Pernikahan bukan hanya tentang dua orang menjadi satu, tetapi tentang dua belah keluarga menjadi bersama mengawal sepasang anak mereka. Tentu saja, itu pengecualian bagi Dara dan Tomi.
Jelas sekali, ibu dari Dara tidak menyetujui pernikahan itu karena Dara mengorbankan kepercayaannya. Lagi pula, bisa dibilang hampir semua ibu tidak akan rela anaknya masuk ke dalam kisah cinta seperti ini dan menjadi madu bagi wanita lain.
Di mata keluarga Tomi, perempuan yang ia jadikan istri keduanya, begitu mengganggu mereka. Beberapa hari menjelang pernikahan itu, ibu Tomi sibuk berkali-kali menelepon putranya. Dara dapat mendengar dengan jelas teriakan wanita itu di telepon, meminta agar pernikahan itu dibatalkan saja. Beberapa tante dari Tomi juga meraung-raung menangis di telepon, meminta agar pernikahan itu dibatalkan.
Mereka ... para wanita ini merupakan para pencicip poligami. Dara tak berusaha menyela percakapan telepon itu. Baginya itu sesuatu yang wajar terjadi ketika orang-orang ini belum tahu menahu mengenai dirinya.
Tak hanya melalui Tomi, semua opini keberatan itu juga disampaikan langsung kepada Dara melalui berbagai media seperti pesan singkat, dan email. Dara membaca semua itu dengan perasaan sedikit kesal, namun memutuskan untuk tidak berpanjang kata membalas. Ia tetap diam hingga pernikahan itu terjadi.
Keluarga Tomi tampak begitu arogan beberapa bulan setelah pernikahan itu. Sebagai seorang suami, Tomi tentunya berusaha menceritakan tentang sosok Dara kepada keluarganya, meski terkadang ... cerita itu diabaikan begitu saja. Tapi ... tidak hingga mereka tahu, Tomi telah pergi ke luar negeri bersama istri barunya itu.
Dalam beberapa kesempatan panggilan video, Tomi berusaha menunjukkan Dara yang sedang sibuk melakukan pekerjaan rumah tangga. Ibunya tidak memberi komentar apa pun, begitu juga dengan Dara tak berusaha untuk mengucapkan salam dan sebagainya. Ia cukup tahu diri, untuk tetap menjauh dari keluarga suaminya.
Diserang beberapa hari sebelum pernikahan itu berlangsung, tentunya menjadi suatu kejadian yang membekas. Itulah kesan pertamanya mengenai keluarga dari suaminya itu. Di dalam hatinya, ia tak pernah muluk-muluk berharap akan diterima dengan baik. Ia tahu betul, dalam beberapa postingan, Farah berusaha menunjukkan kedekatannya dengan keluarga suaminya.
Dara tahu betul, sebelum ia hadir, Farah tidak pernah mem-posting hal semacam itu. Semua itu ia lakukan ketika mendengar rencana Tomi untuk menikahi Dara, dan ketika ia sudah saling mengikuti di media sosial. Kesengajaan itu jelas sekali terlihat, dan Dara tampaknya bisa membuat kekesalan Farah makin menjadi-jadi.
Dengan insting seorang perempuan, ia juga dengan sengaja mem-posting kedekatannya dengan lelaki yang telah menikahi Farah. Bagai berada di dalam kompetisi, jiwa muda Dara tidak ingin dengan mudah dianggap tidak bisa membalas sesuatu yang dilakukan orang lain atas dirinya. Apalagi ketika ia tahu bahwa laki-laki ini sangat ingin bersanding dengannya. Itu adalah sebuah keuntungan untuk Dara ...
Di tahap ini, setelah menjadi istri Tomi, Dara sudah tidak terlalu peduli mengenai penilaian keluarga suaminya, atau penilaian keluarga Farah. Mereka telah menikah sah secara agama dan hukum ... Apa pun opini yang datang menghampiri, semua itu hanya percikan kembang api.
Ia tidak buta, dan tuli tentang apa yang terjadi di sekelilingnya. Ia tahu betul suaminya itu menjaga kerahasiaan pernikahan mereka dari beberapa kerabatnya, namun di negara lain ini, mereka selalu memperkenalkan diri sebagai pasangan yang baru menikah.
Dengan siapa saja yang ditemui di negara itu, Tomi memperkenalkan diri sebagai suami sah Dara yang baru bertemu jodohnya di usianya yang sudah tidak muda lagi. Begitu juga sebaliknya dengan Dara ... Ia diminta Tomi agar memberitahu setiap orang yang ditemui bahwa ia adalah istri satu-satunya dalam kehidupan suaminya itu. Hal ini tentu membuat Dara nyaman, karena status sebagai istri kedua bukanlah sesuatu yang mudah diterima oleh orang lain, apalagi orang-orang dari Indonesia. Sebaik apa pun kamu, sepantas apa pun, mata publik sebagian besar takkan melihatmu dengan utuh. Cap sebagai benalu bagi pasangan lain, sudah lumrah ditempelkan bagi sebagian besar istri kedua, ketiga, dan seterusnya.
Di Filipina ... di negara ini ... Dara bisa menempelkan identitas sebagai istri satu-satunya bagi Tomi. Tentu saja, dengan tetap menampung semua perkataan keluarga Tomi tentang dirinya.
Bagai air laut, sifat Tomi memang sering pasang dan surut. Ia terkadang mendatangkan gelombang yang menghancurkan, namun terkadang memberi ombak kecil yang tenang, indah, dengan angin sepoi-sepoi.
Di suatu makan siang pada usia kehamilan Dara pada bulan ke lima, mata Dara tertegun melihat foto profil WhatsApp milik suaminya, yang berubah seketika. Biasanya ia akan menaruh potret dirinya sendiri. Kali ini, ia memasang foto mereka berdua dengan pelukan yang mesra beberapa hari ketika mereka tiba di Manila.
Selama ini Dara tidak pernah menuntut hal semacam itu. Ia bukan wanita yang terlalu peduli apakah dirinya berada pada tiap postingan pasangannya atau tidak. Dara menendang pelan kaki suaminya yang duduk di kursi seberang. Lelaki itu membalas senyuman itu, lalu kembali sibuk dengan ponselnya yang terdengar memiliki beberapa pesan masuk.
‘Aku mulai diakui’ pikir Dara dalam hati, sambil terus memperhatikan foto profil suaminya itu. Di saat keluar dari restoran cepat saji itu, tangannya digenggam oleh Tomi hingga mereka tiba di apartemen.
Hari ini, Tomi sedang menjadi lautan yang teduh. Hal itu biasa dimanfaatkan oleh Dara untuk bertukar pikiran dengan suaminya. Di kondisi seperti itu, Tomi akan lebih banyak mendengar, dan memberikan opini yang bisa diterima akal sehat.
Semua itu ternyata tak lama. Keesokan pagi setelah hal membahagiakan itu, Dara tidak sengaja mendapati pesan dari mertuanya kepada suaminya. Pesan itu tidak sengaja ia lihat ketika Tomi memintanya untuk menerjemahkan sebuah pesan dalam bahasa asing pada grup kantornya.
Mama: [ Buat apa kamu pakai foto itu di WA kamu? Memalukan! Aib! ]
Tomi: [ Jangan begitu, Ma. Ini juga istri aku. ]
Mama: [ Iya. Istri yang buat malu. Buat malu mama saja, kamu. Ganti! Perempuan gila seperti itu tidak perlu dijadikan profil. ]
Lalu ... suaminya itu tak membalas ocehan sang ibunda lagi.
Perempuan gila? Aib? Serendah itukah Dara di mata wanita itu. Andaikan ia tahu berapa banyak kerja keras yang Dara lakukan untuk anak lelakinya itu.
Dara menitikkan air mata. Ia tentu tak kuasa menahan sakitnya hati. Serasa dicabik, dirobek, dan dibakar dengan semua kata-kata dari perempuan yang seharusnya bisa ia panggil dengan sebutan ‘mama’.
Ini bukan kali pertama ... Dara memang sudah pernah dikirimi pesan langsung oleh ibu Tomi, beberapa hari menjelang pernikahan mereka. Ia sempat memperlihatkan pesan itu kepada Tomi, dan lelaki itu meminta agar tidak membalasnya. Itu adalah luka pertama yang ditorehkan oleh ibu dari Tomi, dan sekarang luka itu kembali terbuka lagi.
“Jadi ada apa di grup, Ra?” Tomi muncul tiba-tiba dari belakang Dara. Di tangannya secangkir es teh untuk istrinya yang tengah berbadan dua. Dara menyeka cepat matanya yang basah, ia takut suaminya itu kembali menjadi ombak besar jika tahu ia membaca pesan antara dia dengan ibunya.
“I ... itu. Kita ada pertukaran jadwal. Tapi kamu dan aku tetap di jadwal yang sama,” Dara menjawab seperlunya saja. Karena apa yang ia baca, minat untuk menggunakan momen baik ini bercerita panjang dengan suaminya, seketika hilang.
Ia sedang mengandung seorang bayi, cucu dari wanita yang telah melahirkan suaminya. Tetapi kenapa tega sekali dirinya direndahkan seperti itu? Dara tidak bisa membohongi dirinya, ia pun tahu bahwa ia tak begitu disukai oleh mertuanya yang belum pernah ia temui.
“Kamu kenapa?” Tomi berusaha melihat wajah Dara yang menunduk menghadap pada lemari baju. Lemari yang sudah rapi itu, terus diutak-atik olehnya.
“Enggak apa-apa ...” ia kini suka membohongi perasaannya. Rumah tangga yang adam seperti ini sudah cukup. Beberapa kerikil yang mungkin menyakiti kakinya, ia tak pedulikan lagi. Menangis seperti ini membantunya untuk melegakan perasaan yang mengganjal, mengeluarkan kesedihannya agar separuh bisa menguap bersama tangisan.
“Apa yang sakit? Kasitau” Tomi tahu istrinya itu menyembunyikan sesuatu darinya. Mata yang sembab itu tidak mungkin bukan apa-apa.
Dara terduduk dan menangis sejadi-jadinya. Ia tak dapat lagi terus membendung perasaannya yang terluka. Ia berjongkok memeluk kedua lututnya, dan menangis seperti baru saja kehilangan orang tua.
“Ra, kenapa?” dengan kuatir, Tomi merangkul istrinya itu. Ia tak selalu begitu kepada istrinya, namun hari ini ia sedang mencoba berkelakuan baik. Selain karena tidak ada teman yang menemaninya keluar rumah, Dara baru saja selesai merapikan apartemen yang begitu berantakan, dan membersihkan semua sudutnya.
“Aku memang bukan orang sesuai harapan mama kamu. Tapi tolong jangan hina aku seperti itu ... Aku sudah banyak melakukan ini itu untuk kamu, supaya kamu juga bisa menghadirkan ini itu untuk Farah dan anak-anaknya. Aku bukan perempuan gila. Aku juga berhak jadi istri yang kamu posting, dan diakui,” isak tangis Dara semakin menjadi-jadi seiring ia melontarkan semua isi kepalanya. Sakit hati ini berbeda. Harga dirinya baru saja diinjak oleh ibu dari suaminya. Sedangkan Dara sendiri selalu berusaha menjadi yang paling sabar menghadapi Tomi, dan mendukungnya dengan cara apa pun agar berhasil dalam pekerjaannya.
“Sabar ... Mama belum kenal kamu. Wajar dia begitu,” ini adalah respons yang paling pas bagi Tomi. Ia tentu tak dapat memihak kepada Dara, atau kepada ibunya. Ia hanya bisa mengontrol istrinya itu agar tidak terlalu condong menjadi sakit hati atas apa yang dikatakan oleh ibunya.
“Wajar? Apa wajar kalau suatu hari nanti mamaku begitu terhadap kamu? Apa kamu suka dikatai seperti itu? Kamu menutupi semua usaha aku. Di mata mama kamu, aku pasti perempuan yang mengambil untung dari kamu. Bukan begitu? Tapi apa kenyataannya? Bukankah Farah yang paling banyak diuntungkan selama ada aku?” mendidih seluruh otak Dara tak kuasa menahan amarah yang menyumbur keluar lewat kata-katanya. Tomi terdiam sejenak. Suasana yang tadinya begitu tenang, dan sepasang suami istri yang mencoba menghabiskan waktu bersama dengan damai, berubah begitu saja karena pesan dari seorang mertua.
“Aku jelas bukan idaman. Farah pasti akan kelihatan lebih baik di mata mama kamu. Setidaknya aku menikah dengan kamu bukan karena hamil duluan. Aku menikah karena memang ingin berumah tangga, bukan menuntut tanggung jawab karena kesalahan!” hormon kehamilannya sedang berpihak padanya. Ia menjadi begitu berani mengeluarkan semua isi dalam pikirannya. Seluruh tangannya gemetar, ingin sekali menghempaskan sebuah benda ke segala penjuru ruangan itu.
Ia telah melewati hari-hari yang cukup sulit, dan bekas luka sayatan pada lengannya masih terlihat segar. Rasanya sungguh bertubi-tubi ia dihajar oleh kesedihan, hingga ia harus membaca sesuatu yang di luar harapannya.
Di saat itu, kesedihannya menjadi berlipat ganda sebab ia membayangkan ibu kandung yang sudah ia khianati. Ibunya itu masih menjadi orang yang paling mencintainya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments