Kidung Pengasihan

Mbah Priyo tersenyum ramah menyambut tamunya, mempersilahkan duduk di atas karpet berhadapan dengannya. Mbah Priyo antusias mendengarkan dengan seksama penuturan singkat alasan kunjungan dari pemuda bernama Parno tersebut.

Dengan setelan hitam kusam, Mbah Priyo tidak menampakkan kemewahan pada tamunya. Penampilannya justru berbanding terbalik dengan situasi tempat tinggalnya. Mbah Priyo terlihat bersahaja dengan pakaian dukun yang ala kadarnya.

Alasannya cukup klise, agar kaum tidak kaya yang butuh pertolongannya tidak merasa sungkan atau tidak mampu untuk membayar jasanya.

"Masalah utamanya apa sampai rumit begini? Apa yang bisa dibantu?" tanya Mbah Priyo dalam suasana santai. Sesekali sambil menghisap rokok dan menyeruput kopi.

"Sebenarnya masalah sepele, Mbah! Soal cinta. Saya sakit hati karena dihina keluarga wanita yang saya sukai, Mbah! Padahal niat saya baik, saya mencintainya dan serius mengajaknya menikah!" ungkap Parno di akhir kalimat, kembali menekankan inti pada ceritanya yang sebelumnya sudah cukup panjang. "Saya kecewa, saya sudah mempersiapkan lamaran yang layak meskipun saya tidak kaya."

"Siapa nama perempuan itu?" Mbah Priyo mengambil kemenyan yang masih berada dalam plastik kecil, lalu menaburkan sedikit ke tungku pembakaran.

Aroma wangi ganjil memenuhi ruangan bersama asap-asap tipis yang keluar dari tungku. Bulu kuduk Parno langsung meremang merasakan hawa yang terasa berat di kulitnya.

"Nama perempuan itu Sutiyah, Mbah! Saya mau dia tunduk, mencari saya dan bertekuk lutut. Saya mau dia mencintai saya bagaimanapun caranya," jawab Parno menahan amarah. Sutiyah tidak berani mengambil sikap, hanya diam ketika dia dicaci. Lalu diam-diam menjalin hubungan dengan pemuda lain yang lebih mapan darinya.

Mbah Priyo mengangguk beberapa kali sebelum bertanya lagi. "Tempat tinggalnya?"

Parno menyebutkan alamat rumah perempuan yang dicintainya secara lengkap, juga menyebutkan nama kedua orang tua Sutiyah meski Mbah Priyo tidak bertanya.

"Ingat tanggal lahirnya?"

"Bulan Agustus tanggal 17 Mbah, tahun 2002. Perlu fotonya tidak, Mbah?" Parno benar-benar tidak sabaran. Rasa geramnya tiap detik serasa mau meledakkan kepala.

Mbah Priyo masih berkomat-kamit sebentar sebelum menjawab tegas, "Tidak perlu! Apa benar gadis itu tinggalnya satu dusun denganmu? Hanya beda gang saja?"

"Betul, Mbah!"

"Beberapa hari lalu tetangga yang berjarak tiga rumah dari tempat Sutiyah tinggal meninggal dunia?"

Parno menelan ludah kasar, Mbah Priyo membaca dengan tepat lokasi tempat tinggal gadis pujaannya tanpa dia rincikan. Parno mengangguk cepat, "Benar! Pak Basri namanya yang meninggal."

"Awakmu wes eroh opo sing kudu pok lakoni yo, Par? Rabien areke lek wes kanthil karo awakmu! (Kamu sudah tau apa yang harus kamu lakukan ya, Par? Nikahi anaknya kalau sudah suka sama kamu!)

Parno mengangguk pelan dan samar, menghirup aroma kemenyan yang menyeruak dari tungku pembakaran dengan hati gamang. "Iya, Mbah!"

"Gendeng saklawase, iku resikone!" (Gila selamanya, itu resikonya!)

Dengan berat hati, Parno kembali mengangguk. "Langsung saya lamar kalau sudah kelihatan hasilnya, Mbah!"

Mbah Priyo membuat gerakan menyembah, menyatukan kedua telapak tangan di depan dada. Mata Mbah Priyo terpejam, dan tak lama mulai bergumam lirih membacakan mantra pengasihan.

Upat-upatku lawe lanang

Cemethiku sabdo lanang

Gunung gugruk watu gempur

Segoro asat … gedhene sirep

Ingsun sabetake atine Sutiyah

Pet sido edan, ora edan sido buyung

Ora buyung sido ngengleng

Ora bakal mari yen durung aku sing nambani

Meski pelan, suara Mbah Priyo yang seperti ******* tertangkap telinga Parno. Mempengaruhinya sedemikian rupa hingga perasaannya sedikit linglung.

Parno memperhatikan kemenyan yang ditaburkan Mbah Priyo untuk terakhir kalinya. Entah mengapa kegundahan justru bergelayut setelah keinginannya hampir tersampaikan.

Udara terasa berat dan sesak di dada Parno, ruangan dipenuhi oleh hawa mistis yang tidak mampu dijelaskan oleh kata-kata. Yang pasti Parno ikut tersentak saat Mbah Priyo menggebrak lantai.

"Budhal!" (Berangkat!)

Angin dingin berhembus samar melewati Parno sesaat setelah Mbah Priyo mengucapkan satu kata pamungkas. Hawa mistis yang tadi terasa berat kembali ringan dan Parno bisa bernafas lebih lega saat Mbah Priyo membuka mata.

"Ha ha ha … urusan asmara, cinta dan sakit hati itu mudah diselesaikan!" ujar Mbah Priyo terkekeh sembari menunjukkan kelingkingnya yang dijentik dengan ibu jari. "Urusan kecil!"

"Jadi sudah selesai, Mbah?" tanya Parno takjub. Perubahan suasana membuatnya percaya kalau Mbah Priyo memang bukan dukun biasa. "Kapan hasilnya bisa kelihatan dan bisa saya rasakan?"

"Gadis itu akan mendatangimu paling lambat besok siang. Setelah bangun tidur aku yakin dia tidak akan mampu mengendalikan diri dari keinginan bertemu denganmu!" janji Mbah Priyo meyakinkan pasiennya.

Mbah Priyo yakin, gadis bernama Sutiyah itu akan takluk oleh mantranya dengan mudah. Persis seperti wanita-wanita lain yang digendam Mbah Priyo agar mau dinikahi oleh pasien yang meminta bantuannya.

Parno meringis, berusaha mengikuti kebahagiaan lelaki paruh baya yang sedang membantu keinginannya. Dia berharap Mbah Priyo tidak mengetahui niat sebenarnya dari kunjungannya itu.

Sakit hati Parno tidak bisa dibayar dengan cinta gadis pujaannya, penghinaan orang tua Sutiyah menjadi dasar dendam Parno untuk membuat anaknya tergila-gila padanya. Parno tidak berniat menikahi Sutiyah, dia hanya ingin membalaskan rasa cinta yang sudah berubah menjadi benci.

Dia memang miskin, tapi tidak seharusnya orang tua Sutiyah mencemooh usahanya bertanam padi. Lebih parah lagi, Parno dibandingkan dengan anak juragan sapi. Pemuda dengan fisik lebih buruk darinya tapi dipuja karena uangnya.

Benar kata Mbah Priyo, asmara itu urusan sepele, mudah dimanipulasi. Kesimpulannya, Parno hanya perlu mencari gadis lain untuk dicintai, gadis yang mau mencinta dan menerima dia apa adanya. Gadis yang mau memaklumi kemiskinannya. Bukan Sutiyah yang cinta padanya hanya karena mantra pengasihan yang dikirimkan paranormal di depannya.

Parno menyelipkan amplop putih ke tangan Mbah Priyo sebagai ucapan terima kasih. "Saya pamit dulu, Mbah! Semoga besok siang sudah ada kabar bagus dari Sutiyah."

"Aku doakan pernikahan kalian bahagia dan langgeng!" Mbah Priyo terkekeh penuh ketulusan memberi semangat rumah tangga pada pasiennya.

Langkah Parno ringan dan senyumnya sumringah saat meninggalkan kediaman Mbah Priyo. Tidak ada lagi wajah masam saat motornya melaju lambat menuju dusun yang tidak begitu jauh dari rumah paranormal itu.

Mbah Priyo menatap punggung Parno yang menghilang dari pandangan. Membereskan kembang setaman dan kemenyan yang tergeletak di atas meja kerja ala dukun miliknya.

Baru satu pasien, tapi Mbah Priyo tetap tersenyum. Memang butuh waktu untuk mengibarkan namanya di desa itu. Tapi Mbah Priyo optimis dia akan berjaya dengan banyaknya warisan dari Pak Karman.

Mbah Priyo keluar ke teras, duduk sambil merokok menunggu orang datang. Tak disangka, mata tuanya justru menangkap pergerakan di pojok rumah yang berdampingan dengan warung. Mbah Priyo mendapati pemuda mata juling yang mencium putrinya tadi pagi sedang mengintip ke area rumahnya.

***

Terpopuler

Comments

Putri Alfina

Putri Alfina

Sejauh ini suka sih sama wataknya mbah priyo, dia tidak sombong dan tetap mau melayani pasien dari kalangan bawah, sebuah sifat yg bagus

2023-08-28

2

𝕃α²¹ᴸ🍾⃝sͩᴇᷞɴͧᴏᷠʀᷧɪᴛᴀ🇦🇪

𝕃α²¹ᴸ🍾⃝sͩᴇᷞɴͧᴏᷠʀᷧɪᴛᴀ🇦🇪

wehh pantes semaput anak dukun di cium pria juling

2023-04-20

1

𝕃α²¹ᴸ🍾⃝sͩᴇᷞɴͧᴏᷠʀᷧɪᴛᴀ🇦🇪

𝕃α²¹ᴸ🍾⃝sͩᴇᷞɴͧᴏᷠʀᷧɪᴛᴀ🇦🇪

gampil bnget lahirnya 17 agsts

2023-04-20

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!