Dara seorang gadis rupawan. Ia lahir di tahun 1995, dengan wajah lebih mirip seperti gadis berketurunan Arab, orang tidak menyangka Dara berdarah asli Indonesia. Merawat diri adalah kesenangannya. Ia terlihat begitu anggun dengan rok sebatas lutut, dan baju yang selalu terlihat sopan. Rambut lurusnya yang berwarna coklat tua, dibiarkan terurai dan telah menyentuh setengah dari punggungnya ketika ia lulus.
Di tahun 2012 ia adalah seorang lulusan SMK berbakat dengan kemampuan bahasa asing yang otodidak. Ia juga unggul dalam berbagai mata pelajaran, dan keluar sebagai seorang bintang kelas yang terus menyabet peringkat pertama. Semua kemampuan ini membuatnya beruntung diterima kerja pada sebuah hotel bintang 4 yang baru saja akan buka di kota asalnya. Di Hotel Pandawa, ia sudah bekerja selama 1 tahun, dan mendapatkan dua kali promosi. Dara ahli dalam bekerja keras. Ia tahu kualitas seperti apa yang diharapkan oleh orang-orang yang berhak memberikan promosi dan kenaikan gaji. Bekerja lembur karena banyaknya event yang datang, sudah biasa ia lakukan. Dara menjadi pegawai sales yang paling sering pulang ketika hari sudah sangat larut, dan juga yang datang paling pagi. Ia tidak akan membiarkan aktivitas merias diri menjadi alasannya untuk terlambat datang bekerja. Empat puluh lima menit sebelum jam bekerja di mulai, ia biasanya sudah berada di dalam ruang loker karyawati. Mengeringkan rambutnya, mengenakan stoking, juga memoles wajahnya dengan riasan tipis, biasa ia lakukan dalam ruangan itu. Sarapan pun demikian, akan disantap di kantornya bersama tiga rekan didepartemennya. Tak perlu menu mewah, terkadang hanya sebungkus mi instan dan telur yang sudah ia siapkan dari rumahnya.
Dara bergegas menuju lantai basement, tempat kantornya di Hotel Pandawa. Seperti biasa, ruangan itu masih kosong. Ia orang pertama yang masuk kemudian menyalakan semua pendingin ruangan dan lampu. Dara duduk di kursinya menghadap pada meja yang penuh dengan berkas namun begitu rapi tertata. Ia mengeluarkan kotak bekal sarapannya, dan menguncir rambut ke belakang dan siap menyantap mi goreng yang didominasi oleh sayuran hijau.
“Dara! Hmmm sampai kapan sih kamu mau jadi penunggu kantor kita, hehe” temannya Fredy yang baru datang langsung menggodanya karena datang sangat pagi. Dara tersenyum dan cepat-cepat menelan makanannya.
“Fred. Rapi banget? Bukannya kalender event sudah penuh? Masih mau jualan juga hari ini. Gila, ya” Dara balik mengkritik teman kerjanya. Fredy yang sedikit kemayu menyimpan tas kerjanya di meja dan menggeser kursinya tepat di samping Maya. Matanya tampak mengawasi keadaan sekitar dengan cepat kemudian berbicara dengan suara pelan, “Dar... Emm... Hari ini kamu harus jadi teman seperjuangan. Hehe. Aku ada janji temu dengan orang penting, Dar. Bisa jadi juga peluang untuk kamu”
Dara berhenti makan sesaat lalu meneguk air mineral dari botol yang berembun karena dingin.
“Orang penting? Peluang? Ini soal penjualan di hotel kita kan? A ... Atau ...”
“Ssssttt. Bukan. Nakal sedikit enggak apa-apa kok, Dar. Kamu tahu hotel bintang lima yang lagi dibangun? Aku mau ketemu petingginya. Dengar-dengar sih, mereka lagi cari tim untuk hotelnya. Kamu enggak minat, Dar?” Fredy akhirnya membocorkan apa yang akan ia lakukan hari ini.
Dara sebenarnya tak keberatan dengan tawaran temannya itu. Ia dan Fredy cukup dekat selama ini. Mereka sering melakukan perjalanan tugas bersama-sama, dan kompak dalam hal apa pun.
“Dooor! Kalian lagi bicarain apa? Misi rahasia? Mau resign ya? Haha” Tia muncul tiba-tiba dan memecahkan keheningan. Kini perbincangan itu tak menjadi bincang-bincang rahasia lagi. Tia tampaknya sudah tahu apa yang direncanakan oleh kedua teman kerjanya.
Dara tersenyum lebar, dan memberi isyarat kepada Tya untuk memelankan suaranya. Ia selalu takut jika tembok pun memiliki kuping untuk mendengar. “Santai, sis. Kita memang harus pindah kalau memang gajinya oke. Kehidupan kan harus terus jadi lebih baik. Iya enggak, Fred?” ujar Tia meyakinkan Dara untuk meneruskan pembicaraan itu.
“Iya, Dar. Aku sih hanya sekedar menemui, tapi aku sudah bilang kalau aku mau bawa kamu, kamu juga lagi cari pekerjaan baru, begitu” sahut Fredy sambil tersenyum kepada kedua temannya.
“Pergi saja. Aku jaga kandang di sini. Karena aku yang paling enggak mungkin resign, aku ada pinjaman di kantor ini” Tia berusaha meyakinkan Dara untuk ikut bersama Freddy. Dara tersenyum lalu kembali menyantap sarapannya yang sudah mulai sedikit dingin.
Siang itu ia menepati janjinya kepada Freddy, bersama menemui orang penting yang dikatakan oleh rekannya itu. Mereka masuk dalam sebuah kafe yang sudah tak asing karena sering Dara lewati dalam perjalanan menuju tempat kerja.
Di meja nomor 5 duduk seorang laki-laki yang terbilang masih muda; mungkin hanya 10 tahun lebih tua dari Dara. Dengan setelan kemeja abu-abu muda, dan jas warna senada yang sedikit lebih gelap, ia tampak meyakinkan sebagai seorang petinggi. Rambutnya rapi tertata, mengilap memberi kesan segar pada wajahnya yang menarik perhatian. Sebuah jam tangan dengan desain minimalis melingkar pada tangan kirinya, serta kacamata minus dengan gaya yang sangat cocok dengan penampilannya.
Freddy menarik tangan Dara, mereka menghampiri lelaki itu, dan ia langsung menyadari keberadaan mereka, “Hai Fred! Apa kabar? Thank You, ya sudah sempat ke sini.”
Fredy menjabat tangan lelaki itu, kemudian mata lelaki tersebut langsung tertuju kepada Dara yang berdiri di sebelah kanan Freddy. Bagaimana tidak, seorang gadis muda dengan rok sedikit mini, kaki yang mulus, paras cantik, dan harum elegan dari parfumnya.
“Ini pasti Dara, ya ‘kan? Saya Bima Arya. Panggil saja Mas Bima, atau Bima saja. Senyamannya Dara saja,” Bima begitu ramah dengan Dara. Matanya pun mencuri-curi sesekali melihat wajah wanita itu ketika mereka bertiga mengobrol. Dara kelihatan sangat menyenangkan dalam pembicaraan itu. Dengan usianya yang baru 19 tahun, ternyata sudah lumayan banyak ilmu dalam lingkungan kerja yang telah ia serap, dan membuat Bima terpukau dengan kepintarannya. Dara juga seorang pegawai departemen penjualan yang banyak membawa klien, dan membantu timnya untuk mencapai target yang tidak sedikit.
Bukan rahasia bahwa Dara telah menjadi ‘anak emas’ bagi General Manager hotelnya dan beberapa petinggi di sana. Mereka terkesan dengan pencapaiannya, terlepas dari usia muda dan almamaternya. Itu yang terus saja dibicarakan oleh Freddy kepada Bima dalam 30 menit terakhir, dan membuat Dara sesekali tersenyum menanggapi pujian Freddy. Bak seorang promotor, ia terus saja menceritakan sosok teman kerjanya ini.
Tak ada banyak hal serius yang diobrolkan. Bima seorang General Manager Hotel bintang 5 yang akan segera dibuka. Ia baru saja tiba di kota itu dua minggu yang lalu, dan sekarang tinggal di sebuah rumah yang disewakan untuknya oleh pemilik hotel tersebut. Rupanya ia seorang lelaki lajang yang sudah lumayan lama berkecimpung di dunia perhotelan, dan sudah sampai bekerja di beberapa hotel ternama di luar negeri. Merintis karier di dapur hotel pada usia sangat muda seperti Dara, Bima kini mendapatkan posisi yang sangat nyaman untuk menambah pundi-pundinya.
“Jadi kapan Dara bisa bergabung dengan Hotel Savana? Secepatnya bukan?” Bima berceletuk ketika Dara sedang menyeruput kopinya.
“Saya? Tapi saya hanya mengantarkan Freddy di sini, Pak Bima ... Sa ... saya ...” Dara sedikit tercengang karena tidak sesuai dengan skenario yang disusun oleh Freddy.
Freddy terkekeh bersama Bima. Sepertinya keduanya menikmati ekspresi Dara yang sedikit kaget dengan pertanyaan itu.
“Dar. Jadi, Mas Bima ini, perlunya yang perempuan untuk bergabung di timnya. Kalau aku sudah ada kok tempat baru untuk bergabung, di hotel yang baru saja ditinggalkan Mas Bima. Mau, ya? Ini juga brand ternama, kamu pasti melesat cepat di sana. Sayang loh, umurmu masih sangat muda,” sesuai dugaan, Freddy ternyata sengaja menyusun pertemuan ini untuk Dara.
Otak Dara berputar cepat, hanya dalam sekejap ia memikirkan mengenai keuntungan dan kerugian, bergabung pada hotel yang cukup ternama ini. Lagi pula, ini bisa menjadi ajang naik kelas untuknya.
“Tiga puluh hari, Mas ... ng ... maksud saya Pak Bima. Saya butuh tiga puluh hari untuk bergabung. Tapi bagaimana dengan rincian hak yang akan saya dapat?” Dara akhirnya memutuskan secepat itu.
“Oke, tiga puluh hari. Gampang. Nanti saya minta HRD saya untuk email ke Dara. Tolong tinggalkan kartu nama, ya” Bima tersenyum puas dan memberikan kartu namanya kepada Dara, yang juga kemudian memberikan hal yang sama.
Bima bisa merasakan lembutnya jari-jari Dara ketika mengambil kartu nama dari tangannya. Setiap kali gadis ini bergerak, aroma lembut dari parfumnya selalu singgah pada penciuman Bima.
Hari itu, Bima menepati janjinya. Dara menerima email berisi rincian gaji, jabatan, dan hal lain yang akan ia dapatkan ketika bergabung. Secara logika, ia tak akan dapat menolak tawaran yang memberikan gaji 2 kali lipat lebih besar. Sebagai tulang punggung di keluarganya, ia membutuhkan hal tersebut agar mengurangi sedikit beban pikirannya.
Tanpa pikir panjang, ia menandatangani kontrak kerja yang dikirimkan dan membalas email dari HRD calon tempatnya bekerja. Dengan cepat ia menyusun surat pengunduran dirinya, dan bergegas menuju ruang HRD. Tak banyak yang bisa ditanyakan oleh Dewi, Manajer HRD. Sebagai sesama pegawai, ia sangat paham dengan keputusan Dara untuk mengundurkan diri. Dalam hatinya ia berharap mendapat kesempatan yang sama dengan Dara.
Meskipun terjadi banyak penawaran dan negosiasi dengan beberapa petinggi di Pandawa, mereka akhirnya bisa menghargai keputusan Dara untuk pergi. Setidaknya, Dara terbuka dengan alasannya pindah, dan tentunya didukung oleh beberapa petinggi di sana. Mereka sadar Dara berbakat untuk mengembangkan kariernya lebih jauh lagi.
...****************...
Semua tampak berjalan lancar, dalam waktu satu bulan Dara menyelesaikan pekerjaannya di Pandawa, dan hari pertamanya di Savana terbilang cukup mulus. Ia tak bertemu Bima di hari pertamanya. Di kantor barunya ini banyak perubahan. Tentu saja; ia sudah biasa bekerja bersama Tia dan Freddy, namun kali ini ia harus membiasakan diri dengan rekan kerja baru. Hotel yang bahkan belum di cat itu, memiliki ruang kantor yang sudah dahulu selesai dikerjakan oleh para tukang.
Dara berjalan menuju kantornya, di hari keempat ini, ia sudah lebih baik beradaptasi dengan 6 orang wanita rekan setimnya. Tepat di samping ruang kantornya, adalah ruangan dengan jendela kaca begitu bening, tanpa tirai. Mirip seperti akuarium, ia bisa melihat sebuah meja kayu coklat muda, dengan marmer di atasnya, juga sebuah kursi kerja besar yang tampak begitu mewah. “GM Office” begitu bunyi sebuah tanda pada pintu ruangan itu. Dara cukup lama memperhatikan ruangan itu, ia bisa melihat uap dari sebuah difuser pewangi ruangan.
“Morning! Sudah sampai saja, Dara?” sebuah suara yang tak asing mengagetkannya. Dara berbalik ke belakang, melihat Bima yang entah sudah berapa lama di sana memperhatikannya. Seperti biasa, Bima begitu penuh dengan senyum ramah, dan wanginya dengan mudah singgah pada penciuman Dara. Kali ini ia menggunakan kaos polo seragam sama seperti Dara.
“Pagi Pak. Iya, baru saja sampai kok...” Dara tersipu menjawab. Ia sedikit menunduk karena Bima tetap memandanginya. Dalam hati, ia banyak berpikir apakah mungkin ada yang salah dengan riasannya hari ini?
Bima memegang pundak Dara seketika dan membuat gadis itu hampir terperanjat, “Jam makan siang, keluar sama saya ya, Dar. Ada yang mau saya temui siang ini.”
“Baik, Pak. Apa Bu Monik perlu saya ajak?” Dara memastikan apakah ia perlu mengajak Manager Departemennya.
“Oh, tidak perlu. Ini cukup saya dan kamu, Dar. Lagian kamu orang asli sini. Akan lebih cocok kalau sama kamu,” lagi-lagi Bima menjawab dengan senyumnya yang khas.
Dara mengangguk memberi tanda ia paham dengan instruksi atasannya, kemudian bergegas menuju ruangannya.
Bak takdir, di tempat kerja lama maupun yang baru ini, ia lagi-lagi menjadi orang pertama yang datang, menyalakan lampu dan pendingin ruangan. Dara bekerja bersama 6 orang lainnya di dalam ruangan itu. Ia memiliki seorang Manajer, Asisten Manajer, pada bagian marketing. Dua orang pegawai administrasi yang akan membantunya, seorang Graphic Designer, dan seorang Public Relation.
Sejauh ini mereka adalah tim yang solid, dan menyenangkan. Dara masih mencatat rekor sebagai pegawai termuda. Ia juga begitu disukai oleh teman-teman setimnya karena kepribadiannya yang menyenangkan, suka berceletuk hal-hal lucu, dan sangat lugas dalam berbicara.
Di formasi ini, Dara beruntung berada di bawah manajer, dan asisten manajer yang sudah berpengalaman ke sana kemari. Mereka banyak mengajari Dara ilmu-ilmu baru, juga memotivasinya agar mengembangkan kariernya. Di usia belasan itu, Dara sudah berpikiran sangat dewasa untuk menjadi tulang punggung keluarganya. Ia punya ibu, dan seorang adik yang masih duduk di bangku sekolah, sehingga berkuliah bukan hal yang tepat. Dara tidak pernah lagi bertemu dengan ayahnya sejak ia duduk di bangku SD kelas 2. Lelaki itu hilang bagaikan ditelan bumi, dan tidak pernah lagi muncul hingga ia dewasa. Namun tentunya semua itu tak lagi ia pikirkan. Dengan ibu yang bekerja serabutan, dan adik-adiknya yang sekolah, ada banyak hal yang harus lebih dulu ia pikirkan dibandingkan dengan rasa penasaran atau kesedihan tentang ayahnya.
Dara menepati janjinya, siang itu ia merapikan tas jinjingnya untuk pergi bersama Bima. Ada perasaan campur aduk dalam hatinya, sehingga ia putuskan untuk memberitahu manajernya bahwa ia akan pergi keluar bersama Bima.
“Oh ya? Hmmmm. Sya! Dara diajak nge-date sama Bima” Monik membocorkan apa yang diberitahukan Dara kepada Tasya si asisten.
“Hah? Serius? Sukanya dara muda ya, hahahaha” Tasya ikut menggoda Dara bersama Monik.
“Serius, dia baik banget orangnya, Dar. Belum terlalu tua, kok. Kita berdua sudah 4 tahun ngikut kerja sama dia. “ Monik berusaha meyakinkan Dara yang berusaha memberi isyarat agar manajernya itu bisa mengecilkan volume suraranya.
“Bu Monik, Bu Tasya. Ini keluar karena katanya ada yang mau ditemuin kok. Aduh kok jadi kemana-mana,” Dara berusaha membela diri, namun kedua atasannya itu terus saja mengganggunya hingga ia pergi dari ruangan itu dengan tersipu.
...****************...
“Jadi, Dara punya rencana apa di usia sekian? Maksud saya, kamu sangat muda, cantik, dan cerdas. Apa kamu punya rencana dalam waktu dekat ini? Misal kuliah?” Bima membuka pembicaraan di sesi makan siang itu. Ia meneguk iced latte-nya lalu kembali menatap Dara.
“Kul ... kuliah ... sepertinya belum bisa, pak. Saya mau terus kerja saja sampai selesai sekolah adik-adik saya. Mungkin setelah itu baru kuliah”
“Kamu membiayai adik-adik? Maaf bukan bermaksud menyinggung, Dar. Ng ... Saya hanya mau tahu saja. Itu hak, Dara untuk bercerita atau tidak,” Bima tidak dapat menyembunyikan kekagumannya pada sosok Dara. Apa lagi yang kurang dari gadis ini? Ia tahu ia tertarik dengan Dara sejak Freddy merekomendasikannya.
Dara merapikan poninya sembari tersenyum tipis, “Iya enggak apa-apa, Pak. Memang betul aku tulang punggung. Papa sudah enggak kelihatan sejak aku SD. I Guess enggak banyak pilihan. Hehe”
Ia bukan seorang yang pandai berlakon. Dara selalu terlihat canggung ketika membicarakan tentang keluarganya. Di masa sekolah, ia sering bingung menjelaskan keberadaan ayahnya yang tidak ia ketahui. Kendati demikian, ia tetap bisa terus mengulas senyum di wajahnya dan berlaku positif.
Bima hanyut dalam obrolan dengan Dara. Ia suka melihat gestur wanita muda itu. Meskipun masih sangat muda, Dara sangat berwawasan ketika berbicara, dan rendah hati dengan setiap pujian yang diberikan.
“Pak. Yang mau kita temui di mana orangnya?” Dara teringat alasan ia pergi dengan Bima.
Bima terlihat sedikit kikuk dan tertawa kecil untuk menutupinya. Bertemu seseorang tentunya hanya alasan belaka yang ia buat. Sesungguhnya, jauh hari ia memang ingin mengajak Dara mengobrol, atas dasar ketertarikannya.
“Mmmm. Sepertinya orangnya enggak jadi datang, Dar. Vendor untuk pengadaan barang di hotel. It’s ok ‘kan?” Bima berusaha tetap menutupi tujuan sebenarnya.
Dara tersenyum sedikit lebih lebar, dan mengangguk. Ia dalam hati bisa tahu bahwa GM-nya hanya membuat-buat alasan agar bisa keluar makan siang dengannya.
Berbeda ... Itu satu kesan yang Bima tangkap tentang Dara.
Rasanya satu sesi makan siang ini tidak akan cukup untuk meruntuhkan rasa penasarannya tentang Dara.
...****************...
Savana tentu saja menjanjikan jenjang karier yang baik untuk wanita cerdas seperti Dara. Kelebihan lainnya yaitu karena Bima telah jatuh hati kepadanya.
Bima bukan pria yang mudah jatuh hati dengan sembarang wanita. Ia memiliki standar yang lumayan tinggi, dan tampaknya kali ini ia tidak bisa terpaku pada standar yang dibuatnya sendiri.
Lebih dari dua kali ia telah berhasil mengajak Dara untuk pergi makan siang bersamanya. Akan tetapi, mungkin Dara menganggapnya hanya persoalan antara sesama rekan kerja.
Dibalik perasaannya kepada Dara, ia tetap dapat menilainya secara profesional. Dengan hasil pekerjaan Dara, ia tahu pilihannya untuk meminta gadis itu bergabung, adalah sesuatu yang tepat.
Bunyi ponsel Bima memecahkan sunyi di ruang kerjanya. Sebuah pesan WhatsApp rupanya.
Tomi: [ Hai bro. Landing nih! See you di Savana! ]
Bima membalas dengan emoticon jempol.
Tomi adalah temannya yang sudah sering pergi ke sana kemari, berpindah dari hotel satu dan lainnya dengan Bima. Karier mereka tentu berbeda, karena ketekunan Bima telah membawanya hingga di posisi tertinggi saat ini.
Dengan tim yang belum lengkap, Bima sengaja merekrut Tomi untuk bergabung menjadi Manajer Restoran di Savana. Tomi tak bisa di pandang sebelah mata, karena banyak pengalaman yang ia geluti di bidang itu mulai dari domestik hingga mancanegara.
Tok... Tok...
Bunyi ruangan kerja departemen marketing diketuk. Seketika masuk Bima bersama seorang pria yang belum dikenal Monic dan timnya.
“Ladies. Kenalin, retaurant manager kita. Tomi,” Bima memperkenalkan pendatang baru itu.
Monic tampak lebar sekali tersenyum dan segera berdiri menjabat tangan Tomi, “Nyampe sini lu, Tom”
Rupanya Monic dan Tomi sudah saling mengenal. Bima turut saling bercanda dengan kedua orang itu. Satu per satu anggota tim itu datang menyalami Tomi, namun tidak dengan Dara.
Ia terus saja sibuk mengetik, sambil mendengar lagu di headphone-nya.
“Dara! Itu ada orang baru,” Monic coba memanggil staf kesayangannya itu. Dara tetap saja tidak bergeming.
“Dar! Dara! Da-“
“Sudah biar gue saja yang nyamperin,” Tomi memotong Monic.
Ia menghampiri meja kerja Dara dan menyelaraskan wajahnya tepat di depan wajah Dara membuat gadis itu terperanjat, dan melepaskan headphone-nya.
“Si ... siapa ya?” Dara sedikit memundurkan badannya dan terbata, membuat seluruh ruangan riuh tertawa.
“Sibuk banget. Hotel belum juga buka, bu” canda Tomi kepada Dara.
“Memangnya kalau hotel belum buka, jadi kerjanya harus main-main?” Dara sedikit ketus menjawab orang yang tak dikenalnya itu.
Tomi terkekeh, “Hehe. Jiwa muda, ya. Masih on fire. Saya Tomi, nanti jadi manajer resto di sini. Dara ‘kan?” Tomi memperkenalkan diri sembari melihat name-tag yang terpasang di sebelah kanan bajunya.
“Iya, Dara.” Dara singkat menjawab dan menjabat tangan Tomi cepat saja.
Bima memperhatikan interaksi kedua stafnya itu, dan segera memecahkan suasana.
“Tom. Dara ini bibit unggul di sini. Anak emasnya Monik,” Bima memuji Dara di depan seisi ruangan.
Tomi tersenyum, dan tidak dapat menyembunyikan ketertarikan tentang apa yang dilihatnya. Gadis muda dengan rambut berkilau, kulit putih segar, bibir yang merah natural, dan lagi-lagi wangi parfum lembut yang selalu menjadi kesan ketika orang bertemu dengan Dara.
“Iya, itu anak emas gue. Dar, hati-hati sama ini orang, ya. Tua-tua buaya. Jangan sampai kepincut,” Monik menjawab pujian Bima, dan diikuti tertawaan dari beberapa orang di situ.
“Tenang. Dara biar gue yang jaga,” Bima kembali menyahuti Monik, sambil menatap Dara dengan senyum khasnya.
Tomi dan Bima meninggalkan ruangan itu setelah bercengkrama dengan tim marketing. Bima tampak terus memperhatikan pujaan hatinya sepanjang pembicaraan. Di tengah pembicaraan itu, ia tetap melihat Dara yang terus melanjutkan pekerjaannya.
...****************...
“Bim. Lu sering banget ketemu di office sama dia. Haha. Lu suka ya sama tu bocah?” Tomi menggoda Bima di sesi makan siang mereka.
“Hah? Siapa?” Bima pura-pura tidak tahu siapa yang sedang dibicarakan.
“Dara. Dara kan namanya?”
“Ah. Iya, Dara. Ahh! Nggak bro. Gila lu. Dia masih muda banget.” Bima berusaha semaksimal mungkin menutupi ketertarikannya. Tomi memandang wajah Bima yang kikuk dan tersenyum mengejek.
“Benar ya? Kalo gue sih, kesan pertama tertarik sama cewek begitu. Cantik, attitude-nya beda, bro. Gue enggak dibilang nyalib ya, berarti?”
“Gila lu. Janganlah. Masih muda, bro” Bima menanggapi omongan Tomi dengan serius.
Tomi terkekeh. Ia tahu betul Bima tertarik dengan Dara. Namun di satu sisi, ia juga tidak bisa membohongi ketertarikannya dengan Dara sejak perjumpaan pertama itu. Kurang lebih sosoknya yang menawan telah membuat Tomi memiliki rasa penasaran kepada Dara.
Ia telah bergabung hampir tiga minggu dengan Hotel Savana, dan banyak kali melihat Dara dengan sikapnya yang begitu menarik perhatian. Dara terkenal tak banyak bicara pada orang-orang selain dari timnya. Akan tetapi, ia terlihat tetap ramah kepada siapa saja, dan berbicara dengan nada yang selalu santun kepada karyawan yang lebih tua. Ia juga sangat menawan dengan tampilan riasan yang natural, juga kulitnya yang begitu terawat.
Tomi sendiri bukan baru bertemu satu atau dua orang wanita. Ia sebenarnya adalah duda yang telah memiliki empat orang anak. Ia baru saja bercerai yang ketiga kalinya, dan berpindah lagi ke lain kota untuk bekerja. Tomi terbilang telah berpengalaman dalam kegagalan, dengan banyaknya perceraian yang sudah ia jalani. Akan tetapi, ia tidak kapok berusaha mencari peneman hidupnya lagi. Di usianya yang sudah berkepala tiga, ia makin merasa harus lebih cepat mencari pendamping yang baru.
Tomi mengambil ponsel pintarnya, dan membuka WhatsApp-nya. Dari tadi ia sedang menimbang apa kata yang tepat untuk memulai pembicaraan dengan Dara. Sejak perkenalannya dengan Dara, ia terus berusaha memulai pembicaraan, namun ia tahu wanita seperti Dara akan mengabaikannya jika hanya berbasa-basi.
[ Hai, Dara. Ini aku Tomi. Punya nomor WhatsApp Monik? ]
Tomi memberanikan diri mengirimkan pesan yang sangat kelihatan basa-basinya.
Drrtt, Drrtt!
Ponselnya bergetar, dan dengan cepat ia melihatnya.
Dara: [ Hai. Masa sih kamu enggak punya nomor ibu Monik? ]
‘Ah sial! Terlalu kelihatan berbasa-basi’, pikirnya dalam hati.
Dara: [ Ambil saja di grup, Pak Tomi. Atau tanya ke HRD. Kenapa harus ke saya? ]
Hmm ... Sama saja ... Ternyata Dara masih ketus kepadanya setelah pertemuan pertama mereka.
[ Maaf ya, kalo aku ngeselin awalnya. Aku baik kok aslinya. Iya sudah tadi dapat dari Bima. Ketahuan deh modusnya. Hehe ]
Semoga pesan kali ini mengubah sikapnya. Itu yang diharapkan Tomi sembari membalas pesan Dara.
Tampaknya harapannya tak sesuai. Pesan itu hanya dibaca oleh Dara, dan tidak dibalasnya lagi.
Tomi tersenyum sambil memandangi foto profil Dara. Gadis itu tak hanya cantik jelita, namun auranya juga sungguh berbeda.
Andai kata kali ini ia ditolak oleh Dara dalam pendekatannya, itu bukan hal besar bagi seorang penyintas dalam percintaan seperti Tomi. Lagi pula ia telah melihat kecenderungan Bima memang menyukai Dara, jadi mungkin saja harapannya sangat sedikit bisa mengajak gadis itu pergi berjalan-jalan berdua.
Tomi berbaring sambil terus menatap foto profil pada akun WhatsApp Dara, sampai sebuah pesan masuk di ponselnya.
Bunyi pesan itu: [ Kapan kembali? Anak-anak ingin bertemu. Jangan lupa kiriman harus ditambah sedikit ]
Ia memijit sebentar dahinya, lalu menghembuskan nafas panjang. Mantan istrinya memang tak bisa dikompromi tentang ‘jatah’ bulanan untuk anak-anaknya. Wanita yang baru saja berpisah dengannya itu akan dengan santai terus meminta tambahan kepada Tomi. Apa boleh buat? Setidaknya ia masih membiarkan Tomi melihat anak-anaknya melalui foto.
Drrrt!
Ponselnya sekali lagi bergetar. ‘Sial! Apa lagi maunya kali ini?’, umpatnya dalam hati lalu membuka ponselnya dengan wajah mengerut.
Dara: [ Tinggal di mana di sini? Sama Pak Bima? ]
“Yes!” Tomi merasa umpannya telah digigit. Ia dengan cepat membalas pesan Dara, dan terus berusaha membalas pesan lain dari incarannya itu dengan cepat.
Ramah... Ternyata Dara tak segalak yang ia bayangkan. Mungkin cara Tomi memperkenalkan diri waktu itu kurang menyenangkan untuk orang seperti Dara. Buktinya tak perlu waktu lama, Dara sudah lebih bisa leluasa dan santai saling membalas pesan dengannya.
Berhasil!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments