Belajar memaafkan mungkin baik baginya, sehingga Dara memutuskan untuk bersikap lebih santai dengan mertua dan iparnya. Mertuanya itu beberapa kali memasak bersamanya di dapur, layaknya skenario yang terjadi pada film-film. Ia juga aktif mengobrol dengan iparnya itu. Tidak. Ia lebih banyak mendengar. Tami banyak menceritakan sifat-sifat kakaknya di masa muda, yang membuat orang menggaruk kepala yang tak gatal.
Dari dapur, aroma ‘chicken adobo’ sebuah makanan khas Filipina yang tampilannya sangat persis seperti semur ayam, dapat tercium dengan jelas. Cecil sedang memasak bersama Dara yang kebetulan libur hari itu bersama Tomi. Kio sedang asyik duduk di kursi makannya dan sesekali bercanda dengan tantenya yang jauh datang dari Indonesia. Tami bukan pertama kalinya memiliki keponakan. Sebelum Kio, ada anak-anak Farah yang hadir lebih dulu. Akan tetapi, ketertarikan Tami pada Kio sangat berbeda. Wanita yang seumuran dengan Dara itu sering membawa bocah itu keluar berjalan-jalan, hingga bocah itu tertidur pulas. Jarang sekali Kio berada di rumah dan berteman kebosanan, setelah ada Tami di sana. Sifat Tami yang satu ini adalah hal yang disenangi Dara. Ia tak menyangka ipar yang dulu setengah memakinya melalui email, berubah 180 derajat.
Dara seorang wanita yang royal kepada sahabat-sahabatnya, dan kepada orang-orang yang baik dengan temannya. Ia beberapa kali mengajak Tami keluar berjalan-jalan membeli kudapan yang disukai. Keduanya begitu berbeda meski dalam umur yang sama. Tami dengan kebiasaannya berbelanja, dan ngemil, sedangkan Dara sebaliknya.
Tak seperti Dara, Tami tak begitu dapat berbahasa Inggris dengan baik. Seperti kakaknya, ia akan memboyong ipar barunya itu ke mana pun ia pergi di sekitar Filipina. Ia juga lebih banyak berdebat dengan Tomi dibandingkan dengan siapa pun di dalam apartemen itu.
“Tam. Ayo makan!” Dara memanggil iparnya untuk menyantap makan siang bersama, sembari menyiapkan makanan di atas meja. Ia lalu pergi keluar, memanggil suaminya yang sedang sibuk memandikan sekawanan love bird piaraannya.
Dara tak pernah membedakan siapa pun di sekitarnya. Saat mereka makan, Cecil juga ikut ambil bagian bersama. Melihat Cecil makan terpisah seperti diasingkan, adalah hal yang paling ia benci. Lagi pula Cecil itu sudah menemaninya seperti kakaknya sendiri.
“Sebentar ya, anak manis,” Tami mengelus kepala Kio yang sedang fokus menghabiskan buah anggur di atas mejanya.
Makan siang itu terlihat seperti sebuah keluarga dalam film layar lebar yang mempertontonkan deskripsi keluarga bahagia. Mertuanya mengangguk-angguk sambil mengunyah masakan buatannya, pertanda senang dengan rasa yang Dara ciptakan dari dalam dapur kecilnya. Tomi beberapa kali bercerita bahwa istrinya itu sangat pandai memasak. Dalam beberapa kesempatan, Dara memasak berbagai makanan Indonesia untuk teman-temannya di sana.
Ponsel Tomi bergetar, sebuah panggilan masuk dari Farah bisa terlihat jelas pada layar ponselnya. Ia meminum air yang penuh es batu, lalu menjawab telepon itu.
“Iya. Baik. Nanti aku kirimkan. Tapi enggak bisa hari ini. Mana cukup? Mama ada di sini, uangnya terpakai buat jalan-jalan,” tak lain dan tak bukan, semua telponan Farah hanya tentang isi dompet belaka. Panggilan itu pun ia matikan, dan Tomi melanjutkan makan siangnya.
Dara tidak bergeming sama sekali. Ia berusaha kelihatan biasa saja di depan mertuanya apabila Farah menelepon.
“Siapa Tom?” mertuanya memecah keheningan setelah percakapan telepon itu.
“Farah, mah. Minta kiriman uang untuk daftar TK,” jawab Tomi lugas.
Ibunya mengangguk, lalu bertanya lagi,” Berapa memangnya?”
“Lima juta, mah,”
“Hah? Lima juta? Sekolah di mana memangnya?,” Tami ikut berkomentar sambil mengerutkan dahinya.
“Iya. Sekolah di mana itu? Kok mahal sekali untuk ukuran TK?” ibunya juga setuju dengan apa yang dikatakan oleh Tami. Dara tetap tak bergeming.
“TK Seruni katanya. Tahun lalu Firman juga di situ. Sekarang uang pendaftarannya selisih satu juta dari pendaftaran Raffi tahun ini,” Tomi menjawab tanpa beban.
“Tetap saja itu besar sekali,kak” sahut Tami masih bersikeras dengan pendapatnya.
Tomi sedikit terpojok, namun selama ini ia memang hanya mengirimkan semua yang diminta oleh Farah, tanpa basbisbus.
“Sayang. Kalau kamu enggak sibuk, tolong cek. Bagaimana pun caranya.” Tomi meminta Dara untuk mengecek detil pendaftaran TK yang dimaksud Farah. Dara memang selalu bisa diandalkan dalam hal ini. Tomi sering menggunakan kemampuan istrinya untuk memverifikasi berbagai hal.
“Iya. Setelah makan ya, bi” seorang istri yang sangat patuh.
...****************...
Dara terlihat begitu serius di depan laptopnya. Ia sedang dalam peramban untuk mencari informasi yang ia butuhkan. Ah! Ini dia! TK Seruni, seperti yang Tomi katakan. Ia berusaha mencari nomor telepon yang bisa ia hubungi. Syukurlah, sebuah nomor WhatsApp tertera di situ. Dara mengambil ponselnya dan menyimpan nomor ponsel itu. Ia mengirimkan sebuah pesan singkat lewat WhatsApp menyapa, dan langsung dibalas.
Pemilik nomor ponsel itu ternyata kepala sekolah di sana. Bagus! Ia sudah berada di tangan yang tepat. Orang itu begitu ramah, menjawab pesan-pesan Dara.
Dara: [ Ibu. Saya mau tanya untuk pendaftaran di TK Seruni apa sudah dibuka? ]
Kepsek: [ Sudah, ibu Dara. Besok kami sudah buka pendaftaran. Silakan ambil formulirnya di sekolah. J ]
Dara: [ Oh, baik kalau begitu, bu. Boleh saya tahu berapa uang pendaftaran masuk sekolah? ]
Ini dia! Ini informasi yang dibutuhkan oleh Tomi.
Kepsek: [ Pendaftarannya 1,750,000 saja, bu ]
Dara sedikit bingung, namun berusaha untuk tetap terus mencari tahu, sebab apa yang kepala sekolah sampaikan dan yang Farah minta begitu berbeda.
Dara: [ Hanya itu bu? Maksud saya tidak ada biaya lain?]
Kepsek: [ Iya betul, ibu. Itu sudah termasuk dengan dua pasang seragam, dan juga SPP untuk tiga bulan kedepan. ]
Dara mengakhiri percakapan itu. Ia mengambil screenshot, memastikan ia menyimpan kebenaran yang baru saja ia dapatkan. Dengan cepat ia beranjak ke ruang tamu, di mana Tomi sedang berbincang bersama mertua, dan iparnya.
“Ini aku sudah dapat rinciannya,” katanya kepada Tomi yang sudah melihat kehadirannya.
“Mana liat?”Tomi menghampiri Dara dan melihat layar ponselnya. Seketika, Dara bisa melihat ekspresi Tomi yang berubah drastis, dan tangan yang mengepal-ngepal.
“Kenapa Tom?” ibunya penasaran melihat wajah Tomi yang memerah.
“Dia bohong, mah. Selama ini dia bohong. Pendaftarannya bukan lima juta. Hanya 1,750,000 saja. Berarti di jaman Firman masuk sekolah juga bukan lima juta. Kurang ajar!” ujar Tomi lalu bergegas mengambil ponselnya.
Ia melakukan panggilan kepada Farah, dan meletakkan ponselnya di meja dengan loudspeaker yang dinyalakan.
“Halo.” Suara Farah dapat jelas terdengar oleh semua orang di apartemen.
“Kata siapa lima juta pendaftarannya?” sambar Tomi.
“Memang segitu pendaftarannya. Kenapa marah-marah sih?” seperti tanpa rasa bersalah, Farah bertanya dengan nada yang tinggi.
“Pembohong kamu! Kamu pikir enak cari uang di sini? Heh! Dara mati-matian cari uang di sini dengan saya. Seenaknya kamu mark up sana sini.”
“Loh kok marah-marah? Yang pembohong siapa?” Farah tak mau kalah, seperti biasanya.
“Kamu lah. Saya sudah WhatsApp kepala sekolahnya. Pendaftaran hanya 1,750,000. Farah! Oh ini kenapa selama ini saya minta lihat brosur dari sekolah, kamu enggak pernah kirimkan.” Emosi Tomi begitu meledak-ledak. Emosi yang tak pernah Dara lihat sebelumnya ketika Tomi berbicara dengan Farah.
Ini bukan pertama kalinya. Beberapa kali Farah memang menyebut angka yang entah membuat geli, atau geleng kepala. Suatu saat sebelum ini, ia mengatakan bahwa Tomi harus menaikkan lagi jatah bulanan, karena dana untuk membeli susu sangat besar. Menurutnya dalam sebulan anak-anaknya minum lima kilogram susu bubuk.
Farah terdengar diam di balik telepon. Kemudian panggilan itu ia matikan.
Tomi memaki-maki perempuan itu di depan ibunya, dan Tami hanya bisa menggelengkan kepala. Dara berusaha bersikap setenang mungkin, meskipun ada sedikit rasa bahagia di hatinya ketika saingannya itu terbukti melakukan sesuatu yang tak pantas. Selama ini jatah bulanan yang mereka kirimkan sangat banyak untuk ukuran anak-anak yang bersekolah di sekolah negeri, dan Farah selalu menuntut kurang.
Mertuanya diam. Setidaknya wanita itu dapat menelan kembali pemikirannya dulu, bahwa Dara datang untuk menghabiskan uang Tomi. Dari mulut anaknya sendiri, ia mendengar penjelasan bahwa gaji Tomi sebagian besar habis membayar keperluan Farah, dan Dara yang harus beberapa kali menambal kekurangan dalam rumah tangga, dalam jumlah yang tidak sedikit.
Setelah kejadian itu, Dara seperti sebuah tim sepakbola dengan nilai yang lebih unggul. Setidaknya ia bukan perempuan yang tidak jujur mengenai keuangan dalam rumah tangganya. Semua percakapan pembuktian itu, benar-benar secara tidak langsung mengubah Dara menjadi pusat perhatian mertua dan iparnya. Mereka sangat jarang membicarakan Farah setelah kejadian siang itu.
Beberapa waktu setelah kejadian itu, Tomi benar-benar berawut wajah murung dalam beberapa hari. Ia tak berbicara kasar kepada siapa pun ... akan tetapi seperti orang yang kehabisan tenaga setiap hari.
Dara mengenal lelaki yang ia nikahi itu. Ia tahu tidak akan ia bermurung jika memang tertimpa sesuatu yang berat. Dengan inisiatifnya, ia meminta untuk pergi berlibur bersama mertua dan iparnya ke sebuah tempat di mana mereka bisa melihat pemandangan kota 360 derajat dari ketinggian. Hal itu sama sekali tidak ditolak oleh Tomi, dan langsung terlaksana.
Kio sangat tenang dalam liburan singkat itu. Dara juga bisa menghabiskan waktu yang cukup bermanfaat dengan keluarga kecilnya. Hotel itu terbagi dalam beberapa bangunan yaitu bangunan menara dengan restoran di puncaknya, bangunan lain untuk kamar-kamar dan kolam, juga sebuah bangunan lain untuk penangkaran burung merpati dalam berbagai jenis.
Tomi tahu benar, istrinya menyukai sesuatu yang menantang. Ia mengajak istrinya itu untuk menyebrangi jembatan gantung menuju menara tersebut. Malam itu begitu dingin, namun tak banyak angin yang bertiup. Dara dengan nafas terengah-engah menyeka keringatnya yang bercucuran. Jarak antara ujung jembatan menuju menara bukan dekat ... lumayan menguras tenaganya.
“Lapar lagi pasti?” canda Tomi disambut tawa dari istrinya itu.
“Iya. Kayaknya turun nanti, harus makan lagi” jawabnya sambil duduk melunjurkan kakinya di lantai. Angin sepoi-sepoi dengan mudah menyelinap masuk dalam bajunya, mengeringkan separuh keringat yang masih mengucur.
“Aku mau cerita. Ini soal aku dan Farah,” suasana menjadi begitu serius setelah Tomi mengatakan hal ini. Ia memilih sebuah topik yang selama ini berusaha Dara hindari. Apa boleh buat, ia saat ini paling tidak harus menjadi istri dan pendengar yang baik untuk suaminya.
“Ada apa, bi?” rasa ingin tahunya memang kuat. Tetap saja, apa pun itu, ia akan merasa tidak nyaman selama topik itu mengenai Farah.
“Kamu tahu ... aku enggak pernah tertarik dengan perempuan yang namanya Farah. Dia hanya staf di tempat aku bekerja. Waktu itu, dia sama sekali enggak menarik ... apalagi cantik? Enggak sama sekali. Aku jarang juga say hi dengan dia. Kesalahan. Namanya juga mabuk, dan dia mungkin pasrah saja. Beberapa kali dia memang kayak cari perhatian sama aku,” panjang lebar Tomi membuat kalimat pembuka.
“Lalu? Sekarang ada apa?” Dara singkat berkomentar.
“Kamu sekarang satu-satunya. Dia banyak menutupi hal-hal lainnya dari aku. Dia minta aku talak. Jadi sudah aku talak dia kemarin lalu,”
Apa? Dara seakan tak percaya apa yang baru saja ia dengar. Selama ini, ia selalu menjadi sasaran ancaman Tomi untuk diceraikan, namun kenyataan berbalik.
“Aku enggak bisa komentar apa-apa, bi. Tapi aku akan berusaha dengan baik mendampingi kamu di masa-masa ini,” tak terasa matanya basah oleh air mata yang merembes. Perasaan yang aneh dalam hati Dara mengetahui suaminya telah menceraikan saingannya. Entah apakah ia harus gembira, atau justru was-was akan sifat suaminya yang mudah menceraikan wanita.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments