“Nanti, ya. Belum sekarang. Memangnya kepepet sekali, ya?” di pagi buta itu Tomi sudah sibuk berbincang di sambungan telepon. Farah sudah meneleponnya sepagi itu.
Dara menarik selimut, pura-pura masih tidur lelap agar bisa mendengar apa yang mereka bicarakan sepagi itu. Mereka bahkan belum beranjak dari tempat tidur, dan langit masih agak gelap di luar.
“Hmm ... Aku cek dulu nanti. Berapa memangnya?” sepertinya panggilan telepon itu akan segera diakhiri. Kesimpulannya, ada permintaan dana dari Farah kepada Tomi.
Topik seperti ini sudah biasa bergema di dalam rumah tangga mereka, apalagi jika rekening sudah segar karena upah bulanan sudah diterima. Dengan keuangan yang dikontrol penuh oleh Tomi, ia tak dapat berbuat banyak. Ia cukup menyimak, dan terkadang membanting beberapa barang untuk melegakan kekesalannya dalam hati.
“Ada apa?” Dara memulai percakapan itu dengan sebuah percakapan singkat. Ia tak berharap jika pertanyaannya akan dijawab jujur, namun biasanya jika masalah transfer mentransfer, Tomi akan memberitahukan apa yang dibutuhkan. Sekedar memberitahukan, bukan meminta persetujuan.
Dara mengelus perutnya yang makin buncit. Di usia kehamilan delapan bulan itu, bayinya kian aktif bergerak ke segala penjuru dalam perutnya. Tinggal menunggu beberapa minggu lagi, Dara akan segera menemui bayi mungilnya. Di tengah keseharian pernikahannya yang penuh dengan pertengkaran, mereka sudah berencana akan pergi membeli beberapa perlengkapan bayi selepas kerja nanti.
Dara lahir pada keluarga yang berada, akan tetapi mengalami bangkrut ketika ia masih sangat belia. Tentunya dengan penghasilan yang ia miliki sekarang, ia berimpian untuk membelikan anaknya hal-hal yang tidak pernah ia dapatkan di masa kecilnya. Pakaian yang nyaman, tempat tidur yang empuk, mainan yang mengedukasi, kereta dorong bayi yang kokoh, dan beberapa hal lagi sudah ada pada daftar belanjanya.
Ia tahu gajinya tidak akan bisa ia harapkan, sehingga ia telah memberitahu Tomi jauh-jauh hari bahwa ia akan bekerja lembur, dan hasilnya akan digunakan membeli keperluan bayi mereka. Sesuatu yang lucu tentunya, namun hal itu akhirnya terasa lumrah baginya. Gaji sepenuhnya dikontrol oleh Tomi, sehingga Dara harus mendapatkan tambahan lainnya agar bisa membeli ini dan itu.
“Itu ... Farah. Minta kiriman tambahan,” Tomi menjawab singkat sambil melihat ke layar ponselnya.
“Tambahan? Bukankah jatahnya sekarang sudah lebih dari cukup?” Dara memberanikan diri untuk sedikit memprotes hal itu.
Tomi menggaruk kepalanya yang entah gatal atau tidak. Tampaknya setiap kali telepon permintaan dana ini masuk, acap kali Tomi menjadi kelihatan berada dalam tekanan.
“Betul ... Menurut aku juga seperti itu, Ra. Aku sudah beberapa kali minta rincian apa saja yang dia pakai dengan kiriman bulanan itu. Tapi ... ya, begitu,” tumben sekali Tomi seperti tak berpihak pada Farah. Biasanya ia tak segan-segan menghardik Dara jika memprotes mengenai kiriman yang sudah tak masuk akal permintaannya. Bahkan Dara pun, tidak pernah diberikan uang sebanyak itu oleh Tomi. Dengan jumlah yang setiap bulan diminta, dan beberapa kebutuhan Tomi lainnya, gaji Tomi benar-benar utuh digunakan hanya untuk dirinya, Farah dan anak-anaknya. Sedangkan untuk keperluan lainnya pada rumah tangganya dengan Dara, semua murni menggunakan hasil jerih payah Dara. Daripada mengumpan bogem mentah mendarat pada wajahnya, Dara akan berusaha agar menghindari diskusi mengenai gaji suaminya itu.
“Memangnya berapa, Bi?” penasaran sekali Dara tentang permintaan kali ini. Ini bukan kali pertama Farah meminta tambahan kiriman. Hampir setiap bulan, ada saja tambahan karena hal-hal yang menggelikan sekalipun. Contohnya untuk membeli baju yang sama dengan orang tua murid lain menjelang acara mereka nongkrong bersama. Bukan sesuatu yang primer ... tidak juga mendesak ...
“Tujuh juta. Untuk beli sepeda motor katanya.” jawab Tomi singkat sembari menggaruk kepala dengan lebih kasar kali ini.
Dara menjadi benar-benar segar seketika. Uang sebanyak itu? Apa Farah berpikir dirinya dan Tomi sedang mencetak uang di sini? Ditambah dengan jatah bulanan, jumlah itu sangat banyak. Sementara, Dara juga harus menyisihkan separuh keuangannya menjelang kelahiran bayinya.
“Apa segitu darurat harus beli motor baru?” nada bicaranya mulai menampakkan kekesalan. Bagi Dara, Farah bersikap sangat aji mumpung.
“Aku rasa enggak, sayang. Tapi alasannya untuk antar jemput anak sekolah,” nada bicara Tomi mulai melembut ketika melihat raut wajah Dara yang tidak senang itu. Di saat-saat tertentu, ia memperhitungkan perasaan istri mudanya itu, dan di saat lainnya ia sangat tak memedulikannya.
“Ya. Aku rasa juga begitu, Bi. Lagian selama ini bukankah mereka sudah punya kendaraan? Dia juga jarang mengantar anak-anak ke sekolah, bukan? Selama ini lebih sering menggunakan ojeg. Aku sudah punya rencana untuk anak kita, enggak mungkin sesuatu seperti ini diselipkan tiba-tiba dalam rencana. Lagi pula kita harus berjaga-jaga untuk biaya kelahiran.”
“Kamu betul ... Aku akan beritahu Farah soal ini,” Sekakmat! Dara memenangkan diskusi pagi ini. Detak jantungnya yang tadinya menggebu-gebu, kembali pada irama normal. Ia memijit kakinya yang sedikit bengkak karena terlalu lama duduk pada saat bekerja kemarin.
Ia melihat Tomi beranjak keluar kamar mereka. Dengan pintu yang terbuka, ia bisa mendengar dengan jelas apa saja yang Tomi ucapkan di panggilan kedua bersama Farah.
“Iya. Enggak bisa seperti itu. Dara juga perlu. Dia sebentar lagi mau melahirkan. Ini luar negeri, biaya di sini enggak sedikit. Lagi pula itu bukan hal yang urgent saat ini, ‘kan?” sebuah kesenangan tersendiri ketika Dara mendengar kata-kata itu meluncur dari mulut Tomi. Suaminya itu biasa condong kepada Farah dan akan mengiyakan semua permintaannya. Tapi ... Tidak untuk kali ini!
...****************...
Kehamilan Dara bukan hanya sesuatu yang sangat membuatnya bahagia. Hal itu juga membuat teman-teman sekantornya berbahagia. Mereka senang sekali mengandai-andai cerita jika bayi mungil itu sudah lahir nanti. Hampir semua dari mereka sangat perhatian kepada wanita hamil itu. Beberapa sering datang membawakan Dara kudapan untuk menambah bobot bayi di perutnya.
Cerita mengenai rencana Dara membeli beberapa perlengkapan bayi juga merupakan trending topic di sore itu. Beberapa dari mereka sangat bahagia ketika mengetahui bayi yang dikandung Dara adalah seorang bayi perempuan, menurut USG beberapa hari lalu.
Cony ... Nama itu adalah nama yang pertama kali tercetus di kepala Dara, dan sejak itu mereka memanggilnya dengan sebutan ‘Mama Cony’.
Kali ini situasi berpihak kepada Dara dan bayi kecilnya di dalam perut. Tomi bisa dibilang sedang berpihak juga kepadanya. Ia menemani Dara sore itu pergi ke sebuah mall terbesar di negara itu untuk mencari perlengkapan bayi. Tomi sudah memilih sebuah outlet brand bayi ternama, yang hampir ada di semua negara.
Langkah Dara begitu bersemangat ketika mereka sampai di depan mall itu. Ia memasuki fase yang sangat ia nantikan dalam kehamilannya, yaitu berburu perlengkapan bayi. Tomi beberapa kali tersenyum kepada istrinya itu. Sepanjang pernikahan mereka, itu kali pertama ia melihat Dara senyum begitu lebar dan sangat bersemangat dalam tiap langkahnya.
Warna-warna pastel yang lembut, langsung menyejukkan mata Dara. Ia langsung menuju berbagai penjuru dalam toko bayi itu. Tomi terus ia gandeng untuk membantunya memutuskan ini dan itu.
Drrrttt! Ponsel Tomi berdering beberapa kali, akan tetapi dengan sebuah ketukan di layar, ponsel itu kembali hening. Tomi sedang menikmati waktu memilihkan beberapa pakaian dengan desain imut untuk calon putrinya yang sebentar lagi hadir.
Merek terkenal itu memiliki kualitas bahan yang sangat baik. Tak hanya itu, berbagai mode pakaian dengan kegunaannya masing-masing. Dara tak lupa membeli serta beberapa perlengkapan tidur bayi mungilnya, dan juga perlengkapan mandinya. Rasanya sungguh tak bisa berhenti mengambil ini dan itu untuk memenuhi troly mereka.
Jumlah belanja yang terbilang besar itu dibayar oleh Tomi di kasir. Biasanya ia akan menggerutu terhadap apa yang dibelanjakan Dara, namun tidak kali ini. Ia terus menggenggam tangan istrinya itu sembari membawa berkantong-kantong belanjaan keluar dari mall itu.
Di taxi menuju perjalanan pulang, mereka sibuk membahas beberapa barang lainya yang belum terbeli karena sudah banyak bawaan mereka.
Drrrt!
Ponsel Tomi bergetar. Sebuah pesan masuk rupanya. Ia tak segan seperti biasanya, dan membuka pesan itu agar bisa terbaca oleh istrinya.
Farah: [ Di mana? Kenapa ditolak telepon saya? ]
Dara menggenggam tangan suaminya. Di saat seperti ini ia menjadi sangat mudah cemburu.
Tomi membalas singkat pesan itu, dan membiarkan layar ponselnya di posisi yang sama, yang bisa dilihat oleh Dara.
Tomi: [ Kami baru pulang belanja perlengkapan bayi. ]
Farah: [ Beli di mana? ]
Tomi: [ Di mall di sini. Di ( nama brand ) ]
Farah: [ Bukannya itu brand yang lumayan mahal? ]
Tomi: [ Yap. Betul. Dara sudah jauh-jauh hari siap-siap untuk belanja di sana. ]
Farah: [ Enak ya, dia ... Anak-anakku mana pernah kamu temani untuk cari barang-barang mereka sewaktu bayi? Apalagi dengan brand mahal seperti itu ]
Dara mulai datar ekspresinya membaca pesan itu. Ini bukan kali pertama Farah selalu membandingkannya. Padahal Dara sendiri bekerja keras untuk mendapatkan semua ini.
Tomi: [ Aku harus kerja untuk bisa bayar semua biaya operasi kamu. Dara berencana untuk melahirkan normal. Lagi pula, dia kerja keras selama ini supaya bisa terkumpul uang untuk belanja di sini. Ini bayi pertamanya. Kamu juga dulu pasti belanja keperluan bayi, ‘kan? ]
Farah: [ Betul. Tapi bukan barang-barang mahal seperti yang kamu belikan untuk dia. Hanya pakaian biasa yang murah. ]
Cukup sudah! Dara akhirnya tersulut emosi dengan pesan itu. Pesan itu terlihat seperti investigasi awalnya, namun berubah menjadi sebuah kritik dan komplain.
“Kenapa Farah seperti itu? Ini hak aku, ‘kan? Aku kerja lagian. Aku enggak meminta kamu untuk membeli semua ini. Dia boleh bicara seperti itu kalau aku hanya duduk meminta.” Protesnya kepada Tomi yang mengusap-ngusap punggung tangannya berusaha menenangkan.
“Aku paham ...” Tomi menjawab singkat untuk memenuhi gerutuan istrinya itu.
Tomi: [ Kita enggak punya uang saat itu. Lagian, waktu itu hanya aku yang kerja, enggak mungkin bisa beli barang mahal seperti ini. Beda. Dara di sini kerja. ]
Dara merasa puas. Suaminya kali ini berada pada timnya.
Perjalanan pulang itu begitu melelahkan. Mereka menghabiskan tiga hingga empat jam memilih perlengkapan bayi, dan satu jam perjalanan pulang karena kemacetan yang parah. Mengingat pesan dari Farah, Dara tentunya merasa tidak senang. Ia berharap agar wanita itu tidak selalu menjadikan dirinya pembanding. Wanita itu mungkin saja sibuk dengan anak-anaknya, namun tidak merasakan lelahnya bekerja seperti Dara, dan begitu pula sebaliknya.
Sebuah nada pesan masuk, menghentikan tangan Dara yang sedang melepas label dari pakaian bayi yang akan dicucinya.
Farah: [ Nyaman sekali jadi kamu. Mau pergi belanja ditemani. Ke tempat branded pula. ]
Sesuai dugaan, hal ini akan terjadi. Dara berusaha meredam emosinya dulu.
Dara: [ Halo Mbak. Iya, thank God aku punya rejeki untuk ini semua. ]
Farah: [ Apa mertua sudah kirim kamu sesuatu untuk bayi kamu? ]
Dara: [ Belum mbak. Lagian aku rasa beliau enggak perlu repot-repot karena jarak lumayan jauh. ]
Farah: [ Oh ya? Sayang sekali, padahal dulu mama selalu memberi ini itu untuk kelahiran anak-anakku. Apa dia sudah pernah telepon tanya soal kehamilan kamu? ]
Dengan sebuah hembusan nafas yang tenang, Dara berusaha tetap meredam emosinya. Ia tahu sekali Farah akan berusaha membuatnya tidak nyaman dengan percakapan semacam ini.
Dara: [ Oh begitu? Hehe, rejekinya mbak berarti ya, diberi ini itu sama mertua. Aku belum pernah telponan dengan beliau, tapi Tomi selalu mengirim foto hasil USG, mbak. ]
Farah: [ Oh ya? Jenis kelaminnya apa? ]
Dara: [ Perempuan. Kata Tomi, pastinya nanti sangat cantik jelita. ]
Farah: [ Ya, mungkin. Anakku juga perempuan, wajahnya sangat mirip ayahnya. ]
Dara: [ Aku sudah lihat. Tapi semoga anakku ini akan mirip aku. Aku mau dia punya hidung seperti aku. ]
Apa-apaan semua ini ... itu yang terus Dara pikirkan dalam otaknya. Perempuan ini jelas sekali ssedang berusaha melakukan dua hal. Antara membuat diri mereka setara, atau membuat Dara selalu berada di bawahnya. Hal ini, kompetisi sebagai dua orang istri dengan satu suami yang sama, awalnya bukan sesuatu yang ditekuni Dara. Lalu, semua umpan yang dibuang oleh Farah ternyata membuatnya harus menjadi seorang yang pintar bermain dengan emosi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments
Anonymous
next
2022-07-03
0