“Ayo mah!” seru Tomi dari luar
pintu apartemennya. Siang itu sibuk sekali. Di sela-sela jam kerjanya, ia dan
Dara harus mengantar ibunya menuju bandara untuk kembali ke Indonesia. Hanya
beberapa koper yang mereka geret keluar, sebab hanya ibunya yang kembali ke
Indonesia.
Mengejutkan bukan? Adik Tomi
memutuskan untuk mencoba peruntungan nasibnya di negara orang bersama kakak dan
kakak iparnya. Sesuatu yang tentu tak bisa ditolak oleh Dara, karena itu adalah
keputusan dari suaminya secara sepihak dan tanpa diskusi. Strategi kali ini
yaitu membiasakan diri untuk hidup seatap dengan ipar, dan hal itu sepertinya
bukan hal yang terlalu sulit untuk Dara, sebab ia sangat pandai menyembunyikan
apa pun reaksinya.
Dara belum tahu sejauh apa kemampuan
iparnya itu, namun yang ia tahu bahwa Tami adalah seorang sarjana ekonomi dari
salah satu universitas swasta. Seharusnya iparnya itu memiliki banyak kemampuan
yang membuatnya lebih mudah diterima bekerja.
"Ayo. Tas mama sudah?"
mertuanya tergopoh-gopoh keluar sambil memperbaiki kerudungnya.
"Sudah sama Dara, mah,"
jawab Dara sambil membenarkan posisi Kio dalam gendongannya.
Nasib baik! Jalanan menuju bandara
tak macet seperti hari-hari lainnya. Taxi yang mereka tumpangi melesat dengan
cepat, dan tiba di bandara.
Tomi menuntun ibunya keluar dari
dalam taxi, lalu menurunkan koper-koper yang sebagian besar isinya adalah
oleh-oleh. Sekeluarga itu bergegas masuk ke dalam, dan menanti sebab pesawatnya
akan membuka konter check in dalam satu jam kedepan.
"Dar. Mama titip Tami, ya. Tolong bantu sampai dia dapat pekerjaan!" lengan Dara dipegang oleh
mertuanya. Sebuah amanat yang tentu bukan hal yang mudah. Permainan 'orang
dalam' mungkin sudah biasa di Indonesia. Titip menitip kenalan untuk dapat
masuk dalam sebuah pekerjaan. Namun di negara ini ... semua dilakukan secara
profesional. Mendapat pekerjaan di sini berarti berani masuk dalam sebuah
kompetisi.
"Dara usahakan, Mah ... Semoga ada rejekinya," jawabnya singkat, menyembunyikan rasa keberatannya. Hanya
itu jawaban yang pas bagi Tami untuk memberi rasa tenang pada mertuanya yang
akan pergi terbang.
Tomi datang menenteng beberapa
bungkusan makanan cepat saji di tangannya, dan sebuah tentengan berisi es kopi
kesukaan Dara. Lelaki itu menyodorkan es kopi yang terlihat sangat menggiurkan,
"kesukaan tuan putri."
Dara tersenyum sambil menerima es
kopi yang sangat dingin, cocok dengan cuaca Filipina yang sangat panas.
Slurrp! Seteguk es kopi dengan
takaran gula yang pas, tidak terlalu manis, masuk ke dalam mulut Dara. Matanya
tertuju pada konter check in yang mulai ramai.
"Itu sudah buka, Bi!" ia
menarik tangan suaminya yang sedang asyik bermain bersama Kio. Tomi menjemput
ibunya dari kursi, dan membawa koper-kopernya menuju konter check in. Sebuah
layanan yang baik dari anak kepada ibu, ia menyelesaikan proses check in, lalu
membawa ibunya kembali menemui Dara dan Kio untuk berpamitan.
"Mama berangkat ya, Dar. Titip
Tami baik-baik. Tom, jaga istri dan anak ya, awas kamu," mertuanya
berpamitan, dan Dara langsung mencium tangan mertuanya itu. Mereka mengantar
wanita itu hingga pintu keberangkatan menuju gate, lalu melambaikan tangan.
Akhirnya ... Misi selesai!
"Mau langsung pulang sayang?"
"Ayo. Kasihan Tami sendiri di
sana," jawab Dara singkat. Tomi tertawa kecil, lalumengejek,"Memangnya dia anak balita? Dia seumuran kamu, Ra. Biarin aja.
Kita keliling dulu. Kamu lapar?"
Dara tak dapat membohongi perutnya
yang terasa begitu lapar. Ia baru saja memakan ayam goreng dari restoran cepat
saji tadi, namun ia sudah merasakan asam lambungnya yang mulai menggerogoti
perut.
"Ayo. Aku lapar. Mulai enggak enak perut. Kopinya kayaknya pekat banget," ia mengiyakan ajakan suaminya
itu.
Keluarga kecil itu, menumpangi taxi ke sebuah restoran tempat Dara memakan sup sum-sum sapi biasanya. Itu adalah restoran favoritnya. Seperti biasa, ia duduk di meja paling pojok dalam
restoran itu. Aroma yang begitu sedap dapat tercium dari dalam dapurnya,
dan orang-orang terlihat menikmati semangkuk sup sum-sum tulang sapi. Restoran
terbaik itu tak pernah sepi, dan tak pernah gagal membangkitkan nafsu makan
Dara.
Yang ditunggu-tunggu akhirnya
datang! Dua mangkuk sum favorit Dara. Perutnya masih terasa sedikit aneh,
seperti penuh gas dan asam lambung.
“Kio. Bilang aaa” ia menyuapi balitanya sup hangat itu. Anak itu membuka mulutnya dan melahap sesendok sup
dengan daging sapi yang lembut.
“Kamu enggak makan?” perhatian Tomi teralihkan dari mangkuk supnya, kepada istrinya yang terus-terusan meminum tehnya.
“Iya. Aku agak kurang enak perutnya.
It’s okay ...” jawab Dara singkat sembari menyuapi anaknya sekali lagi.
Ia mengumpulkan niatnya untuk dapat memakan sup yang sudah tersaji di depannya. Harusnya makanan berkuah hangat dapat meredahkan kembung pada perutnya. Tapi ... tak ada yang lebih hangat selain kebersamaan keluarga kecilnya di tempat favoritnya dengan makanan kesukannya.
***
"Sudah siap? Ayo!" Tomi memanggil istrinya yang masih sibuk membereskan tas bekal. Sebuah kemujuran di hari itu mereka akan berada pada satu shift ang sama.
Dara tampak masih sibuk membereskan beberapa kotak bekal ke dalam tas tentengnya, beserta beberapa buah yang sudah ia potong dari dalam kulkas.
"Sebentar ya. Aku pakai sepatu dulu," Dara mengambil sepatunya lalu menunduk untuk memakai sepatu. Ia dapat merasa pusing di kepala yang tiba-tiba menyerang. Ia berusaha cepat memakai sepatu agar tidak membuat suaminya itu menunggu lebih lama lagi.
"Boleh kita singgah nanti?" tanyanya singkat kepada suainya yang sedang menahan pintu elevator agar tidak tertutup.
"Ke mana?"
"Minimarket di samping kantor. Yah?" jawabnya singkat sembari tersenyum manja kepada suaminya. Senyumannya itu disambut dengan sebuah belaian gemas pada ubun-ubunnya.
Jalanan mulai ramai di pagi itu. Hari yang sibuk tentunya, karena beberapa hari lalu, semua perkantoran berlibur panjang.
Dara mendorong pintu minimarket. Aroma kopi yang begitu pekat, dengan cepat menyerang penciumannya di pagi itu. Aneh ... Aroma itu biasanya ia sukai, namun kali ini begitu mengganggu. Matanya sibuk menyisir sebuah rak berisi buah-buahan.
"Cari apa?" Tomi menghampirinya.
"Ini dia!" Dara girang mengambil sebuah paket berisi mangga hijau yang baru saja dipotong.
Tomi menggeleng kepala. Di waktu sepagi itu, istrinya memiliki selera makan yang mungkin akan menyakiti perutnya yang belum terisi apa pun.
Pasangan itu segera menaiki elevator dan berhenti di lantai lima tempat kantor mereka berada. Sudah ramai ...
"Pagi. Gila! Cin. Ada apa makan mangga sepagi ini?" Nino terbelalak melihat mangga yang masih hijau di atas meja Dara.
"Iya. Lagi enggak enak mulut. Hehe" jawabnya singkat kepada sahabatnya itu.
"Mau kopi?" Nino menawarkan.
Kopi? Ah! Bau itu belakangan ini tidak disukai Dara.
Drrrt! Ponselnya bergetar. Panggilan dari Tami rupanya.
"Kak! Punya pembalut enggak?" suara paniknya terdengar dari balik telepon.
Dara terkekeh,"Hahaha iya ada. Tanya sama Cecil, ya. Dia tau di mana."
"Oke kak. Kio sudah tidur. Bye!" Tami menutup percakapan itu.
Dara terhenti sejenak. Ia baru saja teringat akan suatu hal setelah percakapannya dengan Tami ...
***
Dara menanti dengan sabar namun diliputi cemas. Apakah ini benar? Feeling-nya mungkin saja benar ...
Toilet wanita itu begitu sepi ... Dara pun begitu hening menanti proses yang berjalan.
"Apa?" Dara bergegas keluar dari toilet dan menghampiri suaminya yang sedang serius bekerja.
"Bi ..." ia menahan tawa, sembari memanggil suaminya.
"Ada apa?" Tomi menjawab, lalu segera tertegun pada sebuah test pack di mejanya, dengan dua garis merah yang begitu terang.
"Alhamdulillah! Kio jadi kakak," ia terlihat begitu bersemangat mengetahui Dara berbadan dua lagi.
Anggota baru ... Babak baru ... Dara serasa tidak percaya, seperti sedang bermimpi di siang bolong. Ucapan syukur yang tiada henti. Ini bukan sesuatu yang ia prediksi sebelumnya, karena ia sedang mengonsumsi beberapa obat pencegah kehamilan. Namun ini ... sebuah mujizat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments