Perempuan Di Balik Layar
Sebuah rumah tampak sibuk seperti biasa. Dengan cuaca berkabut dingin di Bandung, Dara tetap seperti biasa semangat menjalankan tugasnya.
Dara telah menjadi seorang ibu tunggal di enam bulan ini. Ia begitu lihai memainkan perannya, tanpa sedikit pun terlihat canggung. Biasanya seorang perempuan yang menyandang status ibu tunggal terlihat lebih lesu, namun tidak dengannya.
Sebagai seorang yang perfeksionis, ia tahu apa yang ia inginkan dalam rumah tangga yang ia kelola sendiri saat ini. Setidaknya dengan kondisi saat ini, anak-anaknya tetap terjaga dalam rumah yang bersih, dan mendapatkan nutrisi yang baik.
“Ma! Kaos kaki di mana,” seru anak laki-laki sulungnya dari teras depan. Bocah itu kini telah duduk di bangku sekolah dasar. Untuk anak seumurannya, Kio terbilang cepat menjadi mandiri dalam hal-hal harian seperti bersiap ke sekolah, merapikan mainannya, juga terkadang membantu ibunya menjaga adik-adik ketika diperlukan.
Dara berlari kecil dari dalam rumah dengan tangan kiri menggendong bayi laki-laki berusia 1 tahun, serta tangan kanan yang berusaha memegang kotak bekal, kaos kaki, dan botol pelembab wajah untuk anak-anak.
“Kio. Apa kata mama? Jangan sampai lupa lagi ini, ya Nak” ujarnya sembari mengoleskan tipis pelembab pada wajah putranya itu.
Dengan cepat ia memasukkan kotak bekal serta botol minuman ke dalam tas Kio. Tak lupa juga merapikan sisipan kemeja sekolah yang sedikit asal-asalan. Sudah seminggu Kio masuk sekolah dasar. Dengan jadwal belajar yang sedikit lebih lama di sekolah, ibunya bisa sedikit ringan mengerjakan pekerjaan rumah lainnya, sembari bekerja mencari uang, dan mengurus dua orang bocah lainnya yang masih balita.
“Kio ingat ‘kan apa kata mama tentang menyeberang jalan?”
“Tengok kiri dan kanan, kalau kosong boleh menyeberang. Kalau takut, bisa minta bantuan orang dewasa di dekat situ. Iya ‘kan ma? Memangnya mama enggak bisa antar Kio hari ini, ya?” bocah laki-laki itu menjawab dan balik bertanya pada ibunya.
Dara selalu terenyuh hatinya dengan pertanyaan Kio seperti itu. Sebagai ibu, ia sadar benar bahwa Kio mulai kurang mendapatkan banyak waktunya.
“Mama ada kerja pagi ini, dan Jeje belum bangun. Besok kalau Jeje sudah bangun, kita semua pergi antarin Kio ke sekolah ya,” kali ini lagi-lagi ia harus bisa membesarkan hati sulungnya.
Beruntungnya, sekolah Kio tidak begitu jauh dari rumah yang ditempati mereka. Dara sengaja menyewa rumah itu karena memperhitungkan jarak dengan sekolah dasar. Selain itu, udara yang segar dan lingkungan yang tenang, tentu baik baginya dan anak-anak.
Kio berbagi kasih sayang dan perhatian ibunya dengan dua orang adiknya. Seorang bocah perempuan berusia 3 tahun bernama Jeje, dan bayi 1 tahun bernama Ray. Di usianya yang enam tahun, ia sudah bisa menjadi mandiri sedikit demi sedikit sejak melihat ibunya sendirian mengurus segala sesuatu di beberapa bulan belakangan.
Dara seorang pendatang baru dalam dunia orang tua tunggal. Namun tampaknya ia telah mempersiapkan dirinya sejak lama. Ia bisa dibilang terlatih dengan baik, sebelum akhirnya menyandang status tersebut. Di kesehariannya, ia merawat ketiga anaknya tanpa bantuan siapa pun. Ia bukan penduduk asli Bandung, melainkan dulunya seorang perempuan perantau yang akhirnya memutuskan menetap di kota kembang itu. Dengan tubuh yang kurus langsing, tidak ada yang menyangka ia mengerjakan semuanya sendiri. Bekerja sebagai seorang penerjemah, mengurus rumah dan anak-anak, juga sesekali mencari kesibukan lain yang bisa menyeimbangkan kesehatan otaknya.
Pada pukul 08.00 pagi itu, seperti biasa rumahnya telah bersih dari halaman depan ke halaman belakang. Semua tanaman herbalnya terlihat basah, rumah yang adam dengan wangi lemon dari pengharum lantai yang ia gunakan mengepel. Hampir tidak terlihat debu pada kaca jendelanya, juga wastafel yang sudah kosong dari tumpukan piring kotor.
Ia menarik gorden pada ruang tamu, sedikit menutupnya lalu berjalan ke sana kemari menidurkan Ray. Bayi itu biasanya akan tidur di jam-jam setelah kakak sulungnya berangkat ke sekolah. Tak butuh waktu lama, bayi yang sudah kenyang dengan sarapan bubur gandum dan buah, akhirnya tertidur pulas. Dara segera membaringkannya di tempat tidur, kemudian menutup rapat-rapat pintu agar Ray bisa tetap lelap selama mungkin.
Bukan bersantai yang ia dapatkan, Dara langsung duduk di kursi kerja miliknya, membuka laptop dan mengecek semua pesan masuk di email-nya. Salah satu keuntungannya yaitu pekerjaan yang ia lakukan dalam setahun belakangan ini dilakukan dari rumah saja, yaitu menerjemahkan berbagai dokumen bahasa asing ke Bahasa Indonesia. Dengan penghasilan itu, ia bisa terus hidup dalam kecukupan dengan anak-anaknya.
Sebagai perempuan yang pandai dalam bahasa asing, ia memiliki peluang kerja lainnya. Namun untuk saat ini, ia berharap agar lebih banyak mendapatkan pekerjaan dari rumah agar bisa terus mengawasi anak-anaknya.
Tangannya mengeklik dokumen satu per satu. Kali ini ada sebuah buku dengan isi beberapa bab yang harus ia terjemahkan. Dara menutup matanya sesaat. Ia bukan sedang berdoa, melainkan menutup mata, menarik dan menghembuskan nafasnya dengan tenang berkali-kali sebelum memulai pekerjaannya di hari itu. Tak lupa juga menyeruput kopinya yang sudah hampir dingin.
Pagi ini lagi-lagi semua selesai dengan sempurna. Cucian yang telah di jemur, sarapan yang telah tersedia, anak yang telah berangkat ke sekolah, dan dua balita yang tidur dengan nyenyak. Semua ini ia kerjakan mulai saat azan subuh berkumandang.
Pagi ini ia bangun lebih awal untuk mandi, dan mengeringkan rambutnya yang lurus sebahu. Ia terlihat begitu cantik meski tidak memakai riasan apa pun. Kulitnya yang kuning langsat, bibirnya yang merah, dan senyum yang selalu terulas ketika bertemu tetangganya, tidak ada yang menyangka Dara sudah hampir berkepala tiga. Sebuah kemujuran, ia memiliki tubuh ideal meski telah melahirkan tiga anak. Bukan hanya itu, akhir-akhir ini ia telah kembali menjadi dirinya yang sedikit lebih ceria dari biasanya. Setidaknya ia sudah memiliki minat lagi untuk berkebun, merawat rambutnya yang sangat jarang ia sisir ketika masih berada dalam pernikahan.
Namun... Perempuan cantik dan pintar sepertinya ... Bagaimana mungkin sudah menjadi ibu tunggal di usia 26? Itu adalah pertanyaan yang tebersit di kepala setiap orang yang baru pernah berkenalan dengan Dara, namun tidak dengan teman-temannya.
Dara tidak memiliki banyak teman. Yang benar-benar ada dalam situasi apa pun? Ya, hanya hitungan jari. Dengan paras menarik, dan senyum yang selalu terpampang, tentunya ia akan mudah mendapatkan teman, namun ia telah bersikukuh kepada diri sendiri agar bisa memfilter lagi semua orang dalam hidupnya.
Di Bandung, ia pun sangat jarang memiliki waktu untuk keluar tertawa, berjalan-jalan, atau sekedar mendapat waktu menonton dengan teman-temannya. Untungnya mereka bukan sosok yang rewel tentang hal-hal itu. Para teman yang cenderung sebagai sahabat dekat, tahu betul posisi Dara sebagai ibu tunggal dengan tiga orang anak.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments
Senajudifa
like dan favoritmu thor salken dr kutukan cinta y mampirlh jika berkenan
2022-06-29
1