Air teduh. Beberapa bulan setelah rehabilitasi itu selesai, rumah tangga Dara menjadi sangat tenang. Mungkin benar kata orang, di awal pernikahan, pertikaian demi pertikaian akan muncul untuk menguji.
Bersabar dalam tekanan yang besar, bukan perkara yang kecil. Selama dua bulan, Tomi berkecimpung dalam grup rehabilitasi, semacam grup di mana para pecandu dicuci otaknya lagi agar tidak tertarik dengan narkotika. Di dalam dua bulan itu, Dara menunjukkan kelebihannya. Menyokong keuangan rumah tangganya, dan meski dengan berat hati penghasilannya harus ia bagi kepada istri pertama, Dara tetap melakukannya. Citranya menjadi naik kelas. Ia bukan lagi seorang istri muda yang sepeleh di mata Tomi.
Dengan penuh kasih sayang, ia sabar merawat suaminya selama masa rehabilitasi, dan setidaknya dalam dua bulan itu tidak terdengar amukan, teriakan, dan suara pecah belah dari dalam apartemen. Hal ini mempengaruhi tumbuh kembang Kio. Sebelum ayahnya terciduk dalam tes narkoba, Kio lebih banyak menghabiskan waktu dengan pengasuh, dan ibunya. Namun sekarang, laki-laki yang ia akan panggil ayah kelak ketika bisa bicara, sepenuhnya meluangkan waktu untuknya.
Tomi memang sosok yang menarik dalam pergaulan. Dalam masa rehabilitasi, ia tak begitu saja ditinggalkan oleh teman-teman kantornya. Mereka masih sering seliweran ke unit apartemennya untuk mengopi bersama, dan terkadang makan siang. Beberapa kali mereka juga menghabiskan malam minum-minum bersama. Bedanya ... Kali ini Dara benar-benar dianggap. Tomi akan menyuruh istrinya itu duduk di sampingnya, dan menunjukkan sikap baik terhadap istrinya.
Di hari terakhirnya rehabilitasi, Tomi begitu puas dengan sertifikat yang ia pegang. Beberapa hari sebelum menerima sertifikat itu, hasil tes urine sudah menunjukkan hasil negatif. Sebuah hal yang langka, ia mengajak istrinya pergi bersama dengan bayi mereka untuk makan malam bersama di sebuah restoran. Makan malam itu merupakan momen yang penuh kedamaian; tak seperti biasanya,
Tomi saat itu lebih banyak bertanya dan mendengarkan istrinya. Ia juga beberapa kali menanyakan ibu Dara, dan adik-adiknya. Sebuah kemajuan dalam hubungan rumah tangga.
Tomi tersenyum melihat selembar sertifikat hasil rehabilitasi di tangannya. Ia bergegas mengambil gambar dari sertifikat itu dan mengirimkannya kepada manajernya.
“Ayo pulang! Kamu mau makan di mana?” ia menganggetkan Dara yang sedang berdiri menggendong Kio.
“Hah? Ayo. Aku enggak enak badan. Mungkin aku akan makan di rumah. Enggak apa-apa kamu bisa makan di luar. Aku dengan Kio di rumah,” lingkaran gelap di bawah mata Dara memang dengan lugas menunjukkan ia sedang dalam kondisi yang kurang sehat.
Tomi mengambil Kio dari tangan Dara. Ketika tangannya menyentuh kulit Dara, suhu yang panas dapat jelas sekali terasa.
“Aku dengan Kio. Kamu boleh pulang istirahat. Aku antar, ya ... Setelah itu aku dan Kio keluar beli makanan. Kita makan sama-sama,” ujar Tomi dan disambut dengan anggukan dari istrinya. Merebahkan tubuh di kasur dan tidak menggendong bayi adalah hal yang Dara perlukan saat ini. Perempuan itu mengalami masa berat dalam minggu-minggu belakangan, ketika bayinya memasuki tahap memakan makanan padat.
Tomi benar-benar berbeda. Ia terlihat begitu kebapakan, memangku buah hatinya, dan mengajak bayi yang belum bisa bicara itu mengobrol di dalam perjalanan pulang. Kio tampak begitu nyaman dengannya. Banyak orang bilang, bayi bisa merasakan kelembutan hati seseorang, dan hanya nyaman dengan orang yang berhati lembut. Saat ini serigala itu sedang berubah menjadi lembu, sehingga bayi pun nyaman berlama-lama bersandar kepadanya.
Sesekali pandangannya itu ia alihkan ke arah istrinya. Perempuan itu seperti tak tidur semalaman, sampai-sampai ia tertidur begitu pulas di dalam taxi. Tomi menggenggam tangan istrinya yang sedang lemas. Di tangan kiri itu, ia bisa melihat bekas luka sayatan dari sisa perkelahian mereka waktu itu. Tomi mengusap-usap pelan bekas luka itu, lalu menarik nafas panjang dan menghembuskannya kembali.
“Sayang. Kita sudah sampai,” ia membangunkan istrinya yang entah berada di belahan dunia mimpi sebelah mana.
Dara menegakkan badannya, dan membuka mata. Ia turun dahulu, karena suaminya akan melanjutkan perjalanan bersama Kio pergi ke sebuah pusat perbelanjaan yang tak jauh dari mereka.
Ia bergegas menuju lift, dan memasuki unit apartemennya. Wangi cairan pel beraroma pinus dapat tercium dengan jelas ketika pintu itu dibuka. Dara menanggalkan sepatunya, dan seperti kucing yang kebasahan, ia bergidik di atas tempat tidur, lalu menutup sekujur tubuhnya dengan selimut.
Kepalanya terasa begitu berat, dan ia setengah tertidur hingga suaminya pulang dengan Kio. Tomi meletakkan beberapa kantong belanja di atas meja, kemudian bergegas membaringkan Kio yang sudah tertidur pulas dalam gendongan.
Dara menuju meja makan mereka. Ini pertama kalinya ia melihat suaminya berbelanja sebanyak itu untuk konsumsi mereka berdua.
“Ayo makan. Aku beli makanan kesukaan kamu. Katsu dan saus kari, bukan? Oh dan ini juga ada milkshake tiramissu kesukaan kamu, lengkap dengan topping-nya” sambil mengeluarkan hasil belanjanya, Tomi menjelaskan satu per satu kepada Dara.
“Ini banyak banget, Bi.”
“Banyak? Buat istri, kok. Hehe. Lagian kamu selama ini sibuk dengan Kio. Kamu jarang bisa makan dengan tenang kayak gini, kan?” sebuah kejutan tersirat dalam kalimat yang Tomi ucapkan. Jadi selama ini ... ia tahu ... dan memperhatikan bagaimana kondisi istrinya.
Tomi tersenyum melihat istrinya itu dengan lahap menghabiskan semua yang ia bawa. Wanita itu tampak seperti bocah sekolah dasar yang sedang melahap bekalnya.
...****************...
“Pa ... Pa ...” suara menggemaskan dari Kio suatu hari terdengar begitu lantang di dalam apartemen. Di usianya yang akan segera memasuki dua tahun, ia belum terlalu banyak berbicara. Tentu saja, hal ini bukan sesuatu yang baik menurut ibunya, namun mereka pun tidak tergesa-gesa mencari bantuan ahli untuk Kio. Balita itu menjadi sulit makan sejak usia sembilan bulan. Ia telah bergonta ganti pengasuh, dan saat ini ia bersama dengan seorang pengasuh baru yang telah bertahan cukup lama. Cecilia ... Nama yang cantik. Pengasuh itu adalah seorang ibu tunggal dengan lima orang anak. Ia nekat pergi ke kota mencari pekerjaan dengan modal yang minim, dan beruntung bertemu dengan Dara sebelum uang sakunya benar-benar habis.
Cecil begitu sabar merawat Kio. Sejak ia ada, Dara lebih bisa tenang ketika berada di kantor. Ia tak perlu lagi kuatir tentang Kio. Bayi itu tampak begitu dekat dengan Cecil. Terkadang ia akan tidur dengan Cecil hingga pagi hari, dan ini menjadi keuntungan bagi Dara untuk dapat tidur dengan nyenyak di malam hari.
“Eh! Sudah pintar anak papa. Sayang! Dara!” Tomi begitu kagum mendengar Kio memanggil ‘papa’. Ia ingin sekali agar Dara juga menyaksikan momen itu. Dara buru-buru menghampiri suaminya.
“Ayo bilang lagi. Pa pa” Tomi menyuruh Kio untuk melakukan pertunjukan bicaranya sekali lagi.
“Pa ... Pa ...” suara menggemaskan itu membuat orangtuanya bersorak begitu gembira.
Tomi memeluk anaknya itu dengan penuh bahagia. Ia kemudian memeluk Dara bersama dengan anak mereka.
“Ini langka sekali. Aku belum pernah sendiri melihat tumbuh kembang anak. Ini betul-betul pengalaman pertamaku,” ujarnya sembari menatap anaknya.
Tomi memang telah punya tiga orang anak. Akan tetapi ia bercerita bahwa ia tidak pernah tinggal satu atap dengan Farah dalam waktu yang lama, sehingga ia tidak tahu bagaimana tahap tumbuh kembang anaknya sendiri. Yang ia ketahui hanya memenuhi kebutuhan ekonomi mereka.
“Kamu enggak telepon anak-anak? Farah?” Dara bertanya sembari membereskan mainan Kio yang berserakan di lantai.
“Enggak. Nanti saja. Tapi Farah ada bilang lewat SMS, ada biaya yang mau dia keluarin lumayan besar di bulan ini.”
“Besar? Berapa, Bi?” tanya Dara penasaran. Topik seperti ini sudah tak asing baginya.
“Lima juta. Untuk pendaftaran sekolah Raffi,” jawab Tomi sembari memijat keningnya.
“Raffi bukannya masuk TK? TK di mana memangnya. Itu lumayan besar,” tanpa keraguan, Dara menanyakan hal ini kepada Tomi.
“TK biasa. Bukan TK besar. Tapi memang segitu pendaftarannya, sayang. Enggak apa-apa, kan?”
“Oh. Ok. Enggak apa-apa. Kan buat sekolah,” ujar Dara menyembunyikan rasa curiganya.
Kring! Kring!
Ponsel Tomi berdering. Sebuah panggilan video. Tebak! Itu ibunya.
Dara masih belum juga berkomunikasi dengan mertuanya itu. Selama ini, ia tak pernah ikut masuk dalam obrolan video. Hanya Tomi dan Kio yang biasa berbincang-bincang.
“Hai Tom. Ini mama lagi packing. Kamu mau dibawakan apa saja?” suara lantang yang terdengar bahagia itu, terdengar jelas oleh Dara.
Tunggu dulu ... dibawakan apa? Ini berarti ... Dara dengan cepat mencoba mencerna percakapan mertuanya dengan Tomi. Percakapan itu betul-betul jelas. Tidak salah lagi. Mertuanya pasti akan segera berkunjung.
Tetap ... Dara dengan sabar menunggu hingga percakapan itu berakhir, agar ia bisa bertanya dengan leluasa kepada suaminya.
“Mama kamu mau ke sini?” ia tanpa segan langsung menanyakan hal itu begitu Tomi mengakhiri percakapan video call.
“Oh ya! Maaf aku lupa kasihtau. Kemarin aku pakai uang tabungan di ATM kamu. Aku beli tiket untuk mama, dan Tami. Mereka mau ke sini. Mamaku bosan katanya, mau jalan-jalan,” jawabnya lengkap sambil mengutak-ngatik ponsel.
“Padahal itu tabungan aku untuk mamaku. Kamu kan tahu sendiri kalau mamaku sudah lama mau aku ajak pergi ke sini,” Dara tidak bisa menyembunyikan kekecewaan kepada aksi spontan suaminya itu. Tomi jelas-jelas tahu, Dara telah mempersiapkan dana untuk kedatangan ibu dari Dara.
“Aku tahu. Mungkin lain kali. Lagian mama kamu harus urus paspor dulu, dan lain-lain. Kalau mamaku, dokumennya sudah lengkap. Lagian, supaya kamu bisa ketemu dengan mertua. Iya kan?” jawab Tomi santai.
Hati Dara bercampur aduk. Ia tak tahu apakah ia harus merasa gugup dengan kehadiran mertuanya, atau sedih karena tabungannya untuk ibunya telah digunakan oleh suaminya itu. Kehadiran mertuanya terbilang dadakan. Dengan beberapa perlakuan mertuanya itu kepada dirinya, Dara tentu saja membutuhkan waktu untuk menyiapkan mental. Ia bukan seorang wanita penakut yang gampang takluk dengan hardikan. Sebaliknya ia takut jika dirinya tak bisa bersikap baik karena terus mengingat beberapa cibiran mertuanya di beberapa waktu lalu.
Adik perempuan dari suaminya itu juga pernah melakukan hal yang sama. Setidaknya dua atau tiga kali, ia pernah menghardik Dara melalui pesan singkat, dan mencibirnya melalui kakak laki-lakinya.
Kedatangan itu tentu bukan sesuatu yang diharapkan Dara dalam waktu dekat. Beberapa waktu lalu ia telah menginstruksikan ibunya untuk mengurus dokumen perjalanan agar bisa menjenguknya di Filipina ... dan ... hal ini diketahui sangat jelas oleh Tomi.
“Tolong bilang ke Cecil bersihkan kamar nanti, ya. Mamaku dan Tami akan tidur di situ,”
“Iya,” jawab Dara singkat dan bergegas menghampiri pengasuh Kio.
Cecil dan Dara begitu dekat. Keduanya sangat fokus mengenai Kio, dan selalu berkomunikasi tentang apa yang terjadi di apartemen selagi Dara bekerja. Cecil juga beberapa kali menceritakan kehidupan lampaunya, di mana ia diperlakukan tidak baik oleh keluarga suaminya. Ia beberapa kali bertanya juga mengenai hubungan Dara dengan keluarga suaminya. Dari jawaban Dara, Cecil sudah bisa menarik kesimpulan bahwa majikannya itu mendapatkan perlakuan yang sama dengan dirinya. Ia bisa melihat gestur tidak nyaman pada Dara ketika ia diminta membersihkan kamar untuk menyambut kedatangan mertuanya. Cecil seorang wanita yang baik. Umurnya sedikit lebih muda dari ibu Dara. Di saat mereka memasak bersama, ia banyak membagi cerita dengan majikannya itu, dan membesarkan hatinya agar tetap sabar menghadapi sifat suaminya yang pasang surut. Mendengar mereka akan kedatangan mertua dari Dara, Cecil berinisiatif untuk memberikan beberapa tips untuk majikannya itu. Dia yang sudah lebih berpengalaman dalam hal ini, berpendapat bahwa tidak terlalu penting untuk dapat mengambil hati. Mencoba mengambil hati, dan menyampingkan kenyamanan hati sendiri, bukan sesuatu yang baik. Dara bisa bersikap biasa saja, layaknya hari biasa. Bagaimana pun, ia harus bekerja, dan memerlukan konsentrasi di kantor setiap hari.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments