Membersihkan Rumah

Lukman nyaris menabrak Narto yang berdiri tidak jauh dari Lek Min. Nafasnya tersengal dan wajah pucatnya tidak bisa disembunyikan. Suara halus perempuan yang tadi mampir ke pendengarannya masih terbayang jelas.

"Kalian berdua ini kenapa? Siang bolong kayak baru lihat setan!" Lek Min mengamati wajah Narto, lalu berganti ke Lukman yang sedang menyeka peluh di dahinya.

"Kayaknya kami bantu-bantu di sini saja," ucap Lukman bergetar. Suara halus yang didengarnya tadi masih lekat terngiang di telinganya. Bulu kuduknya pun masih meremang hebat.

"Ya sudah semua dibersihkan, mulai dari lantai, dinding sampai plafon!" Lek Min tidak mempertanyakan alasannya, sudah cukup paham hanya dengan melihat gelagat ketakutan dua pemuda di dekatnya. Dirinya sendiri tidak bisa dibilang tidak memiliki rasa takut. Menahan raut wajah agar tetap tenang adalah cara untuk menenangkan rekan-rekan kerjanya.

"Iya, Lek! Siap laksanakan!" Narto langsung sigap memulai membersihkan ruangan dengan lebih santai.

Lek Min pria yang sudah berumur. Narto dan Lukman percaya kalau pria itu bisa dibilang bukan pengecut seperti mereka. Meski begitu, mereka beruntung karena ditawari kerja dan dibayar untuk membantu merenovasi rumah agar kembali layak huni.

"Minggu depan orangnya minta semua sudah selesai, pekerjaan kita banyak karena rumah ini besar! Harus panggil tukang khusus untuk benahi atap dan instalasi listrik besok," ujar Lek Min mulai menaiki tangga untuk membersihkan dinding, mengupas cat lama yang sudah berkapur agar bisa segera di cat ulang.

BRUK!!!

Tiga kepala serentak mendongak ke langit-langit ruangan tempat suara seperti benda jatuh terdengar. Lalu sepi, sunyi, tidak ada suara apapun yang tertangkap telinga.

Narto menciut, jantungnya berdetak lebih kencang. Bukan lagi karena kaget, tapi karena hawa tidak enak menghampirinya. Kulitnya sakit seperti menangkap kehadiran makhluk lain di ruangan itu.

"Suara apa itu tadi, Lek? Maksudnya siapa yang jatuh?" tanya Narto dengan suara tercekat. Nada gemetar dalam suaranya mengindikasikan rasa takut yang ditahan sekuat mentalnya.

"Apalagi yang hidup di atas plafon kalau bukan tikus?" jawab Lek Min dengan ekspresi gusar. Bukan apa, dua orang yang berada dalam satu ruangan dengannya sekarang sama sekali tidak membantu menaikkan mentalnya. Yang ada malah membuat repot dan mempengaruhi keberaniannya.

"Tapi kalau tikus biasanya ada suara langkah larinya, Lek! Atau setidaknya ada suara cicitan, tikus jatuh bunyinya gak sebesar itu! Apa ada orang di dalam plafon ya, Lek?" Lukman bergumam sekaligus bertanya dengan suara pelan, menyangkal kalimat Lek Min yang memang hanya untuk menenangkan keadaannya.

"Logikamu nggak jalan, Luk! Siapa juga yang bakal sembunyi di plafon? Kayak nggak ada kerjaan lain aja mau nakut-nakutin kita!"

"Ya mungkin aja … misalnya orang gila. Namanya orang gila ya nggak perlu logika, dan memang mungkin nggak punya kerjaan makanya main petak umpet di rumah ini." Lukman berusaha bercanda untuk mengurangi ketegangan.

"Bener Lukman, Lek! Sebelah rumah ini … anaknya Bu Yuli kan kurang timbangannya! Sekilo kurang se-ons!" sahut Narto serius.

Lek Min mulai kesal dengan dua pemuda penakut yang mulai ngelantur tak jelas. "Maksudmu gimana, Nar? Timbangan warung Bu Yuli kurang anget gitu ya?"

Lukman terkikik geli, "Narto lagi bahas Mas Bambang, Lek! Kan orangnya memang agak aneh."

"Bambang yang matanya juling?"

"Iya," jawab Narto dengan senyum bersalah.

"Udah nggak usah diperpanjang lagi obrolannya, bukannya kerja malah rasan-rasan (bergosip), udah kayak emak-emak aja! Bisa nggak selesai-selesai nanti tugas kita!" Lek Min menengahi dengan bijak. "Kamu kenapa lagi, Luk?"

Dengan linglung, Lukman mendekati jendela mengikuti bisikan hati, sengaja menatap ke arah pohon kantil dekat kolam. Bayangan hitam serupa kabut berdiri diam di sana. Menatap Lukman dengan wajah kosong tanpa mata.

Lukman spontan membalikkan tubuhnya yang gemetar dan mengatur degup jantung. Dia tidak salah lihat, memang ada yang berdiri di bawah pohon penebar bau wangi itu.

Lukman masih penasaran dengan penglihatannya, ekor matanya kembali melirik untuk mengamati tempat terang di sekitar kolam dan pohon kantil. Namun, bayangan yang sekilas dilihatnya tadi sudah hilang tak berjejak. Tidak ada apapun di sana.

"Aku bisa gila dalam sehari kalau harus tinggal di rumah ini!" gumam Lukman. Matanya nanar menatap luar jendela dengan wajah tegang.

"Ada apa, Luk?" tanya Lek Min penasaran. Narto tertarik ikut mendekati jendela untuk melihat situasi di luar.

"Sepi banget kayak di tengah hutan ya rumah ini?!" Narto mengusap tengkuknya yang merinding. Tidak memahami yang dimaksud Lukman tapi sudah mengambil kesimpulan.

"Entahlah, rasanya aku kok kayak lihat sesuatu di sana!" jawab Lukman pelan sembari menunjuk singkat ke arah kolam. Bayangan hitam.

Lek Min menengahi, "Sudahlah, mau sampai kapan kalian melihat ke arah pohon itu, kalaupun ada penghuninya ya wajar wong rumah ini kosong sudah lama. Yang penting kita tidak mengganggu, niat kita kerja bersihkan rumah karena sudah laku dan mau segera ditempati."

Narto dan Lukman mengangguk, melanjutkan pekerjaan dalam diam. Tidak berani berkomentar sedikitpun meski sesekali terdengar suara langkah orang berjalan dengan tergesa atau suara orang berbicara dengan nada rendah.

Lukman masih saja dihantui bayangan hitam transparan yang kadang berkelebat menembus tembok, mengintip dirinya yang menyibukkan diri memoles cat warna putih ke dinding kusam yang baru dibersihkan oleh Lek Min.

Sementara dua ibu-ibu yang menyiapkan area dapur sedikit-sedikit saling melihat jika mendengar suara aneh.

"Dulu aku masih kecil waktu rumah ini masih ditempati, kadang diajak bapak kerja mbagi antrian pengunjung dan narik uang parkir," cerita salah satu wanita yang sedang membersihkan tatakan kompor dari sarang laba-laba.

"Lah ya kamu udah biasa berarti merasakan hawa rumah ini. Bedanya apa dulu sama sekarang?"

"Hampir sama, hanya saja dulu tidak menyeramkan karena masih dihuni orang. Nggak nyangka kalau nggak ada yang kuat tinggal di rumah ini, bahkan anak keturunan Pak Karman saja tidak berani menempati!"

"Semoga penghuni yang baru kerasan yo, Yuk! Biar rumah ini nggak jadi sarang demit, nggak bikin takut warga kalau mau lewat di depannya, nggak jadi bangunan tua yang nggak berguna!"

"Dengar-dengar yang beli rumah ini paranormal. Mungkin mau buka praktek di sini," ujar wanita yang lebih muda.

"Ya semoga saja beliau bisa menundukkan isi rumah ini, bisa berjaya seperti Pak Karman dulu!"

WUSS!!!

Angin masuk ke dapur melalui pintu samping dengan kuat, membawa debu dan juga daun kering yang kembali mengotori lantai.

Dua ibu yang sedang bekerja kembali saling tatap, lalu yang lebih tua mengangguk dan memberi kode untuk mengunci mulut alias tidak banyak bicara. Mungkin penghuni gaib tidak suka mendengar mereka membahas rumah itu.

Bukan hal mudah bagi lima pekerja menyelesaikan tugas di hari pertama, terlalu berat dan penuh godaan kengerian hingga mereka hampir menyerah. Beruntung hari berikutnya, Mas Gun sebagai pemilik rumah menemani mereka bekerja sembari mengarahkan apa saja yang harus dibenahi sesuai permintaan pembelinya.

Meski tidak mewarisi kepiawaian ayahnya dalam dunia perdukunan, tapi Mas Gun juga bukan orang sembarangan. Memahami dengan baik dunia lain yang berbau kegaiban, dan kehadirannya membawa ketenangan bagi para pekerja yang disewanya.

Tujuh hari yang sangat menyiksa mental bagi Lukman dan semua orang yang dibayar mahal untuk merapikan tempat tersebut agar kembali bagus dan benar-benar layak untuk ditinggali.

Kolam sudah terisi air bersih dan benih beberapa jenis ikan sudah ditabur, pagar berkarat sudah bercat baru meskipun dengan warna hitam yang sama, sudah tidak ada derit bunyi logam beradu saat dibuka dan ditutup.

Rumah juga tampak bersih dan megah meskipun tetap ada unsur kuno dan ketinggalan model. Taman kecil dengan berbagai bunga dalam pot sudah menggantikan semak yang tadinya memenuhi teras.

Semisal yang punya rumah cukup kaya dan mampu melakukan renovasi lagi, rumah itu pasti bisa terlihat mewah sebagai rumah orang kaya baru di desa itu.

Mas Gun mengucapkan banyak terima kasih dan memberikan bonus pada warga yang sudah menyelesaikan semua tugas saat mereka pamit pulang.

"Semoga rumah ini tidak pernah kembali lagi padaku …. maafkan Gunawan, Pak!" gumam Mas Gun lirih seperti sedang bicara dengan ayahnya. Pak Karman.

***

Terpopuler

Comments

𝕃α²¹ᴸ🍾⃝sͩᴇᷞɴͧᴏᷠʀᷧɪᴛᴀ🇦🇪

𝕃α²¹ᴸ🍾⃝sͩᴇᷞɴͧᴏᷠʀᷧɪᴛᴀ🇦🇪

juling itu yg kek gimna yak 🤔

2023-04-19

2

𝕃α²¹ᴸ🍾⃝sͩᴇᷞɴͧᴏᷠʀᷧɪᴛᴀ🇦🇪

𝕃α²¹ᴸ🍾⃝sͩᴇᷞɴͧᴏᷠʀᷧɪᴛᴀ🇦🇪

🤣🤣🤣

2023-04-19

1

𝕃α²¹ᴸ🍾⃝sͩᴇᷞɴͧᴏᷠʀᷧɪᴛᴀ🇦🇪

𝕃α²¹ᴸ🍾⃝sͩᴇᷞɴͧᴏᷠʀᷧɪᴛᴀ🇦🇪

ini yg om Bambang kan yak? 🤦 abdi kira teh yg dinara

2023-04-19

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!