tomi melalui ponsel. Perempuan itu terdengar terkekeh beberapa kali, dan pembicaraan itu ... terdengar begitu hangat ...
Farah kini lebih sering mem-posting dirinya pergi berbelanja dengan dua orang saudarinya, serta anak-anak. Ia juga pernah memamerkan sebuah jam tangan dengan merek ternama masih dalam kotak, dengan caption yang menghancurkan hati Dara sedikit demi sedikit.
Tomi tampak begitu fokus memenuhi keinginan materi Farah. Di beberapa momen, Dara juga membaca pesan masuk dari wanita itu, meminta tambahan untuk membeli beberapa keinginannya. Lagi-lagi ... Tidak ada banyak yang bisa ia lakukan selain diam, dan tetap berusaha mengikuti alur yang dibuat suaminya itu.
Dengan mulut yang tetap terkatup dan tidak banyak mengintervensi keuangan yang diatur oleh Tomi, Dara bisa mendapatkan perlakuan yang baik. Tak jarang sebuah kecupan mendarat di dahinya, atau secangkir kopi ada di sela ia menyelesaikan pekerjaan yang harus dibawa pulang.
‘Anggap saja, aku menggadaikan penghasilanku untuk perlakukan baiknya’ pikirnya dalam hati, meskipun ia juga ingin sekali menolak suaminya ikut campur pada hasil pekerjaannya.
Ponsel Dara bergetar ... Ia lekas keluar dari biliknya dan menjawab panggilan dari sebuah nomor baru.
“Dara. Apa kabar kamu, Nak?” dengan sesingkat itu, ia langsung tahu itu suara ibunya. Air mata dengan cepat menggenangi pelupuk matanya.
“Mama ... Aku baik saja, Mah ... Mama ganti nomor handphone?” sebisa mungkin ia menetralkan suaranya yang bergetar menahan tangis.
“Jaga kesehatan ya, Nak. Iya ... Mama ganti nomor handphone. Dar ... Maaf mama menelepon malam begini. Sesuatu terjadi di sini, dan kita sudah mengontrak rumah selama beberapa bulan. Lusa nanti mama harus memperpanjang sewa di sini. Maaf, Dar ... Tapi apakah mama boleh meminta bantuan kamu?” ibunya berusaha tetap tidak mendesak anak perempuannya itu.
“Berapa, Mah?”
“Lima juta, Nak ...” jawab ibunya singkat. Dara sontak diliputi kebingungan. Bagaimana bisa ia mendapatkan uang itu. Gajinya tentu saja lebih dari itu, namun untuk mengirimkan sejumlah itu, ia harus meminta kepada Tomi untuk memberinya dana tunai dan akan dikirim melalui jasa pengiriman uang antar negara.
“Dara ... Kalau tidak ada, enggak apa-apa, Nak. Mama akan cari jalan lain,” ibunya seperti telah mengendus kondisi anaknya itu. Ia tahu betul anaknya tidak pernah menolak jika dompetnya masih terisi dan cukup.
Dara menyeka air mata yang akhirnya membasahi pipinya. Ia mempertahankan suaranya agar tetap stabil.
“Mama ... Dara kabari nanti, ya. Malam ini Dara kabari.” Ucapnya, menjanjikan sesuatu yang ia tahu akan sulit didapatkan.
“Baik, Nak. Tapi ... asal kamu sehat dan bahagia, itu yang paling penting.” Jawaban ibunya ini mengingatkan Dara, saat ini kebahagiaannya sudah bukan sesuatu yang penting lagi ... baik baginya atau suaminya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments
Sri Ayudesrisya46
sangat miris sungguh bifoh fara mau di perbudak sudah.sudahbtau diperbudak.kok ga pilih cerai sih? cinta? hello?!!!!
masih di indonesia kan seharusnya tinggal telp bima.dan mohon bantuan agar bisa kabur dari tomy beres kan hhhhh dibutakan oleh cinta
2022-10-06
0