Kidung Kegelapan

Kidung Kegelapan

Prolog

Magrib baru saja usai saat Mbah Priyo melewati jalan sepi di salah satu desa di kota Jombang.

"Ladalah … asem! Hampir saja aku jatuh," gerutu Mbah Priyo yang seketika menghentikan sepeda motornya. Ada hewan melata berwarna hitam dengan garis emas melintas di jalan yang sedang dilaluinya. Tak ayal, ular itu pasti terlindas dan mungkin saja mati.

Mbah Priyo membungkuk memeriksa dibawah motor, ular yang dilindasnya masih hidup dan melingkar terluka di roda belakang. Tidak terlalu besar, hanya seukuran lengan anak kecil. Mbah Priyo melepaskan ular itu perlahan setelah membacakan beberapa kalimat yang tidak biasa.

Belum sempat mata Mbah Priyo berkedip, ular hitam bergaris emas yang melata menuju pagar rumah tiba-tiba hilang. Mbah Priyo berdiri dengan seringai memahami, ular itu bukan makhluk daratan biasa. Ular itu mungkin sedang memberikan pertanda padanya agar melihat rumah besar kosong yang ada di hadapannya. Rumah dengan plakat kayu usang bertuliskan 'dijual cepat'.

Mbah Priyo mencatat nomor telepon yang tertera. Entah mengapa rumah dengan aura hitam dan wingit itu sangat menarik hatinya. Sisi mata batin Mbah Priyo mendapatkan gambaran siapa si pemilik rumah itu sebelum ditinggalkan dalam kondisi tak terawat begitu rupa. Pastilah orang pintar yang memiliki profesi yang hampir sama dengannya, seorang paranormal.

***

Empat puluh tahun lalu di lokasi yang sama ….

Rumah paranormal kondang bernama Pak Karman terlihat megah dan ramai pengunjung. Antrian membludak di hari Jumat Kliwon, hari yang katanya sakral untuk meminta bantuan beliau yang diagung-agungkan sebagai salah satu orang pintar di tanah Jawa. Bahkan masuk dalam jajaran paranormal terbaik di Nusantara.

Tapi bagi gadis bernama lengkap Dinara Sekar Sari, tidak ada rasa peduli sedikitpun dengan gelar atau pencapaian tersebut, bagi Dina paranormal tersebut adalah orang yang sangat jahat. Keluarga jauh yang sudah memporakporandakan hidupnya karena hal sepele, hal kecil yang memicu perang gaib dan berakibat sangat fatal.

Jika saja pria tua yang juga terkenal sebagai dukun santet itu tidak membunuh kakak iparnya, Dina mungkin tidak perlu datang untuk membalas dendam pada orang yang diakuinya sebagai 'Pakde' karena ikatan saudara yang masih lekat dari garis ayahnya.

Untuk melakukan semua rencana balas dendamnya, Dina rela duduk manis dalam kursi tunggu antrian. Dina memang datang kesorean sehingga mendapatkan nomor terakhir setelah satu putaran pertama yang berisi seratus orang telah selesai dengan urusannya masing-masing.

Dina mendapatkan putaran kedua dengan nomor tujuh belas atau dalam bahasa Jawa disebut pitulas. Dina sendiri mengartikan kata pitulas adalah sebuah pitulung (pertolongan) dan welas (belas kasih dari Yang Maha Kuasa).

Ketika pasien dengan antrian nomor enam belas sudah keluar dari ruangan Pakde Karman, Dina melangkahkan kaki menuju pintu yang masih tertutup rapat. Jalannya ringan tanpa beban, hal tersebut disebabkan Dina sudah bertekad akan mengakhiri semua kegilaan Pakdenya sore itu juga.

Pakde Karman yang berakhir dengan kehilangan kedigdayaan atau dia yang berakhir dengan kematian, sebuah pikiran sederhana yang terlintas di kepala Dina dari sejak berangkat dari rumah orang tuanya. Toh Dina juga sudah mendapatkan restu dari kedua orang tua untuk menyelesaikan masalah keluarganya.

Dina berani mendatangi paranormal hebat itu bukan tanpa persiapan, dia bukan saja seorang indigo yang bisa melihat penampakan kegaiban, tapi Dina terlahir dengan bakat supranatural yang disembunyikan.

Dalam garis keluarga besar Dina, bukan hanya Pakdenya yang memiliki kesaktian dalam dunia kegaiban, ayah Dina juga pemilik kemampuan supranatural yang sama besar meskipun jalan akhir yang dilalui berbeda. Ayah Dina memilih menjadi orang biasa dan menggunakan ilmunya hanya sekedar menolong orang yang membutuhkan bantuan.

Dina adalah satu yang terbaik di antara anggota keluarga besarnya dalam ilmu kebatinan. Dina lahir di hari Selasa Wage, hari yang konon katanya milik para penguasa gerbang dua alam, dengan kekuatan besar laksana samudra dia mampu melintasi alam gaib dengan mudah.

Dengan bakat alaminya itu, seluruh mata batin Dina terbuka luas ketika melangkah masuk ruangan praktek pakdenya, sang dukun ilmu hitam. Tak lupa, Dina memasang pelindung gaib atau yang biasa disebut rangket sebesar ruang praktek tersebut. Dina tidak ingin ada yang datang mengganggu urusannya dengan Pakde Karman, baik itu dari bangsa manusia atau lelembut. Dina ingin mendapatkan waktu khusus untuk berbicara dengan sepupu ayahnya, empat mata saja antara pakde dan ponakan.

Siluman buaya perewangan (peliharaan) pakdenya sedang berwujud sebagai manusia saat Dina masuk ruangan. Sebagai laki-laki dengan ikat kepala dan baju hitam berperawakan gagah seperti pendekar dalam film laga kuno.

Dina menyunggingkan senyum masam pada pria siluman tersebut, sementara Pakde Karman belum juga menyadari siapa pasien terakhir yang ingin bertemu dan memiliki urusan dengannya. Mata dan tangannya terlalu sibuk pada tungku pembakaran dupa.

Dina langsung duduk di depan pakdenya tanpa permisi diiringi tatapan siluman buaya yang dilihat Dina menyeringai aneh. Mungkin orang biasa tidak bisa melihat makhluk gaib tersebut, tapi bagi Dina itu bukan hal aneh. Dina terbiasa melihat yang orang lain tidak bisa, juga mendengar dan merasakan kehadiran makhluk gaib di sekitarnya dengan sangat peka.

"Apa kepentinganmu kesini, Wong ayu? Susuk, pelet, penglaris, saingan bisnis atau lebih dari itu? tanya Pakde Karman santai sesaat sebelum melihat kalau yang duduk di depannya adalah sang keponakan jauh.

"Saya ada kepentingan lain!"

Pakde Karman mendongak dan menatap skeptis pada tamunya. "Dinara? Kamu datang sama siapa, Cah ayu?"

"Iya, ini Dina yang berkunjung, Pakde! Saya datang sendiri, tapi ada salam dari bapak buat Pakde," jawab Dina sopan.

Pakde Karman menutupi rasa terkejut dengan tersenyum dan berusaha berbicara ramah. Namun, wajahnya yang selalu pucat terlihat sedikit menegang.

"Kamu punya tujuan apa datang sendiri ke sini, Nduk? Tidak mungkin kamu mengunjungi pakdemu ini karena iseng atau kangen!" Pakde Karman menatap menusuk jantung Dina, berusaha memperingati dan mempengaruhi pikiran keponakannya, juga mengukur kekuatan gadis yang sedang duduk santai di ruangannya itu.

"Saya hanya ingin penjelasan, Pakde! Kenapa semua ini harus terjadi dalam keluarga kita? Kenapa Pakde harus menghilangkan nyawa kakak ipar saya?" Dina bertanya sinis, dia menolak terpengaruh aura hitam milik Sang Dukun. Dina membalas menatap dengan ketajaman yang sama.

Dina sedang menantang pakdenya.

Suara dua pria tertawa terdengar menghina Dina. Pakde Karman mengejek, begitu juga siluman buaya yang ada di dekatnya. "Ha ha ha … semua yang sudah terjadi tidak ada hubungannya dengan keluarga kita, Dinara! Ini murni masalah pribadi, soal hidup dan mati pakdemu ini, jangan salah paham!"

"Saya masih tidak mengerti arah pembicaraan ini, Pakde! Saya juga tidak ingin menjadi arwah gentayangan karena penasaran tidak tau alasan kenapa saya dan keluarga harus mati di tangan pakde, orang yang seharusnya menjadi pelindung keluarga karena kesaktiannya!"

"Dengar Cah ayu! Pakde tidak akan bertele-tele menjelaskan semua. Intinya untuk mendapatkan semua kekayaan dan kejayaan ini, pakde punya perjanjian gaib dengan bangsa lelembut."

Pakde Karman menghembuskan nafas berat, lalu menyambung kalimat sembari menyunggingkan seringai iblis. "Namun, akan ada masa dimana semua yang pakde miliki akan runtuh jika tidak ada yang mampu meneruskannya, dan penyebab runtuhnya adalah keluarga!"

"Lalu pakde dengan tega menuduh saya sebagai penyebab yang dapat meruntuhkan dan menjadi akhir kejayaan yang pakde miliki?"

"Jangan naif, Dinara! Pakdemu ini sudah menawarkan kekayaan dan kejayaan ini padamu, terimalah dan teruskan kalau tidak ingin semua keluargamu menyusul istri kakakmu ke alam baka! Seandainya saja ada anak turun pakde yang bisa melanjutkan perjanjian … pakde tidak perlu melakukan ini pada keluargamu! Tidak ada jalan lain!" Pakde Karman menyoroti Dina dengan kilatan gelap matanya.

Tanpa memutuskan kontak mata sedetikpun, Dina menjawab pernyataan Pakde Karman dengan ekspresi jijik, "Entah kenapa saya tidak berminat dengan semua ini, Pakde! Saya hanya ingin kehidupan normal, dan jika kejayaan pakde harus runtuh hari ini karena keluarga … biarkan saya yang menanggung dosanya!"

"Jadi kau menantang pakdemu, Cah ayu?"

"Tidak ada jalan untuk mundur, Pakde!"

***

Terpopuler

Comments

Suharnani

Suharnani

Jombang mana nih?

2024-08-09

1

Bunda Silvia

Bunda Silvia

inget aq istrinya mas aji yg meninggal

2024-07-13

1

Rinda Suprihatin

Rinda Suprihatin

in mamax si al kn dina

2024-07-01

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!